Teknologi dan Industri Kelautan Sulit Berkembang Pembangunan kelautan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi masih lemah. Apalagi sistem rantai pasok secara terpadu belum diterapkan, kurang inklusif, dan tidak ramah lingkungan. JAKARTA, KOMPAS — Presiden Joko Widodo saat dilantik pertama kali tahun 2014 pernah menyampaikan keinginannya menjadikan kembali Indonesia sebagai poros maritim dunia. Namun, hingga kini, keinginan itu tak mudah diwujudkan. Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam diskusi virtual tentang pemanfaatan teknologi kelautan dan kemaritiman dari Jakarta, Jumat (27/11/2020), mengatakan, besarnya potensi laut Indonesia belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal. Itu terlihat dari rendahnya kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang baru mencapai 3,7 persen. ”Bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, dan Vietnam yang memiliki luas laut lebih kecil dari Indonesia tetapi kontrobusi sektor kelautan mereka terhadap PDB mencapai 48-57 persen,” katanya. Dengan luas laut mencapai 62,9 persen dari wilayahnya, potensi kekayaan laut Indonesia per tahun, mengutip data Kementerian Kelautan dan Perikanan 2020, mencapai 1.338 miliar dollar AS atau sekitar Rp 18.732 triliun dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS. Potensi itu berasal dari perikanan tangkap dan budidaya, industri maritim, bioteknologi, sumber daya mineral, jasa maritim, hingga pariwisata. Jumlah tenaga kerja yang bisa diserap mencapai 45 juta orang. Belum optimalnya pengelolaan lautan itu, kata Pontjo, dipicu oleh kendala kultural yang membuat rendahnya perhatian terhadap sektor kelautan. Selain itu, pembangunan kelautan yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi masih lemah, serta belum diterapkannya sistem rantai pasok secara terpadu, kurang inklusif, dan tidak ramah lingkungan.   KOMPAS/TATANG MULYANA SINAGA Pegawai Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan menjelaskan cara kerja inovasi teknologi keramba jaring apung dengan Sistem Manajemen Air Resirkulasi dan Tanaman di Waduk Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Selasa (11/2/2020). Produk inovasi Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga Guru Besar Teknik Perkapalan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya I Ketut Aria Pria Utama mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki banyak ahli dan produk inovasi kelautan. Jumlah mereka juga cukup banyak karena tersebar di sejumlah perguruan tinggi. Baca juga: Inovasi dan Teknologi Bisa Bangkitkan Ekonomi Perikanan Namun, dukungan pemerintah terhadap inovasi kelautan itu masih kurang hingga karya itu belum bisa diproduksi massal dan dikenalkan ke masyarakat untuk digunakan. Di sisi lain, impor produk kelautan dan kemaritiman Indonesia masih amat tinggi, khususnya mesin kapal. Padahal, ahli-ahli Indonesia mampu melakukannya. Menurut Ketut, peluang Indonesia untuk menjadi negara produsen kapal sangat besar mengingat tren industri kapal sejak dekade 2000-an mengarah ke Asia Timur, khususnya China dan Korea Selatan. Eropa mulai mengurangi produksi dan penggunaan kapal karena pradigma pembangunannya sudah berubah. ”Peneliti tidak punya modal untuk bisa mewujudkannya sehingga perlu dukungan pemerintah,” katanya. Sementara itu, Guru Besar Ilmu dan Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor Indra Jaya mengatakan, teknologi kelautan yang dibutuhkan Indonesia antara lain teknologi eksplorasi laut. Indonesia juga butuh teknologi pemanfaatan biota dan ruang laut beserta peningkatan nilai tambahnya, serta teknologi observasi dinamika laut. Untuk bisa menguasai semua teknologi itu, maka literasi tentang teknologi kelautan dan kemaritiman perlu terus didorong. Tanpa teknologi, potensi kekayaan yang ada di laut akan sulit dimanfaatkan. Kebijakan afirmasi pemerintah diperlukan karena pengembangan teknologi kelautan relatif lebih tertinggal dibandingkan teknologi lain. Jika ada keberpihakan, Indonesia pasti bisa menguasai teknologi kelautan sama seperti ketika Indonesia menguasai teknologi pesawat terbang. ”Terapkan kebijakan secara konsisten dengan pendekatan multiarah, bisa dari hulu ke hilir atau sebaliknya, hingga bisa mengadopsi teknologi yang ada secara cepat,” katanya. Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Arifin Rudiyanto mengatakan pentingnya riset dan teknologi untuk mewujudkan Visi 2045 Indonesia terkait sektor maritim. Terapkan kebijakan secara konsisten dengan pendekatan multiarah, bisa dari hulu ke hilir atau sebaliknya, hingga bisa mengadopsi teknologi secara cepat. Pada 2045, Indonesia ingin meningkatkan peran sektor kemaritimannya hingga mencapai 12,5 persen PDB dengan fokus pada pembangunan konektivitas laut, industrialisasi perikanan yang berkelanjutan, dan wisata bahari.   KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Mochamad Ashari mendampingi Menteri Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda Cora Van Nieuwenhuizen (baju merah) menerima penjelasan mengenai hasil penelitian mahasiswa ITS di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (12/3/2020). Tak hanya itu, Indonesia juga bertekad membangun peradaban maritim yang ditopang oleh sumber daya manusia unggul, inovasi teknologi kemaritiman, dan budaya maritim yang kuat. Situasi itu perlu ditopang dengan kemampuan pertahanan dan keamanana maritim yang handal hingga Indonesia bisa jadi kekuatan maritim dunia. Budaya maritim Di luar persoalan teknologi, munculnya industri dan wirausaha yang bergerak di sektor kelautan perlu terus didorong. Menurut Pontjo, jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 3 persen dari jumlah penduduk, kalah jauh dengan negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand. Dari jumlah yang kecil itu, porsi pengusaha di sektor kelautan jauh lebih kecil lagi. Baca juga: Bantalan Kapal Lokal Dorong Hilirisasi Karet Karena itu, munculnya pengusaha-pengusaha sektor kelautan perlu terus didorong. Di masa lalu, bangsa Indonesia adalah bangsa bahari yang menguasai perdagangan hingga ke Asia Timur. Semangat kembali ke laut itu perlu terus didorong, termasuk untuk para pengusaha. Sementara itu, antropolog maritim dari Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dedi S Adhuri, mengatakan, pengembangan teknologi kelautan yang akan dikembangkan perlu memperhatikan aspek kelanjutan dan keadilan yang disesuiakan dengan kondisi masyarakat bahari yang ada.   Pengunjung melihat dan mencari informasi mengenai kemaritiman di pameran Marintec Indonesia. Marentec Indonesia merupakan pameran industri perkapalan, pelabuhan, dan lepas pantai Pameran yang di gelar di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (24/11/2016). Dedi menilai budaya bahari sebenarnya tetap dimiliki sebagian suku-suku bangsa, seperti suku Bajau yang masih hidup di laut. Selain itu, lebih separuh penduduk Indonesia tinggal di wilayah pesisir dan separuh kabupaten/kota di Indonesia berbatasan wilayahnya dengan laut. Selain itu, ada 2,58 juta nelayan tangkap, 374 juta nelayan budidaya, 16.000 petambak garam, dan 34.500 orang yang bekerja di pengolahan ikan. Banyak nelayan sebenarnya sudah dibantu pemerintah dengan kapal dan alat tangkap ikan modern. Nelayan juga sudah dikenalkan dengan teknologi modern, seperti pendeteksian posisi ikan berbasis data satelit. Mereka juga sudah dilatih agar bisa mengadopsi sejumlah teknologi modern yang akan digunakan. Namun, berbagai bantuan dan pelatihan itu akhirnya tak termanfaatkan. Kapal dan alat tangkap modern yang diberikan banyak yang tidak sesuai dengan kebutuhan nelayan atau tidak cocok dengan jenis ikan yang bisa ditangkap nelayan. Untuk pengenalan lokasi tangkapan ikan, nelayan lebih memahami penggunaan patokan nama daerah atau desa tertentu sebagai acuan penentuan lokasi ikan dibandingkan penggunaan data garis lintang dan garis bujur. Tak hanya itu, nelayan umumnya mendapat pengetahuan dengan praktik langsung bukan belajar di kelas. Berbagai kesenjangan pengetahuan dan teknologi itulah yang perlu dijembatani. Karena itu, pengembangan teknologi kelautan, baik itu kapal, alat tangkap, atau program pemberdayaan lainnya, perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan pengetahuan nelayan, bukan sesuai kemauan pemerintah sebagai pemberi bantuan. Sebagian besar nelayan Indonesia adalah nelayan kecil yang miskin yang memiliki banyak keterbatasan, baik akses modal, keterampilan, maupun pengetahuan. Teknologi yang mereka gunakan memang nyaris tidak banyak berubah selama puluhan tahun terakhir. Namun, pengenalan teknologi tinggi justru bisa membuat mereka makin bergantung pada tengkulak karena teknologi tinggi identik dengan biaya operasional yang tinggi pula. Karena itu, Dedi menilai pengembangan teknologi kelautan di Indonesia perlu disesuaikan dengan kondisi nyata yang dihadpai nelayan. Nelayan perlu dilibatkan langsung dalam perancangan sebuah teknologi. ”Teknologi yang berkelanjutan dan berkeadilan adalah teknologi yang memberdayakan,” katanya.