Dampak PJJ. Kesenjangan Pendidikan di Masa Pandemi. Pendidikan jarak jauh yang serba digital, yang bias kelompok sosial, tak bisa menjadi penyelamat pendidikan di masa pandemi. Perlu strategi baru dalam kebijakan pendidikan agar tak seorang anak pun tertinggal. Oleh ANGGI AFRIANSYAH. Pembelajaran di tahun ajaran baru yang sudah berjalan masih diselimuti kabut pandemi. Rencana pembelajaran tatap muka atau PTM terbatas harus diurungkan sebab penyebaran varian baru Covid-19 tidak bisa dibendung. Anak, orangtua, dan guru yang sudah antusias menyambut hari baru di sekolah dan melakukan PTM harus tetap bersabar dan meneruskan pembelajaran jarak jauh atau PJJ berbasis teknologi digital. Sekolah-sekolah yang memiliki kapital memadai semakin adaptif dan dapat menggunakan berbagai metode baru dalam pembelajaran. Sistem yang lebih tertata, guru yang lebih siap, dan orangtua yang lebih proaktif mengawal pembelajaran menjadi lebih optimal dilakukan. Dengan pengawalan demikian, anak-anak tetap bisa menjalankan pembelajaran secara memadai. Risiko kehilangan kesempatan belajar seperti yang ada pada kelompok keluarga miskin atau mereka yang ada di wilayah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T) lebih minim. Kapital yang memadai memungkinkan sekolah-sekolah ini membangun berbagai program pembelajaran yang adaptif diterapkan selama masa pandemi. Sekolah-sekolah model ini membangun komunikasi di tahap awal dengan orangtua, menjelaskan bagaimana sistem pembelajaran akan dilakukan, dukungan jenis apa yang perlu diberikan orangtua, dan kelengkapan pembelajaran apa yang harus disiapkan. Sekolah model ini juga aktif melakukan kerja sama dengan berbagai pihak untuk dapat melakukan vaksinasi bagi guru, tenaga pengajar, dan para keluarganya, juga mengupayakan vaksinasi bagi siswa dan keluarga siswa. Beberapa sekolah memanfaatkan jejaring alumni untuk melakukan vaksinasi tersebut. Sekolah-sekolah tersebut siap melakukan PTM terbatas, blended learning ataupun pembelajaran daring. Pembelajaran tetap berjalan secara efektif sebab ragam strategi sudah disiapkan menghadapi kemungkinan. Guru-guru di sekolah model ini dilatih untuk lebih menguasai perangkat digital, menggunakan beragam metode pembelajaran, dan ada banyak inovasi yang dihadirkan agar anak tetap termotivasi diberikan pembelajaran yang menyenangkan. Sekolah-sekolah tersebut bisa disebut sekolah tipe pertama. Sekolah tipe pertama sejalan dengan paparan International Task Force on Teachers for Education 2030, UNESCO, dan ILO (2020) dalam ”Supporting Teachers in Back to School Efforts: Guidance for Policy Makers”. Pertama, melakukan dialog sosial dengan guru, staf, dan organisasi perwakilan guru dalam upaya mengembangkan dan menerapkan langkah-langkah keselamatan dan kesehatan. Kedua, mengantisipasi dampak psikologis dan sosial-emosional dari pandemi baik pada siswa, guru, maupun tenaga kependidikan serta memastikan berbagai sumber daya, layanan, dan dukungan dapat diakses dan tersedia bagi setiap anggota komunitas sekolah. Ketiga, guru dan tenaga kependidikan mendapatkan pelatihan dan persiapan yang memadai, termasuk memperhatikan protokol kesehatan. Keempat, memastikan guru dan tenaga pendidikan yang memenuhi syarat masuk ke sekolah, memiliki jadwal yang diperbarui, pemenuhan hak-hak guru serta perlindungan memadai. Kelima, berinvestasi pada berbagai kebutuhan guru dan perubahan yang hadir. Dan keenam melakukan monitoring dan evaluasi secara gradual untuk mendapatkan kebijakan yang tepat. Sisi berseberangan. Sementara pada sisi yang berseberangan terdapat sekolah-sekolah tipe kedua dengan kapital yang terbatas. Sekolah-sekolah jenis lebih bersemangat menatap tahun ajaran baru dan sudah bersiap pula untuk melakukan PTM terbatas meski tentu dengan persiapan yang minim. Guru-guru bersemangat mengajar anak-anak secara langsung sebab merasakan kesulitan mengimplementasikan PJJ. Bukan tak mau melakukan PJJ yang mengandalkan teknologi digital itu, melainkan situasi yang membuat metode-metode canggih itu tidak operasional. Infrastruktur di sekolah terbatas bahkan sekadar untuk akses Wi-Fi, pemahaman guru terhadap penggunaan metode digital juga terbatas sementara orangtua pun memiliki banyak keterbatasan dalam mendampingi anak. Hanya ada satu gawai yang digunakan orangtua atau pada banyak kasus tidak ada gawai sama sekali di rumah. Pada orangtua yang memiliki anak lebih dari satu maka pembelajaran harus dilakukan secara bergantian. Sementara itu, orangtua harus bekerja ke luar rumah sebab bekerja dari rumah adalah hal yang mustahil dilakukan. Dapur tak bisa mengepul jika tak berjibaku di luar rumah. Kesenjangan terbentang antara sekolah tipe satu dan tipe dua. Berbeda dengan sekolah-sekolah tipe satu yang memiliki fasilitas memadai, sekolah-sekolah tipe dua harus mengarungi medan juang yang lebih keras. Guru-guru harus mencari ragam cara agar anak tetap belajar meski di tengah keterbatasan. Pandemi sudah berjalan cukup lama, tetapi situasi di mana anak-anak keluarga miskin kesulitan melakukan pembelajaran tetap ditemui kisahnya. Laporan dari lembaga internasional, seperti Bank Dunia (2020), Save The Children (2020), Unicef (2020), UNESCO (2020), dan organisasi lainnya menunjukkan kondisi di mana anak-anak, terutama dari keluarga miskin, sangat terdampak akibat pandemi. Kisah orangtua yang terkena pemutusan hubungan kerja, dirumahkan sementara karena pabrik tidak bisa lagi produksi, atau penjualannya menurun adalah kisah kelam yang mewarnai anak-anak yang berasal dari keluarga miskin yang serba terbatas secara ekonomi. Hari-hari yang dijalani penuh ketidakpastian tersebut tentu sangat berefek pada pendidikan anak. Jangan berharap nutrisi dan suplemen vitamin dapat dipenuhi. Jika tidak ada intervensi memadai, sulit berharap anak-anak akan fokus belajar. Jika tidak ada intervensi memadai, sulit berharap anak-anak akan fokus belajar. Apalagi mereka tidak memiliki gawai yang memadai ataupun pendampingan yang menyeluruh dari orangtua. Laporan Unicef (2020) bertajuk ”UNICEF’S Social Protection Response to Covid-19: Strengthening Social Protection Systems Before, During and After Crises” menyebutkan bahwa Covid-19 berdampak buruk pada anak-anak dan keluarga mereka. Pada laporan tersebut secara gamblang dipaparkan mengenai pandemi yang semakin memperdalam kemiskinan di setiap dimensi kehidupan anak, mulai dari kesehatan, pendidikan, nutrisi, perumahan, air, hingga sanitasi serta berbagai permasalahan lain. Menurut laporan tersebut, diperlukan sistem perlindungan sosial yang memadai meskipun dalam praktiknya akses yang memadai terhadap tunjangan anak atau keluarga, kesenjangan perlindungan, akses terhadap asuransi kesehatan, serta perlindungan sosial yang peka jender dan eksklusif masih sulit dipenuhi. Pandemi memang menghantam banyak pihak, tetapi kelompok miskin yang paling banyak mendapat benturan hingga harus karam sejak awal. Kapal pendidikan dalam bentuk pendidikan jarak jauh yang serba digital, yang jelas bias kelompok sosial menengah-atas, tidak bisa menjadi penyelamat di tengah berbagai keterbatasan akses yang ada di negeri ini. Jika tidak ada strategi baru dalam kebijakan pendidikan dalam berselancar di masa pandemi, tentu kelompok keluarga miskin ini semakin banyak yang tumbang. Anggi Afriansyah, Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI