ddThis Sharing Buttons ilustrasi JAKARTA — Dua belas paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sejak 2015 untuk memperbaiki kondisi bisnis dan investasi di Indonesia ternyata belum sepenuhnya dimengerti pengusaha. Hal ini terungkap dari survei yang dilakukan Kelompok Kerja (Pokja) III Satuan Tugas Percepatan Pelaksanaan Paket Kebijakan Ekonomi selama Juli 2016. Survei tersebut menunjukkan sekitar 14% dari 157 responden yang berasal dari kalangan pengusaha mengaku tidak mengetahui mengenai 12 paket kebijakan ekonomi tersebut. Meski demikian, pemerintah mengklaim secara umum kalangan dunia usaha dan pemerintah daerah telah mengetahui mengenai berbagai paket kebijakan tersebut. Berdasarkan informasi yang dihimpun, dari 157 responden dari kalangan pengusaha, 80% menyatakan mengetahui mengenai 12 paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sementara itu, sisanya 14% mengaku tidak mengetahui. Pada umumnya para pelaku usaha yang menjadi responden berasal dari luar Jakarta. Sementara itu, dari 52 responden pemerintah daerah di 25 provinsi, hanya 1,9% yang menyatakan tidak mengetahui perihal 12 paket kebijakan ekonomi yang telah diterbitkan oleh rezim Joko Widodo. Perwakilan Pokja III Raden Pardede mengatakan hasil survei itu menunjukkan bahwa paket kebijakan ekonomi berpotensi efektif untuk mengembangkan ekonomi makro yang kondusif dan menggerakkan ekonomi nasional. Namun, pihaknya masih belum puas dan akan membuka pintu bagi masukan dari pelaku usaha. “Kami tentu tidak puas, dan juga berdasarkan survei yang kami lakukan, pelaku usaha belum yakin dan belum puas betul. Kami akan panggil lagi, ketemu lagi dengan mereka untuk kemudian melakukan perbaikan di sisi regulasi yang sudah ada, apa saja yang masih kurang dan kenapa ada gajalan. Itu yang mau kami lakukan,” ujarnya seusai rapat di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (2/8). Dia memberi contoh ketidakpuasan pelaku usaha itu yakni perizinan yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang serba cepat tidak bisa disinkronisasikan dengan perizinan di daerah yang masih berbelit-belit mulai dari tingkat kecamatan sampai ke provinsi. “Mestinya kalau selesai di pusat sudah harus ada sinkronisasi dengan daerah. Saat ini yang terjadi di beberapa daerah, pelaku usaha harus mengajukan izin dari nol lagi ketika sampai di daerah. Kan proyek investasi itu banyaknya di daerah,” tambahnya. Apa yang diungkapkan oleh Raden Pardede sejalan dengan temuan BKPM ketika melakukan kunjungan ke 86 proyek investasi selama Juni 2016. Otoritas Investasi yang kini dipimpin oleh Thomas Lembong itu menemukan setidaknya ada lima kendala yang masih ditemui di lapangan yakni izin daerah, ketersediaan lahan, masalah kelistrikan serta infrastruktur seperti akses jalan ke lokasi proyek investasi yang belum memadai serta ketersediaan tenaga kerja. Untuk masalah perizinan daerah, pihaknya mene mukan beberapa izin yang menghambat itu meliputi perizinan tentang lokasi, lingkungan, penggunaan air tanah serta Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Adapun lokasi persebarannya berada di Jawa Tengah, Jawa Barat, Papua dan Bali. KINERJA BIROKRASI Peneliti Institute for Development Economic and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah mengatakan implementasi paket kebi jakan pada level daerah cenderung kurang terasa dampaknya padahal banyak urusan yang berkaitan dengan bisnis terjadi di daerah. “Tantangan yang dihadapi oleh pemerintah yang berkaitan dengan daerah seperti peningkatan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan yang lebih cepat. Jadi bukan semata-mata pada aspek deregulasi,” ujarnya. Sementara itu, Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Teten Masduki mengatakan pemerintah telah melakukan percepatan regulasi paket kebijakan sebanyak 203 aturan turunan baik yang berbentuk regulasi baru atau penggabungan dengan regulasi yang telah ada sebelumnya. “Jadi kita tinggal melakukan pengujian di lapangan apakah masih ada regulasi-regulasi yang belum memberikan kenyamanan di dunia usaha baik investor besar maupum UMKM,” katanya. Dia mengatakan pengujian itu berupa review apakah masih ada tumpang tindih aturan mengenai investasi, serta birokrasi perizinan. Jika masih menemukan kendala, maka perbaikan demi perbaikan akan terus dilakukan oleh pemerintah. Sementara itu, Investasi hulu minyak dan gas bumi Indonesia dirasakan kurang menarik dibandingkan negara-negara lain sehingga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengusulkan Peraturan Pemerintah No. 79/2010 sehingga sektor ini lebih dilirik oleh investor. Direktur Jenderal Migas, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja mengatakan revisi itu bisa menjadikan investasi hului migas terlihat lebih atraktif. “Dengan kondisi saat ini banyak hal sudah berkembang dan harga minyak juga tidak setinggi dulu. Jadi aturannya tentu saja perlu disesuaikan,” katanya di Kantor Kemenko Perekonomian, Selasa (2/8/). Menurutnya, ada tiga poin utama yang diusulkan revisi PP 79/2010, yakni mendorong agar investasi hulu migas lebih atraktif, mengurangi beban perpajakan, dan mengurangi aturan-aturan yang berlebihan di sektor hulu migas.