Di awal pandemi Covid-19, masker dan produk pencuci tangan jadi langka. Kini, giliran isi tabung oksigen medis dan obat yang harganya melonjak. Oleh YOHANES MEGA HENDARTO   Antrean warga yang hendak mengisi ulang tabung oksigen di kios pinggir jalan menjadi pemandangan lazim belakangan ini. Sebagaimana kelangkaan masker dan hand sanitizer yang pernah terjadi, persoalan antisipasi dan distribusi oksigen perlu diatasi agar tidak terjadi lagi. Ketersediaan isi ulang tabung oksigen menjadi barang langka di tengah gelombang kedua  pandemi Covid-19 saat ini. Kelangkaan ini mendorong naiknya harga isi ulang maupun tabung oksigen yang dijual di pasaran. Kenaikan harga terjadi sejak dua minggu lalu, menyusul lonjakan sangat tinggi kasus Covid-19. Harga isi ulang oksigen naik sebesar Rp. 3.000 hingga Rp. 5.000 per tabung berbagai ukuran di sentra atau kios penjualan yang terletak di Jakarta dipantau pada 2 Juli 2021. Pengisian oksigen untuk tabung paling kecil berukuran 0,5 meter kubik dihargai Rp 10.000 dan tabung ukuran 1,5 meter kubik mencapai Rp 25.000. Sedangkan pengisian oksigen untuk tabung ukuran dua meter kubik mencapai Rp 30.000 dan tiga meter kubik mencapai Rp 40.000. Sementara itu, kenaikan harga fantastis terjadi untuk penjualan tabung oksigen di sejumlah platform e-dagang. Misalnya untuk satu paket tabung oksigen berukuran satu meter kubik pada 6 Juli 2021, dijual dengan harga sekitar Rp. 900.000 hingga Rp. 5.000.000. Padahal, di Desember 2020 kemarin harga satu paket tabung dengan ukuran yang sama hanya berkisar Rp. 750.000. Menurut keterangan Direktur Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Fridy Juwono (1/7/2021), kelangkaan terjadi lantaran tingginya permintaan tabung oksigen di masyarakat. Padahal, penggunaan tabung gas oksigen seharusnya hanya digunakan oleh paramedis yang mengerti cara penggunaannya sesuai kebutuhan medis. Lebih lanjut menurutnya, tabung oksigen beserta isinya bukan barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam maupun dari daerah pabean. Sehingga tidak ada pengaturan atau pembatasan. Mengatasi meningkatnya kebutuhan oksigen, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan berencana mengimpor alat oksigen konsentrator untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Konsentrator oksigen adalah mesin kecil di samping tempat tidur pasien yang menyediakan sumber oksigen terus menerus, diambil dari udara, sehingga tidak perlu diisi ulang. Sementara generator oksigen adalah mesin besar yang dapat menghasilkan oksigen dari udara, sekitar 5.000 liter per jam dan dapat mengisi 30 hingga 50 tabung besar per hari. Akan tetapi, pengadaan generator oksigen membutuhkan biaya yang mahal, sekitar 100.000 dollar AS atau setara Rp 1,4 miliar dan membutuhkan teknisi biomedis yang terlatih.   Kemenperin dan Kemenkes juga akan membuat database produsen dan distributor dalam negeri dan luar negeri untuk merapikan manajemen distribusi oksigen. Selain itu pemerintah juga akan menindak tegas para pelaku penimbun oksigen dan obat-obatan penting yang digunakan dalam perawatan penderita Covid-19. Selain harga oksigen, harga sejumlah obat yang diyakini masyarakat dapat menjadi solusi penderita Covid-19, juga mengalami kenaikan harga yang signifikan. Misalnya, harga ivermectin (obat keras) yang normalnya dijual di bawah Rp 10.000, lalu naik hingga puluhan ribu rupiah. Lonjakan harga wajar saja terjadi saat permintaan banyak dan persediaan sedikit. Akan tetapi, dalam konteks pandemi Covid-19 seperti saat ini, logika dasar ekonomi seharusnya dapat ditimbang juga atas nama kemanusiaan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, para korban dan tenaga medis kesulitan untuk mencari ketersediaan isi ulang dan tabung oksigen. Terkait peredaran dan penjualan obat, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah menerbitkan aturan harga untuk 11 jenis obat yang mulai berlaku 3 Juli 2021. Melalui Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) Nomor HK.01.07/Menkes/4826/2021 Tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) Obat dalam Masa Pandemi Covid-19 disebutkan kesebelas obat itu menjadi acuan bagi perusahaan dalam menetapkan harga.   Antisipasi terlambat Saat ini Indonesia antre untuk mendapat pasokan oksigen dari perusahaan Jerman Linde, perusahaan Prancis Air Liquide, dan perusahaan Amerika Serikat Air Products. Namun Indonesia bukan satu-satunya negara yang kesulitan mendapatkan pasokan oksigen medis saat ini. Selain Indonesia, kelangkaan pasokan oksigen medis juga terjadi di India, Brazil, Republik Kongo, Peru, dan Venezuela. Menurut laporan Bank Dunia 2020, negara-negara di kawasan Eropa masih menjadi pengekspor oksigen terbesar sebelum mewabahnya pandemi Covid-19. Belgia menjadi negara terbesar eksportir oksigen dengan nilai ekspor sekitar Rp 490,94 miliar selama 2019. Sebagai perbandingan, di tahun yang sama jumlah ekspor oksigen Indonesia hanya bernilai sekitar Rp 1,1 miliar. Media The Guardian, mencoba menjelaskan kelangkaan ini dari segi persiapan sebuah negara dalam mengantisipasi kelangkaan pasokan oksigen medis. Selama ini, ngara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah cenderung mengabaikan pasokan oksigen medis. Padahal negara-negara tersebut tiap tahunnya selalu bergumul dengan penyakit pneumonia, bahkan sebelum pandemi Covid-19 melanda. Kebutuhan oksigen medis menjadi hal primer dalam perawatan pasien pneumonia. Dengan asumsi ini, sudah seharusnya negara-negara tersebut memperkuat produksi dan sistem distribusi pasokan oksigen medis sejak lama. Dalam kasus pasien pneumonia, satu tabung oksigen akan cukup memasok satu orang dan dapat bertahan antara 24 s/d 72 jam tergantung pada tingkat keparahan hipoksemia (kondisi darah kekurangan oksigen). Namun, penderita Covid-19 yang parah sering mengalami hipoksemia lebih dari seminggu, sehingga satu tabung oksigen dengan ukuran yang sama dapat habis dalam waktu yang lebih cepat daripada kebutuhan penderita pneumonia. Saat ini, pemerintah perlu sesegera mungkin memastikan kecukupan pasokan oksigen medis untuk kebutuhan para pasien reguler dan Covid-19 yang merebak di seluruh negeri. Dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR dengan Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan pada 5 Juli 2021, disebutkan bahwa target suplai oksigen untuk di Pulau Jawa dan Bali sebesar 2.262 ton per hari. Jumlah ini dihitung berdasarkan jumlah tempat tidur yang terpakai dan masih tersedia di 1.608 rumah sakit di Pulau Jawa dan Bali. Warga berpartisipasi Sembari menunggu tindak lanjutan dari pemerintah pusat, kini pemerintah daerah sudah mulai turun ke lapangan guna mengatasi persoalan pasokan oksigen medis.  Sejak 4 Juli 2021, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membuka Posko Oxygen Rescue di kawasan Monas untuk pengisian ulang oksigen medis. Pejabat Provinsi DKI Jakarta mengatakan, penyediaan posko isi ulang tabung oksigen ini diberikan untuk semua rumah sakit baik swasta maupun milik pemerintah di DKI Jakarta. Di tataran akar rumput, masyarakat pun sudah bergerak secara swadaya dengan menggalang donasi dan menyediakan oksigen medis bagi yang sangat memerlukan. Hal ini dilakukan antara lain oleh Gerakan Solidaritas Sejuta Tes Antigen untuk Indonesia yang mengumpulkan donasi dan menyalurkannya dengan cara menyediakan tabung oksigen untuk dipinjamkan selama 5 hingga 7 hari, khusus pasien isolasi mandiri. Baca juga: Menghitung Kebutuhan Oksigen Medis Selain itu, melalui laman oksigen.carrd.co, masyarakat dapat mengakses informasi mengenai lokasi kios atau sentra pengisian ulang dan tabung oksigen. Melalui laman ini juga, masyarakat dapat mengunggah informasi serupa. Maka di tengah kondisi pandemi yang tidak kunjung membaik, pemerintah, pengusaha, dan masyarakat harus bergerak senada. Tindakan panic buying jangan sampai terulang demi menghindari praktik spekulasi harga oleh penjual. Kondisi pandemi yang memburuk juga menjadi peringatan bahwa seluruh masyarakat hanya keluar rumah saat benar-benar perlu dan selalu taat melakukan protokol kesehatan. (LITBANG KOMPAS)