Implementasi Pembangunan Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Berdampak Ganda JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diingatkan pentingnya manfaat dari pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan terhadap ekonomi, masyarakat, dan lingkungan. Nilai manfaat pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan diperkirakan 15,5 triliun dollar AS. Syaratnya, perbaikan tata kelola kelautan mutlak dilakukan. Direktur Pelaksana Kebijakan dan Kemitraan Pembangunan untuk Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan, implementasi pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan akan memberikan dampak ganda tidak hanya bagi ekonomi, tetapi juga bagi masyarakat dan lingkungan. Nilai manfaat yang didapat juga jauh lebih besar dari biaya yang dibutuhkan untuk implementasinya. Kunci keberhasilan membangun ekonomi berkelanjutan adalah negara harus melindungi ekosistem yang efektif, pemanfaatan ekonomi kelautan secara berkelanjutan, dan pendistribusian manfaat secara merata. Keputusan atau kebijakan yang diambil juga harus berfondasi pada penggunaan data yang tepat. ”Selain itu, pembuatan rencana kelautan dan pelaksanaannya sesuai tujuan, meminimalkan risiko keuangan, penghentian pencemaran yang bersumber dari daratan, dan pengembangan model penghitungan kekayaan laut yang mampu mencerminkan nilai ekonomi laut sesungguhnya,” kata Mari Elka dalam siaran pers yang diterbitkan Indonesia Ocean Justice Initiative, Rabu (23/12/2020). Perbandingan investasi dan keuntungan yang diperoleh dari pembangunan kelautan berkelanjutan sangat besar. Totalnya  15,5 triliun dollar AS. Baca juga: Pembangunan Ekonomi Laut Berkelanjutan Indonesia Jadi Perhatian Dunia     Laporan High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy berjudul ”Ocean Solutions that Benefit People, Nature, and Economy” menunjukkan, perbandingan investasi dan keuntungan yang diperoleh dari pembangunan kelautan berkelanjutan sangat besar. Totalnya 15,5 triliun dollar AS. Nilai ekonomi terbesar didapat dari kegiatan produksi makanan berbahan baku berasal dari laut, yaitu 6,7 triliun, dengan perbandingan manfaat dan investasi 10 berbanding 1. Direktur Eksekutif SDG’s Center Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Zuzy Anna menyatakan, negara-negara maritim perlu berinvestasi lebih besar pada pengembangan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi kelautan berkelanjutan. Nilai investasi tersebut setidaknya 10 persen dari hasil ekonomi laut yang diperoleh setiap tahunnya. ”Meski demikian, sektor maritim mengalami apa yang disebut underinvestment, yaitu hanya 1 persen dari total nilai ekonomi yang diinvestasikan untuk proyek ekonomi kelautan berkelanjutan. Padahal, pendanaan yang dibutuhkan jauh lebih besar dari itu,” kata Zuzy. Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti mengatakan, ada beberapa program prioritas yang perlu diakselerasi demi mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. Salah satunya adalah perbaikan tata kelola perikanan tangkap dan modernisasi praktik budidaya perikanan laut. ”Prioritas lainnya adalah optimalisasi potensi pariwisata bahari, pengembangan ekosistem mangrove, penanganan sampah, menjalankan target bauran energi nasional, mengembangkan pelabuhan laut, dan kerja sama erat di antara seluruh pemangku kepentingan,” ujarnya. Prioritas lainnya adalah optimalisasi potensi pariwisata bahari, pengembangan ekosistem mangrove, penanganan sampah, menjalankan target bauran energi nasional, mengembangkan pelabuhan laut, dan kerja sama erat di antara seluruh pemangku kepentingan. Baca juga: Pemerintah Tidak Konsisten soal Cantrang   KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI Alat tangkap tidak ramah lingkungan milik nelayan di Cirebon, Jawa Barat, seperti cantrang, diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan, Cirebon, Kamis (12/10/2017). Dalam kesempatan itu, 408 paket bantuan alat penangkapan ikan ramah lingkungan dibagikan kepada nelayan. Agenda Transformasi Menuju Ekonomi Kelautan Berkelanjutan disepakati 14 negara dalam Panel Tingkat Tinggi untuk Ekonomi Laut Berkelanjutan (Panel Laut) pada 3 Desember 2020. Negara-negara itu adalah Indonesia, Australia, Kanada, Chile, Ghana, Jamaika, Jepang, Fiji, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau, dan Portugal. Agenda itu mencakup 74 tindakan prioritas yang fokus pada lima area, yaitu kekayaan, kesehatan, keadilan, keuangan, dan pengetahuan laut. Negara-negara yang mewakili 40 persen dari keseluruhan garis pantai dan 30 persen zona ekonomi eksklusif dunia itu memiliki target mengelola 100 persen wilayah laut di wilayah yurisdiksi nasional secara berkelanjutan mulai 2025 dengan mengacu pada Agenda Transformasi Ekonomi Kelautan Berkelanjutan. Negara-negara itu juga akan mendorong semua negara pesisir dan samudra untuk menerapkan komitmen tersebut sehingga pada 2030 seluruh wilayah laut di bawah yurisdiksi nasional dikelola secara berkelanjutan.