Hikmah di balik bergesernya tradisi bermedia sosial telah merevolusi cara orang berhubungan dan berbahasa. Bahasa yang serba-teratur diolok-olok, dipelesetkan, dan mulai diganti dengan bahasa yang serba-bebas. Oleh IDI SUBANDY IBRAHIM Kesadaran akan pentingnya bahasa dalam pergaulan hidup sudah lumrah dibicarakan. Akan tetapi, kesadaran akan pergeseran bahasa memerlukan sedikit kecermatan. Seperti yang terjadi dalam satu dekade terakhir ketika sebagai tindakan sosial, ekspresi berbahasa bertumbuh bersamaan  perkembangan penggunaan media sosial dalam komunikasi sehari-hari yang kian mudah dan murah. Pergeseran kebahasaan tidak hanya terjadi pada tingkat makro, dalam hal jalinan antarbahasa berbeda, yang masih menunjukkan dominannya kekuatan bahasa Inggris dan Mandarin dalam percaturan wacana komunikasi dan perdagangan internasional. Akan tetapi, juga pada tingkat mikro, dalam internal bahasa tiap-tiap negara-bangsa yang beradaptasi dengan teknologisasi bahasa di media sosial. Hikmah di balik bergesernya tradisi bermedia sosial telah merevolusi cara orang berhubungan dan berbahasa. Seperti dicermati Philip Seargeant dan Caroline Tagg dalam The Language of Social Media: Identity and Community on the Internet (2014), berbagai platform media sosial tidak hanya menjadi cara alternatif untuk terlibat dalam bentuk interaksi komunikatif yang tersedia sebelum kemunculannya, tetapi juga menyediakan dinamika dan struktur komunikatif sangat berbeda. Sama seperti telegraf dan telepon di era sebelumnya yang memperkenalkan cara baru berkomunikasi—dan mengubah praktik komunikatif dan pola hubungan sosial—media sosial  justru memiliki efek mendalam pada praktik linguistik dan komunikatif serta pengelompokan dan jaringan sosial serta hubungan-hubungan kuasa. Hal yang sama terjadi dalam praktik berbahasa di media sosial di Indonesia. Berbagai ”bahasa baru” (akronim, singkatan, emotikon, meme) dan wacana-wacana teknis (mesin pemrograman, algoritma media sosial) muncul, sehingga Kamus Besar Bahasa Indonesia mungkin tidak mampu mengikuti dinamika dan kreativitas berbahasa di media sosial. Pedoman EYD (Ejaan yang Disempurnakan) mungkin harus didampingi EYBC (Ejaan yang Bebas dan Cepat). Bahasa yang serba-teratur diolok-olok, dipelesetkan, dan mulai diganti dengan Bahasa yang serba-bebas. Pedoman Pembentukan Istilah di era media sosial menjadi kuasa netizen, warga pengguna internet. Pemangku kuasa kini tak bisa lagi memandang warganet dengan sebelah mata. Mereka adalah kekuatan pembentuk wacana dan pendefinisi makna di dunia maya. Tak heran jika presiden pun memperhitungkan kekuatan warganet (merangkul para youtuber, gamer, selebgram, atau influencer), seperti mengundang makan siang mereka di Istana Negara. Sampai tingkat tertentu, komersialisasi media digital menjanjikan ruang ekspresi dan teknologisasi bahasa kebebasan. Di satu sisi, bersamaan dengan pandemi Covid-19, berbagai akronim, istilah, dan jargon bahasa terkait pandemi diproduksi. Produksi bahasa kebijakan kesehatan era Reformasi masih menunjukkan tradisi bahasa birokratis ala Orde Baru, dengan birokratisasi bahasa yang diwarnai akronim berubah-ubah hanya untuk menunjukkan hal yang sama, sebutlah, dari lockdown, PSBB, hingga PPKM. Sebagian besar bahasa diproduksi oleh kuasa kesehatan dan terkadang berbaur dengan kuasa politik dan kuasa kapital yang memanfaatkan momen pandemi untuk meningkatkan citra kuasa atau mendulang keuntungan. Birokrat bahasa kesehatan menjadi rezim bahasa baru pendefinisi makna sehat dan sakit serta menentukan pembatasan ruang gerak publik, yang sedikit banyak  memengaruhi hidup-mati warga yang memiliki akses terbatas ke dunia kerja dan rumah sakit. Berbaurnya kepentingan kuasa modal dan politik dalam produksi bahasa, membuat kita pantas bersikap kritis bahwa ”virus hoaks” yang menjamur melalui media sosial mungkin tidak selalu bersumber dari publik, tetapi bisa saja sengaja dikonstruksi oleh kekuatan pro-modal atau pro-negara. Di sisi lain, keriuhan bahasa di dunia maya juga ditandai bergesernya bahasa elite politik yang makin cair. Hal ini ditandai kebiasaan saling sindir dan kritik antar-elite politik lewat media sosial. Ini tidak hanya mencerminkan riuhnya wacana demokratisasi yang dipanggungkan di media sosial, tetapi sekaligus ironi simbolik perilaku elite yang jauh berbeda dibandingkan di forum tatap muka, yang lebih mencerminkan birokratisasi dan seremonialisasi basa-basi politik. Gelombang arus informasi yang semakin kencang karena tersebar secara viral lewat media sosial juga mendorong elite tentara dan polisi untuk memanfaatkan potensi media sosial tidak hanya untuk tujuan institusi, tetapi juga citra pribadi. Termasuk memanfaatkan popularisasi TikTok saat menunaikan tugas untuk memikat rekan sejawat atau memengaruhi kesan publik. Tidak hanya bagi elite politik, media sosial juga membawa berkah bagi kelompok marjinal untuk bersuara dengan memanfaatkan celah-celah ruang partisipasi yang disediakan berbagai platform. Ketika media sosial menjadi media milik semua orang, potensi demokratisnya muncul, dan kelompok penekan seperti gerakan sosial antikorupsi dan kelompok peduli lingkungan bisa membangun perekat komunitas untuk menggalang bahasa perlawanan yang tidak dinodai oleh kepentingan kuasa dan modal. Sayangnya, potensi positif yang didorong perkembangan platform media sosial juga menyimpan kutukan negatif. Untuk sebagian kalangan justru mencemaskan. Hal ini ditandai dengan menguatnya irasionalitas politik. Ketika kekuatan argumentatif dilumpuhkan dan kebebasan berpikir terancam. Yang berkuasa adalah anarki dan pemaksaan massa serta fragmentasi otoritas. Tim Clydesdale (2009), yang mengkaji remaja, berpendapat bahwa akses ke informasi yang nyaris tak terbatas membuat remaja dan orang-orang usia kuliah tidak percaya bahwa ada otoritas nyata. Setiap pendapat atau klaim yang diposting secara daring kemungkinan akan dipenuhi dengan klaim-klaim balasan dan pendapat berbeda. Clydesdale mengatakan, ”otoritas dapat ditemukan bagi setiap posisi” sehingga membuat anak muda ragu bahwa ada kebenaran atau otoritas yang kuat dan cepat. Ancaman komodifikasi media sosial juga semakin nyata bagi demokratisasi ruang publik karena bisa menghalangi pemikiran independen dengan tirani bahasa viral. Orang belum sepenuhnya siap berbeda, yang sering terjadi adalah pertentangan. Kebebasan ekspresi baru dimaknai sebagai kebebasan berbahasa tanpa dipagari etika. Tak heran kemungkinan keanekaragaman sudut pandang yang ditawarkan warganet lewat media sosial  tidak selalu tumbuh ke arah yang positif bagi pemerkayaan wacana demokrasi. Persoalannya, bagaimana potensi partisipatif dan egaliter media sosial untuk memberdayakan tidak malah memperdayakan publik. Profesor komunikasi Rayford Steele dalam Traditional and New Media (2009) mengingatkan, ”demokratisasi informasi dapat dengan cepat merosot menjadi egalitarianisme radikal yang merusak intelektual.” Bukankah setiap orang bisa mengajukan pendapat dan membuat klaim, tetapi tidak semua orang memiliki kualifikasi yang sama, dan tidak setiap pendapat memiliki dasar yang sama? Idi Subandy Ibrahim, Peneliti Budaya, Media, dan Komunikasi