Media sosial cenderung mencerminkan masyarakat kita. Jadi, kalau dikatakan media sosial ”beracun”, sejatinya penguna media sosial atau manusianyalah yang berperilaku racun. Media sosial hanya alat. Oleh ROY MARTIN SIMAMORA   Saya bergabung dengan Facebook pada tahun 2009. Facebook kala itu sangat berbeda dengan sekarang. Dahulu, Facebook dibuat untuk memungkinkan jutaan orang terhubung dengan keluarga dan teman, terlepas dari jarak dan keadaan, menawarkan orang-orang untuk berpartisipasi dan merasa terlibat dalam percakapan hangat dan personal. Facebook, yang kini berganti nama Meta, kemudian membentangkan sayap menjadi platform yang menyediakan sarana bagi komunitas pembelajaran yang kuat, meningkatkan keterampilan intelektual dan praktis untuk semua jenis bidang profesional dan yang terkait dengan pekerjaan, menawarkan peluang membangun kelompok dan komunitas untuk dukungan dan penyelesaian masalah bagi jutaan bisnis teknis dan khusus. Selain itu, menyediakan sarana bagi semua jenis orang untuk membangun bisnis online (daring) mereka. Tidak hanya Facebook, media sosial yang lain juga turut memberikan ruang bagi penggunanya untuk saling terhubung dengan yang lainnya, seperti Instagram, Whatsapp, Twitter, dan media sosial lainnya.Namun, lambat laun penggunaan media sosial mulai tidak wajar dan melenceng dari tujuan awal. Keriuhan di media sosial menjadi sangat mengerikan dan kadang menjadi kabur. Pelecehan, perundungan, berita palsu serta tindakan-tindakan kejahatan yang sangat mengganggu bermunculan di media sosial. Manusia beracun Ada banyak orang mengatakan bahwa media sosial mulai beracun. Gagasan bahwa media sosial dapat ”beracun” adalah topik favorit yang dipromosikan oleh pakar media arus utama dan orang-orang media warisan lainnya. Saya kira ini adalah sebuah konsep yang sangat cacat karena media sosial tidak beracun, justru manusianya yang beracun. Media sosial cenderung mencerminkan masyarakat kita, orang-orang berperilaku beracun ”karena mereka bisa” di media sosial. Mereka dapat melakukan apa saja tanpa berpikir sepuluh kali. Anonimitas, dan kurangnya konsekuensi terlalu menarik bagi banyak orang, tetapi sama seperti orang yang meninggalkan pesan beracun di dinding toilet umum, karena mereka bisa melakukannya, mereka juga akan berusaha untuk menggertak, dan meremehkan orang lain, dan memanifestasikan aspek yang paling menjijikkan dari pikiran kecil mereka untuk alasan yang sama. Jadi, bukan media sosial yang beracun, tetapi manusianya sendiri. Saya percaya media sosial bisa didasarkan pada apa niat seseorang untuk menggunakannya—apakah digunakan untuk niat baik atau buruk, itu tergantung penggunanya. Saya adalah seorang pengajar di sebuah kampus dan menggunakan media sosial untuk membagi catatan kecil saya, membagi beberapa foto, membaca beberapa komentar, berkomunikasi dengan orang-orang yang tidak masuk dalam daftar panggilan telepon saya. Saya bisa jujur mengatakan media sosial itu luar biasa dan saya selalu menggunakannya sewajarnya. Ketika masuk dalam rimba media sosial, saya menemukan banyak hal dan pelajaran di sana—terlepas baik dan buruknya. Saya senang membaca gagasan intelektual dan berdiskusi. Bagi saya, ambil positifnya, tinggalkan negatifnya. Bagi saya, media sosial adalah alat luar biasa yang dapat digunakan untuk apa saja. Siapa saja bisa tetap berhubungan dengan teman-teman mereka, berbagi momen berharga, mengenal orang dan tempat baru, menerbitkan karya, mengiklankan diri sendiri, dan daftar pertemanannya akan terus bertambah dari waktu ke waktu. Namun, apa yang terjadi ketika manusia sudah menjadi candu? Ini adalah titik di mana ia bisa berpotensi menjadi racun. Bahkan, tampaknya hari ini, hampir semua anak muda tertarik mem-posting foto, cerita, berkomentar, dan menjalani hidup mereka melalui layar kecil mereka. Jika sedang tidak beruntung, media sosial semacam Whatsapp bisa jadi sarang penghasutan, menciptakan kebohongan, cerita yang dibuat-buat untuk mendapatkan perhatian dan paling mengerikan adalah memantik permusuhan. Seluruh hidup orang-orang sepenuhnya terfokus pada penggunaan Whatsapp. Media sosial yang satu ini seolah mengambil alih kehidupan nyata orang-orang, lalu racun-racun dari orang-orang itu menyebar dan mengarah ke yang lain. Saya ambil contoh lain. Platform seperti Instagram telah berkembang bagi banyak orang sebagai bentuk persaingan melawan orang lain, dan itu menyebabkan mereka teralihkan dari dunia nyata dan bagaimana mereka seharusnya menunjukkan diri mereka yang sebenarnya dan memperbaiki diri dengan cara yang sehat. Banyak orang akan membuat citra palsu tentang diri mereka dengan mem-posting selfie yang ditumpuk dengan filter guna membuat versi sintetis dari siapa mereka secara daring. Ini sangat bertentangan dengan dunia nyata mereka, tetapi mereka bahkan tidak peduli dengan itu. Bagi mereka, popularitas jauh lebih penting. Keinginan akan citra dirinya dipandang orang lain, terlihat sempurna dan mendapatkan lebih banyak ”like” supaya lebih meningkatkan kepositifan mereka dan merasa dirinya seperti di atas orang lain. Akibatnya, menjebak banyak orang muda ke dalam kenyataan bahwa mereka harus sempurna agar dapat dihargai dan diterima oleh masyarakat. Ini merupakan faktor yang sangat potensial terhadap toksisitas di media sosial. Hal lain, mungkin konsekuensi paling berpotensi toksik akibat penggunaan media sosial yang tidak sehat adalah depresi. Tidak jarang mengalami depresi karena paparan berlebihan dan penggunaan media sosial yang tidak sehat. Semua yang dilihat di sekitar beranda media sosial adalah tentang bahagia, tersenyum, bepergian, menikmati setiap adegan cerita dengan orang-orang. Seseorang bisa melihat orang lain jatuh cinta, bertunangan, menikah, dan memiliki bayi kecil yang lucu. Pada dasarnya, orang-orang sedang melihat orang lain mem-posting kehidupan mereka yang indah dan menggambarkan kehidupan yang sempurna, dan ia tidak bisa tidak berpikir: ”Kenapa hidup saya tidak terlihat seperti itu, apa yang salah dengan saya?” Dan, itu adalah pertanyaan yang berbahaya untuk ditanyakan karena pada akhirnya dapat menyebabkan harga diri rendah, kepercayaan diri yang memar, dan bahkan depresi. Pengendalian diri Media sosial adalah hal yang kita tetapkan dengan niat baik atau jahat. Ini adalah alat. Setiap orang yang harus mengendalikan diri dan menetapkan aturan penggunaannya. Jika saya membiarkan alat itu menggunakan diri saya, alih-alih sebaliknya, atau jika saya mulai percaya bahwa orang-orang yang saya lihat di garis waktu, yang bahkan tidak dikenal memiliki kehidupan yang beres dan saya tidak, maka itu menjadi sangat beracun. Di suatu tempat, di tahun-tahun sejak pandemi Covid-19 datang, orang-orang di media sosial seolah kehilangan arah; orang-orang mulai kehilangan kendali diri. Gelombang pasang media sosial telah mengangkat semua kebusukan, bahkan suara-suara yang paling mengerikan dan sangat beracun secara terang-benderang merobek-robek masyarakat dan menempatkan mereka setara dengan suara-suara yang terinformasi dan terukur yang mencoba menyatukan semuanya. Lantas, bagaimana memberdayakan mereka yang secara tradisional tidak berdaya dan secara bersamaan membiarkan semua kebencian yang terpendam menguasai kebaikan? Apa yang salah dengan eksperimen sosial hebat yang dijanjikan media sosial untuk menyuarakan mereka yang tidak bersuara dan menyatukan umat manusia di seluruh dunia? Bahkan, akademisi yang berdiam di menara gading pengetahuan ikut terjerumus dalam arus media sosial. Para akademisi memperdebatkan teori di depan umum dengan pidato yang fasih dan kompetisi tentang siapa yang lebih menguasai literatur atau eksperimen berbasis buktinya siapa yang lebih kuat dan kemudian berubah menjadi ejekan dan ancaman di media sosial. Pada akhirnya, dengan menunggu hingga media sosial menjadi sarang toksisitas bagi manusia-manusia toksik, pembuat media sosial kehilangan peluang utama untuk mengolah lingkungan sejak awal yang didominasi oleh debat dan dialog yang penuh rasa hormat. Tentu saja, sangat mungkin bahwa toksisitas dan ujaran kebencian adalah pendorong utama kesuksesan mereka, menciptakan kebebasan berekspresi tanpa hambatan, yang kemudian mendorong mereka menjadi bintang mahasuper. Namun, dengan tidak adanya upaya yang berarti untuk mengekang toksisitas itu, masih harus dilihat apakah generasi platform media sosial saat ini dikenang sebagai alat yang menyatukan dunia atau senjata perang bagi orang-orang yang memisahkan kita. Jadi, apakah media sosial itu baik atau buruk? Itu bergantung pada bagaimana orang-orang menggunakannya dan bagaimana hal itu memengaruhi kehidupan dan kesejahteraan mereka. Jika itu membuat orang-orang merasa baik, itu lebih baik daripada buruk. Jika itu membuat orang-orang merasa buruk, itu lebih buruk daripada baik. Jika itu tidak mengubah apa pun tentang perasaan mereka, itu tidak buruk atau baik. Sesederhana itu. Roy Martin Simamora, Pengajar Filsafat Pendidikan ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan