Sejumlah anggota DPR meminta pemerintah menjelaskan kepada publik alasan kewajiban tes PCR bagi pelaku perjalanan. Itu karena ketika kasus pandemi meningkat diizinkan menggunakan antigen. Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menjelaskan kepada publik alasan kewajiban tes usap reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction/PCR) bagi pelaku perjalanan. Kewajiban PCR tersebut dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang sedang mendorong peningkatan pariwisata. Anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Rahmad Handoyo, menilai, kewajiban PCR tersebut telah menimbulkan banyak pertanyaan di masyarakat. Sebab, ketika kasus pandemi meningkat, diizinkan menggunakan antigen. Namun, ketika saat ini sudah landai, justru ada kewajiban untuk tes PCR. Ia menegaskan, masyarakat harus diberi penjelasan yang lebih komprehensif. Pertanyaan yang ada di masyaraakt wajib disampaikan kepada pemerintah. Pemerintah harus melihat lebih detail bagaimana masyarakat menerima kebijakan ini. ”Sekarang yang menjadi konsen kami adalah bagaimana solusi ketika pemerintah tetap memberikan aturan seperti itu. Ini juga menjadi perhatian Bapak Presiden,” kata Rahmad di Jakarta, Selasa (26/10/2021). Ia berharap usulan Presiden agar harga PCR sebesar Rp 300.000 yang berlaku untuk tiga hari bisa meredakan suasana. Selain penegakan aturan, kata Rahmad, perlu juga adanya informasi yang jelas terkait dengan harga PCR. Itu karena ada informasi yang harus membayar Rp 1,9 juta dan Rp 2,5 juta. Hal itu menimbulkan kecurigaan di masyarakat adanya kepentingan bisnis ketika ada kewajiban PCR. Selain itu, perlu penguatan infrastruktur laboratorium.     Menurut Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Neng Eem Marhamah Zulfa Hiz, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat merupakan kebijakan yang mundur. Sebab, pandemi sudah melandai dan kesadaran masyarakat pada vaksinasi sudah mulai banyak. Mereka sudah merasakan bahwa vaksinasi untuk meningkatkan imunitas. Neng menegaskan, seharusnya momentum landainya pandemi ini dijadikan kesempatan untuk meningkatkan kebangkitan perekonomian masyarakat. Aturan penumpang pesawat wajib PCR merugikan tidak hanya industri penerbangan, tetapi juga pelaku ekonomi lainnya. ”Saya kira itu memberatkan, apalagi masyarakat menengah ke bawah,” kata Neng. Ia menjelaskan, industri penerbangan selama pandemi telah mengalami kerugian sampai Rp 2.867 triliun. Angka tersebut setara dengan keuntungan selama 9 tahun untuk industri penerbangan secara global. Neng juga mempertanyakan saat pandemi melandai justru diwajibkan PCR. Padahal, sebelumnya bisa menggunakan antigen. ”Dahulu harga PCR paling murah Rp 900.000 berlaku selama 14 hari. Sekarang harga PCR dikurangi menjadi Rp 490.000-Rp 500.000 ternyata berlakunya hanya 2 kali 24 jam. Jadi, ini, kan, sama saja. Jangan sampai harga PCR dikurangi, tetapi masa berlakunya dipersempit lagi,” katanya. Sebelumnya, kewajiban pelaku perjalanan udara, laut, dan darat untuk memperlihatkan hasil negatif tes PCR mendapatkan penolakan dari Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Menurut Kepala Dinas Perhubungan Nusa Tenggara Timur Isyak Nuka, biaya tes PCR yang berkisar Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta membebani masyarakat (Kompas, 26/10/2021). Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, pekan lalu dirinya berkunjung ke NTT dan melihat variasi harga PCR. ”Ini harus diperjelas, standar harga (PCR) nasional itu berapa dan lama waktunya berapa. Standar nasional itu semua sama dan berlaku untuk siapa pun,” kata Robert. Ia juga berharap pemerintah menjelaskan kepada publik alasan mewajibkan PCR di saat pandemi terkendali sebab sebelumnya bisa menggunakan antigen. Menurut Robert, kewajiban PCR ini kontradiktif dengan kebijakan pemerintah yang sedang mendorong peningkatan pariwisata. Itu karena kewajiban PCR akan menghambat pergerakan orang yang ingin berwisata. ”Ombudsman meminta pemerintah memberikan informasi yang transparan dan akurat. Mereka (pemda) bukan menolak. Yang terjadi di pemda hari ini, kebijakan pemerintah pusat seolah-olah berlawanan dengan apa yang terjadi di lapangan,” kata Robert. Kompas sudah meminta tanggapan kepada Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik dan Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan terkait dengan penolakan daerah terhadap kewajiban PCR, tetapi tidak direspons.