Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan bagi mereka, pahlawan kesehatan. Oleh GIANIE Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan. Kesehatan mental mereka pun rentan mengalami trauma. Secara jangka panjang, bisa terjadi kelangkaan ketersediaan tenaga kesehatan. Kematian tenaga kesehatan (nakes) akibat Covid-19 di Indonesia pertama kali terungkap pada 12 Maret 2020. Seorang perempuan usia 37 tahun meninggal di Rumah Sakit Sulianti Saroso. Pemerintah tidak mengetahui bahwa perempuan itu adalah perawat. (The Jakarta Post, 20/3/2020). Sang perawat memiliki kontak dengan pasien Covid-19 di RS yang lain di Jakarta. Pada 12 Maret 2020 tersebut, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia tercatat 34 kasus. Selang sepuluh hari, pada 22 Maret 2020, tiga orang dokter yang terindikasi positif Covid-19 dikabarkan meninggal dunia (The Jakarta Post, 22/3/2020). Tak lama kemudian, Ikatan Dokter Indonesia atau IDI mengumumkan, lima dokter dan satu guru besar kesehatan meninggal karena menderita Covid-19. Hingga 3 Juli 2021, berdasarkan data Tim Satgas Penanganan Covid-19 Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) terdapat sebanyak 6.698 perawat yang terkonfirmasi Covid-19. Sebanyak 339 perawat di antaranya meninggal dunia. Selain itu, IDI menyebutkan sampai dengan Juni 2021 lalu, jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 401 orang. Diperkirakan jumlahnya lebih besar lagi jika ditambah dengan kematian nakes lainnya, seperti bidan, petugas yang bekerja di laboratorium, supir ambulans, dan sebagainya. Menurut catatan koalisi warga LaporCovid19, per 12 Februari 2021 saja, sebanyak 735 nakes meninggal dengan status positif Covid-19. (Kompas, 13/2/2021). Dapat dibayangkan apabila nakes, terutama perawat, mudah terpapar virus korona. Meskipun sehari-harinya mereka bernapas di balik masker N-95 dan mengenakan pakaian hazmat berjam-jam, faktor kelelahan sangat memengaruhi imunitas mereka. Beban tugas yang berat tentu bisa membuat imunitas turun. Baca juga : Tenaga Kesehatan Kelelahan dan Makin Rentan Tertular Covid-19 Para tenaga medis ini harus bekerja dengan waktu yang lebih panjang, namun waktu istirahat yang singkat dibandingkan situasi normal. Apalagi di saat seperti sekarang di mana terjadi lonjakan kasus yang menyebabkan kapasitas sarana perawatan maupun tenaga medis tidak mampu melayani semua pasien. Kondisi seperti ini dialami oleh nakes di seluruh dunia yang disapu pandemi. Pada 31 Desember 2020, Badan Perawat Internasional (International Council of Nurses/ICN) melaporkan, secara global angka kematian perawat akibat Covid-19 berjumlah 2.262 orang di 59 negara. Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut berasal dari belahan benua Amerika. Brasil, Amerika Serikat, dan Meksiko menurut ICN memiliki angka kematian perawat yang cukup tinggi. Namun, jumlah tersebut diperkirakan rendah dibandingkan keadaan sebenarnya. Angka aktualnya tidak diketahui mengingat tidak adanya sistem pengawasan global yang terstandardisasi dan sistematis. Jauh sebelumnya, di bulan April, ICN sudah mengingatkan beban yang meningkat dialami perawat akibat penambahan pasien Covid-19 yang dapat menimbulkan tekanan dan trauma di kalangan perawat. Kelangkaan nakes Bergugurannya perawat dan nakes lainnya menimbulkan masalah baru yang bisa merembet menjadi persoalan besar. Laporan ICN menyebutkan, saat ini ada fase perawat-perawat di seluruh dunia mengalami trauma akibat ketidakberdayaan menangani pandemi Covid-19. Tugas perawat bukan saja membantu kesembuhan pasien Covid-19, tetapi juga menjaga diri dan keluarganya sendiri agar tidak terinfeksi virus ganas ini. Beban itu kian berat tatkala mereka melihat koleganya gugur satu demi satu. Tak sedikit pula nakes yang mengalami perlakuan buruk dari keluarga pasien karena masalah selisih paham atau alasan lain. Tekanan sosial dan ekonomi juga mesti dihadapi para nakes. ICN memproyeksikan, secara global akan terjadi kelangkaan perawat sebanyak lebih dari 10 juta orang pada 2030. Pandemi ini berdampak pada meningkatnya jumlah perawat yang mengalami puncak beban, sehingga memilih tidak datang untuk bekerja dan bahkan ekstremnya meninggalkan profesi mereka. Sebanyak 89 persen kekurangan tenaga perawat ini berpotensi terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Para pemangku kepentingan perlu bertindak untuk mengantisipasi dampak negatif dari pandemi ini untuk mempertahankan ketercukupan tenaga kerja di sektor kesehatan. Harus ada perlindungan fisik dan mental bagi perawat dan nakes lainnya untuk membangun resiliensi kesehatan. Apresiasi terhadap kerja dan dedikasi nakes tidak boleh berhenti pada sekadar retorika. Pemerintah harus berkomitmen memenuhi hak-hak keuangan serta perlindungan fisik dan mental para nakes. Masalah keterlambatan membayar gaji atau insentif nakes seharusnya tidak boleh terjadi atau kalaupun terjadi cepat teratasi. Perlindungan Nakes di Indonesia mendapatkan insentif dan santunan kematian sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan dalam menangani Covid-19. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020, besaran insentif bagi nakes yang menangani Covid-19 adalah untuk dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan, dokter umum dan dokter gigi Rp 10 juta, bidan dan perawat Rp 7,5 juta, serta tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Adapun santunan kematian adalah sebesar Rp 300 juta yang diberikan kepada keluarga nakes yang meninggal karena terpapar Covid-19. Sumber dana untuk insentif dan santunan kematian ini berasal dari APBN dan APBD melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tambahan. Pembayaran insentif ini menggunakan dua skema, yakni insentif bagi tenaga kesehatan di RSUP, BUMN, RS Swasta, TNI/POLRI dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah pusat, sementara untuk insentif tenaga kesehatan di RSUD dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah daerah. Evaluasi dari pelaksanaan tahun lalu, penyaluran insentif ini belum merata. Cukup banyak nakes yang belum mendapatkan insentif sama sekali. Jika pun mendapatkan, seringkali terlambat, tidak teratur, atau besarannya tidak sesuai. Banyak pula keluarga nakes yang meninggal akibat Covid-19 terlambat mendapatkan santunan kematian. Pemberian insentif ini sangat berarti bagi nakes, karena para nakes juga merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Namun, perlindungan bukan hanya terkait finansial. Nakes harus dijamin bekerja dengan perlindungan fisik yang maksimal. Hal itu terkait dengan penyediaan alat perlindungan diri yang memadai. Juga perlindungan bagi kondisi mental nakes, yang hal itu terkait dengan pengaturan jam kerja, beban pekerjaan, dan perlindungan bagi nakes saat berada di perjalanan dari dan ke tempat kerja. Yang tak kalah penting tentunya adalah kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 agar fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia mampu melayani semua pasien sebelum terlambat. (LITBANG KOMPAS)   Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan bagi mereka, pahlawan kesehatan. Oleh GIANIE Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan. Kesehatan mental mereka pun rentan mengalami trauma. Secara jangka panjang, bisa terjadi kelangkaan ketersediaan tenaga kesehatan. Kematian tenaga kesehatan (nakes) akibat Covid-19 di Indonesia pertama kali terungkap pada 12 Maret 2020. Seorang perempuan usia 37 tahun meninggal di Rumah Sakit Sulianti Saroso. Pemerintah tidak mengetahui bahwa perempuan itu adalah perawat. (The Jakarta Post, 20/3/2020). Sang perawat memiliki kontak dengan pasien Covid-19 di RS yang lain di Jakarta. Pada 12 Maret 2020 tersebut, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia tercatat 34 kasus. Selang sepuluh hari, pada 22 Maret 2020, tiga orang dokter yang terindikasi positif Covid-19 dikabarkan meninggal dunia (The Jakarta Post, 22/3/2020). Tak lama kemudian, Ikatan Dokter Indonesia atau IDI mengumumkan, lima dokter dan satu guru besar kesehatan meninggal karena menderita Covid-19. Hingga 3 Juli 2021, berdasarkan data Tim Satgas Penanganan Covid-19 Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) terdapat sebanyak 6.698 perawat yang terkonfirmasi Covid-19. Sebanyak 339 perawat di antaranya meninggal dunia. Selain itu, IDI menyebutkan sampai dengan Juni 2021 lalu, jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 401 orang. Diperkirakan jumlahnya lebih besar lagi jika ditambah dengan kematian nakes lainnya, seperti bidan, petugas yang bekerja di laboratorium, supir ambulans, dan sebagainya. Menurut catatan koalisi warga LaporCovid19, per 12 Februari 2021 saja, sebanyak 735 nakes meninggal dengan status positif Covid-19. (Kompas, 13/2/2021). Dapat dibayangkan apabila nakes, terutama perawat, mudah terpapar virus korona. Meskipun sehari-harinya mereka bernapas di balik masker N-95 dan mengenakan pakaian hazmat berjam-jam, faktor kelelahan sangat memengaruhi imunitas mereka. Beban tugas yang berat tentu bisa membuat imunitas turun. Baca juga : Tenaga Kesehatan Kelelahan dan Makin Rentan Tertular Covid-19 Para tenaga medis ini harus bekerja dengan waktu yang lebih panjang, namun waktu istirahat yang singkat dibandingkan situasi normal. Apalagi di saat seperti sekarang di mana terjadi lonjakan kasus yang menyebabkan kapasitas sarana perawatan maupun tenaga medis tidak mampu melayani semua pasien. Kondisi seperti ini dialami oleh nakes di seluruh dunia yang disapu pandemi. Pada 31 Desember 2020, Badan Perawat Internasional (International Council of Nurses/ICN) melaporkan, secara global angka kematian perawat akibat Covid-19 berjumlah 2.262 orang di 59 negara. Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut berasal dari belahan benua Amerika. Brasil, Amerika Serikat, dan Meksiko menurut ICN memiliki angka kematian perawat yang cukup tinggi. Namun, jumlah tersebut diperkirakan rendah dibandingkan keadaan sebenarnya. Angka aktualnya tidak diketahui mengingat tidak adanya sistem pengawasan global yang terstandardisasi dan sistematis. Jauh sebelumnya, di bulan April, ICN sudah mengingatkan beban yang meningkat dialami perawat akibat penambahan pasien Covid-19 yang dapat menimbulkan tekanan dan trauma di kalangan perawat. Kelangkaan nakes Bergugurannya perawat dan nakes lainnya menimbulkan masalah baru yang bisa merembet menjadi persoalan besar. Laporan ICN menyebutkan, saat ini ada fase perawat-perawat di seluruh dunia mengalami trauma akibat ketidakberdayaan menangani pandemi Covid-19. Tugas perawat bukan saja membantu kesembuhan pasien Covid-19, tetapi juga menjaga diri dan keluarganya sendiri agar tidak terinfeksi virus ganas ini. Beban itu kian berat tatkala mereka melihat koleganya gugur satu demi satu. Tak sedikit pula nakes yang mengalami perlakuan buruk dari keluarga pasien karena masalah selisih paham atau alasan lain. Tekanan sosial dan ekonomi juga mesti dihadapi para nakes. ICN memproyeksikan, secara global akan terjadi kelangkaan perawat sebanyak lebih dari 10 juta orang pada 2030. Pandemi ini berdampak pada meningkatnya jumlah perawat yang mengalami puncak beban, sehingga memilih tidak datang untuk bekerja dan bahkan ekstremnya meninggalkan profesi mereka. Sebanyak 89 persen kekurangan tenaga perawat ini berpotensi terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Para pemangku kepentingan perlu bertindak untuk mengantisipasi dampak negatif dari pandemi ini untuk mempertahankan ketercukupan tenaga kerja di sektor kesehatan. Harus ada perlindungan fisik dan mental bagi perawat dan nakes lainnya untuk membangun resiliensi kesehatan. Apresiasi terhadap kerja dan dedikasi nakes tidak boleh berhenti pada sekadar retorika. Pemerintah harus berkomitmen memenuhi hak-hak keuangan serta perlindungan fisik dan mental para nakes. Masalah keterlambatan membayar gaji atau insentif nakes seharusnya tidak boleh terjadi atau kalaupun terjadi cepat teratasi. Perlindungan Nakes di Indonesia mendapatkan insentif dan santunan kematian sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan dalam menangani Covid-19. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020, besaran insentif bagi nakes yang menangani Covid-19 adalah untuk dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan, dokter umum dan dokter gigi Rp 10 juta, bidan dan perawat Rp 7,5 juta, serta tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Adapun santunan kematian adalah sebesar Rp 300 juta yang diberikan kepada keluarga nakes yang meninggal karena terpapar Covid-19. Sumber dana untuk insentif dan santunan kematian ini berasal dari APBN dan APBD melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tambahan. Pembayaran insentif ini menggunakan dua skema, yakni insentif bagi tenaga kesehatan di RSUP, BUMN, RS Swasta, TNI/POLRI dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah pusat, sementara untuk insentif tenaga kesehatan di RSUD dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah daerah. Evaluasi dari pelaksanaan tahun lalu, penyaluran insentif ini belum merata. Cukup banyak nakes yang belum mendapatkan insentif sama sekali. Jika pun mendapatkan, seringkali terlambat, tidak teratur, atau besarannya tidak sesuai. Banyak pula keluarga nakes yang meninggal akibat Covid-19 terlambat mendapatkan santunan kematian. Pemberian insentif ini sangat berarti bagi nakes, karena para nakes juga merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Namun, perlindungan bukan hanya terkait finansial. Nakes harus dijamin bekerja dengan perlindungan fisik yang maksimal. Hal itu terkait dengan penyediaan alat perlindungan diri yang memadai. Juga perlindungan bagi kondisi mental nakes, yang hal itu terkait dengan pengaturan jam kerja, beban pekerjaan, dan perlindungan bagi nakes saat berada di perjalanan dari dan ke tempat kerja. Yang tak kalah penting tentunya adalah kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 agar fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia mampu melayani semua pasien sebelum terlambat. (LITBANG KOMPAS)   Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan bagi mereka, pahlawan kesehatan. Oleh GIANIE Tenaga kesehatan menghadapi risiko dan dampak dari pandemi Covid-19 berkali-kali lipat dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Nyawa menjadi taruhan pekerjaan. Kesehatan mental mereka pun rentan mengalami trauma. Secara jangka panjang, bisa terjadi kelangkaan ketersediaan tenaga kesehatan. Kematian tenaga kesehatan (nakes) akibat Covid-19 di Indonesia pertama kali terungkap pada 12 Maret 2020. Seorang perempuan usia 37 tahun meninggal di Rumah Sakit Sulianti Saroso. Pemerintah tidak mengetahui bahwa perempuan itu adalah perawat. (The Jakarta Post, 20/3/2020). Sang perawat memiliki kontak dengan pasien Covid-19 di RS yang lain di Jakarta. Pada 12 Maret 2020 tersebut, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 di Indonesia tercatat 34 kasus. Selang sepuluh hari, pada 22 Maret 2020, tiga orang dokter yang terindikasi positif Covid-19 dikabarkan meninggal dunia (The Jakarta Post, 22/3/2020). Tak lama kemudian, Ikatan Dokter Indonesia atau IDI mengumumkan, lima dokter dan satu guru besar kesehatan meninggal karena menderita Covid-19. Hingga 3 Juli 2021, berdasarkan data Tim Satgas Penanganan Covid-19 Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) terdapat sebanyak 6.698 perawat yang terkonfirmasi Covid-19. Sebanyak 339 perawat di antaranya meninggal dunia. Selain itu, IDI menyebutkan sampai dengan Juni 2021 lalu, jumlah dokter yang meninggal akibat Covid-19 sebanyak 401 orang. Diperkirakan jumlahnya lebih besar lagi jika ditambah dengan kematian nakes lainnya, seperti bidan, petugas yang bekerja di laboratorium, supir ambulans, dan sebagainya. Menurut catatan koalisi warga LaporCovid19, per 12 Februari 2021 saja, sebanyak 735 nakes meninggal dengan status positif Covid-19. (Kompas, 13/2/2021). Dapat dibayangkan apabila nakes, terutama perawat, mudah terpapar virus korona. Meskipun sehari-harinya mereka bernapas di balik masker N-95 dan mengenakan pakaian hazmat berjam-jam, faktor kelelahan sangat memengaruhi imunitas mereka. Beban tugas yang berat tentu bisa membuat imunitas turun. Baca juga : Tenaga Kesehatan Kelelahan dan Makin Rentan Tertular Covid-19 Para tenaga medis ini harus bekerja dengan waktu yang lebih panjang, namun waktu istirahat yang singkat dibandingkan situasi normal. Apalagi di saat seperti sekarang di mana terjadi lonjakan kasus yang menyebabkan kapasitas sarana perawatan maupun tenaga medis tidak mampu melayani semua pasien. Kondisi seperti ini dialami oleh nakes di seluruh dunia yang disapu pandemi. Pada 31 Desember 2020, Badan Perawat Internasional (International Council of Nurses/ICN) melaporkan, secara global angka kematian perawat akibat Covid-19 berjumlah 2.262 orang di 59 negara. Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut berasal dari belahan benua Amerika. Brasil, Amerika Serikat, dan Meksiko menurut ICN memiliki angka kematian perawat yang cukup tinggi. Namun, jumlah tersebut diperkirakan rendah dibandingkan keadaan sebenarnya. Angka aktualnya tidak diketahui mengingat tidak adanya sistem pengawasan global yang terstandardisasi dan sistematis. Jauh sebelumnya, di bulan April, ICN sudah mengingatkan beban yang meningkat dialami perawat akibat penambahan pasien Covid-19 yang dapat menimbulkan tekanan dan trauma di kalangan perawat. Kelangkaan nakes Bergugurannya perawat dan nakes lainnya menimbulkan masalah baru yang bisa merembet menjadi persoalan besar. Laporan ICN menyebutkan, saat ini ada fase perawat-perawat di seluruh dunia mengalami trauma akibat ketidakberdayaan menangani pandemi Covid-19. Tugas perawat bukan saja membantu kesembuhan pasien Covid-19, tetapi juga menjaga diri dan keluarganya sendiri agar tidak terinfeksi virus ganas ini. Beban itu kian berat tatkala mereka melihat koleganya gugur satu demi satu. Tak sedikit pula nakes yang mengalami perlakuan buruk dari keluarga pasien karena masalah selisih paham atau alasan lain. Tekanan sosial dan ekonomi juga mesti dihadapi para nakes. ICN memproyeksikan, secara global akan terjadi kelangkaan perawat sebanyak lebih dari 10 juta orang pada 2030. Pandemi ini berdampak pada meningkatnya jumlah perawat yang mengalami puncak beban, sehingga memilih tidak datang untuk bekerja dan bahkan ekstremnya meninggalkan profesi mereka. Sebanyak 89 persen kekurangan tenaga perawat ini berpotensi terjadi di negara-negara dengan pendapatan rendah dan menengah. Para pemangku kepentingan perlu bertindak untuk mengantisipasi dampak negatif dari pandemi ini untuk mempertahankan ketercukupan tenaga kerja di sektor kesehatan. Harus ada perlindungan fisik dan mental bagi perawat dan nakes lainnya untuk membangun resiliensi kesehatan. Apresiasi terhadap kerja dan dedikasi nakes tidak boleh berhenti pada sekadar retorika. Pemerintah harus berkomitmen memenuhi hak-hak keuangan serta perlindungan fisik dan mental para nakes. Masalah keterlambatan membayar gaji atau insentif nakes seharusnya tidak boleh terjadi atau kalaupun terjadi cepat teratasi. Perlindungan Nakes di Indonesia mendapatkan insentif dan santunan kematian sebagai bentuk apresiasi dan penghargaan dalam menangani Covid-19. Mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 392 Tahun 2020, besaran insentif bagi nakes yang menangani Covid-19 adalah untuk dokter spesialis sebesar Rp 15 juta per bulan, dokter umum dan dokter gigi Rp 10 juta, bidan dan perawat Rp 7,5 juta, serta tenaga medis lainnya Rp 5 juta. Adapun santunan kematian adalah sebesar Rp 300 juta yang diberikan kepada keluarga nakes yang meninggal karena terpapar Covid-19. Sumber dana untuk insentif dan santunan kematian ini berasal dari APBN dan APBD melalui Bantuan Operasional Kesehatan (BOK) tambahan. Pembayaran insentif ini menggunakan dua skema, yakni insentif bagi tenaga kesehatan di RSUP, BUMN, RS Swasta, TNI/POLRI dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah pusat, sementara untuk insentif tenaga kesehatan di RSUD dianggarkan dan dibayarkan oleh pemerintah daerah. Evaluasi dari pelaksanaan tahun lalu, penyaluran insentif ini belum merata. Cukup banyak nakes yang belum mendapatkan insentif sama sekali. Jika pun mendapatkan, seringkali terlambat, tidak teratur, atau besarannya tidak sesuai. Banyak pula keluarga nakes yang meninggal akibat Covid-19 terlambat mendapatkan santunan kematian. Pemberian insentif ini sangat berarti bagi nakes, karena para nakes juga merupakan tulang punggung bagi keluarganya. Namun, perlindungan bukan hanya terkait finansial. Nakes harus dijamin bekerja dengan perlindungan fisik yang maksimal. Hal itu terkait dengan penyediaan alat perlindungan diri yang memadai. Juga perlindungan bagi kondisi mental nakes, yang hal itu terkait dengan pengaturan jam kerja, beban pekerjaan, dan perlindungan bagi nakes saat berada di perjalanan dari dan ke tempat kerja. Yang tak kalah penting tentunya adalah kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 agar fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia mampu melayani semua pasien sebelum terlambat. (LITBANG KOMPAS)