Alih-alih mendorong jumlah pemeriksaan dan pelacakan, tes PCR masih menjadi ladang bisnis menggiurkan. Oleh YOHANES MEGA HENDARTO Kendati sudah diturunkan, biaya tes polimerase rantai ganda atau PCR masih terbilang mahal untuk masyarakat Indonesia. Jumlah pemeriksaan melalui tes PCR secara swadaya pun masih tidak kunjung meningkat. Keterbukaan informasi akan memudahkan memahami harga tes PCR dan menghilangkan praduga berlebihan. Bisnis pemeriksaan PCR berkibar dan memperoleh keuntungan besar di masa pandemi Covid-19. Dalam seminar daring bersama Lapor Covid-19, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah menyebut perhitungan biaya tes Covid-19 setidaknya mencapai Rp 23,2 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan jumlah spesimen yang diperiksa sepanjang Oktober 2020 hingga 15 Agustus 2021. ICW menelusuri jumlah pemeriksaan spesimen dari berbagai kanal laporan dan menemukan sekitar 25.840.025 spesimen yang telah melakukan tes PCR di 796 laboratorium yang tersebar di seluruh Indonesia. Dari data yang dihimpun, spesimen yang diperiksa dengan PCR paling banyak berada di Juli 2021, yakni 6.134.842 orang. Sesuai keterangan Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Prof Wiku Adisasmito, pada Juli 2021 lalu Tim Satgas Covid-19 menggenjot angka pemeriksaan dan sudah empat kali melampaui standar yang ditargetkan WHO. Hasil itu juga selaras dengan nilai transaksi PCR tertinggi di bulan yang sama seperti diperkirakan oleh ICW, yaitu Rp 5,6 triliun. Total spesimen yang dikalkulasi selama Oktober 2020 hingga 15 Agustus 2021 tersebut kemudian dihitung secara kasar, yakni mengalikannya dengan harga tertinggi PCR sebesar Rp 900.000 per tes. Setelah dikurangi dengan biaya bahan baku, diperkirakan penyedia jasa layanan pemeriksaan PCR berpotensi mendapat keuntungan sekitar Rp 10,46 triliun. Jumlah yang fantastis sekalipun dibagi rata ke 700-an laboratorium pemeriksaan. Maka, tidak mengherankan bila saat ini bisnis pemeriksaan PCR menjadi ladang emas bagi para pelaku usahanya. Terpantau, per 5 Juli 2021 dengan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 4642/2021 tentang Penyelenggaraan Laboratorium Pemeriksaan Covid-19, terdapat 742 laboratorium pemeriksaan. Berdasarkan pembaruan terakhir di laman Kemenkes RI per 25 Juli 2021, jumlahnya bertambah mencapai 801 laboratorium. Selain karena dibutuhkan keberadaannya, penyediaan jasa layanan dan laboratorium pemeriksaan PCR terbilang tidak terlalu rumit persyaratannya. Persyaratan pendirian laboratorium pemeriksaan PCR turut dimuat dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 4642/2021. Secara ringkas, persyaratan tersebut hanya memuat dua unsur, yakni sarana prasarana dan sumber daya manusia yang memadai. Selain itu, para penyedia jasa layanan PCR dapat bekerja sama dengan laboratorium yang sudah mendapatkan izin operasional Balitbang Kemenkes RI. Karena itu, pengambilan sampel dari masyarakat atau orang yang memeriksakan diri tidak selalu diperiksa langsung oleh penyedia jasa. Inilah celah yang dapat dimanfaatkan para pemodal untuk mendirikan jasa layanan tes PCR tanpa harus memiliki laboratorium sendiri.   Penelusuran ICW turut menemukan bahwa rentang harga reagen PCR yang selama ini dibeli pelaku usaha senilai Rp 180.000 hingga Rp 375.000. Setidaknya ada enam merek reagen PCR yang beredar di Indonesia sejak 2020 dengan harga yang berbeda-beda, yaitu Intron, SD Biosensor, Toyobo, Kogene, Sansure, dan Liverifer. Dengan asumsi harga tes PCR beberapa bulan kemarin sebesar Rp 900.000 dan harga reagen di atas, dapat dibayangkan besarnya margin keuntungan pelaku usaha. Memang, dalam pemeriksaan PCR ada biaya lain yang perlu dimasukkan dalam perhitungan. Misalnya, biaya tenaga kerja, alat pelindung diri bagi pekerja yang memeriksa, hingga perawatan peralatan yang secara tidak langsung turut dibebankan kepada konsumen. Belum lagi, dengan impor bahan baku tes PCR, ada mekanisme lelang dan pengadaan yang harus dilewati sehingga membuat harga tes PCR makin tinggi. Berkaitan dengan ini, ICW juga mendesak pemerintah agar terbuka kepada masyarakat terkait komponen dalam menyusun tarif PCR. Sebab, sekalipun bahan baku tes PCR harus impor, dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 34/PMK.04/2020 disebutkan bahwa tidak ada biaya impor yang dibebankan kepada pelaku usaha untuk produk tes dan reagen laboratorium. Keterbukaan informasi tentu akan memudahkan masyarakat untuk memahami harga tes PCR yang mahal dan menghilangkan praduga berlebihan. Relatif murah    Sementara itu, di sisi lain, ada perbandingan harga yang menunjukkan harga tes PCR Indonesia relatif murah. Menurut laman Asosiasi Penerbangan Internasional Skytrax, harga tes PCR di bandara Indonesia yang sebesar 54 dollar AS (sekitar Rp 780.000) terhitung relatif murah. Jika diurutkan dari harga tes PCR termahal hingga termurah, Indonesia berada di urutan ke-49 dari 70 negara yang didaftar. Tes PCR paling mahal terdapat di Bandara Kansai, Jepang, dengan harga 404 dollar AS atau sekitar Rp 5,8 juta. Begitu pula tes antigen. Indonesia menempati posisi termurah kedua setelah Mumbai, India. Di Bandara Mumbai, tes cepat antigen hanya dibanderol 2 dollar AS atau sekitar Rp 28.000. Sementara itu, tes cepat antigen termahal berada di Bandara Helsinski, Finlandia, dengan harga 214 dollar AS atau sekitar Rp 3,1 juta. Dalam ketetapan terbaru, Kementerian Kesehatan telah menetapkan tarif tertinggi pemeriksaan PCR secara swadaya sebesar Rp 495.000 untuk pulau Jawa dan Bali, serta Rp 525.000 untuk luar pulau Jawa dan Bali. Keputusan ini ditetapkan melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/2845/2021. Harga tersebut telah turun sebanyak 45 persen dari harga sebelumnya. Tarif pemeriksaan PCR yang diturunkan ini tidak terlepas dari polemik sebelumnya. Sempat tersebar berita bahwa biaya tes PCR di India dan sejumlah negara lainnya dapat dibanderol dengan harga yang murah. Bahkan, di Perancis, para turis yang baru datang memperoleh pemeriksaan PCR secara gratis dari pemerintah.   Setelah tarif diturunkan, harga tes PCR di Indonesia termurah kedua di negara-negara Asia Tenggara. Harga tes PCR paling murah berada di Vietnam dengan harga sekitar Rp 460.000, sedangkan paling mahal berada di Thailand dengan harga Rp 1,3 juta hingga Rp 2,8 juta. Turunnya biaya pemeriksaan yang menjadi standar utama diagnosis Covid-19 ini meninggalkan tanda tanya besar. Sejak Oktober 2020, batasan tarif tes PCR diatur melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3713/2020 sebesar Rp 900.000. Lantas, mengapa saat itu harga tes PCR dipatok begitu mahal? Menurut Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, sebelumnya harga tes PCR mahal karena bahan baku PCR masih perlu didatangkan dari luar negeri. Penurunan biaya tes PCR nyatanya belum mampu mendongkrak jumlah pemeriksaan PCR secara mandiri oleh masyarakat. Belum tercapai Jika melihat data perbandingan jumlah tes PCR mandiri sebelum dan sesudah diumumkannya penurunan biaya tes PCR, angkanya masih fluktuatif dan cenderung menurun. Misalnya, dalam kurun tanggal 17 hingga 26 Agustus 2021, jumlah tertinggi pemeriksaan PCR secara mandiri sebanyak 146.788 orang, yaitu pada 15 Agustus 2021. Hal ini tentu meleset dari ekspektasi pemerintah dalam upaya memutus rantai penularan Covid-19. Biaya tes PCR nyatanya masih dirasa mahal dan menghambat masyarakat untuk melakukan tes mandiri. Begitu pula jika mengharapkan tes PCR gratis dari fasilitas kesehatan seperti puskesmas yang tidak tentu jadwal tes dan ketersediaan alatnya. Sejumlah rumah sakit nyatanya belum dapat menurunkan harga tes PCR hingga saat ini. Alasannya, terdapat dua metode tes PCR yang berbeda di rumah sakit, yakni metode konvensional  atau open reagent dan tes cepat molekuler (TCM) atau closed reagent.   Pemeriksaan PCR dengan metode konvensional membutuhkan lama pengerjaan sekitar 6 jam. Sementara metode tes cepat molekuler (TCM) dapat mengeluarkan hasil lebih cepat sehingga tarifnya jauh lebih mahal. Dari kedua jenis tes PCR ini, metode konvensional lebih mudah untuk diturunkan harganya dibandingkan dengan metode TCM. Celah inilah yang agaknya dimanfaatkan para penyedia layanan tes PCR yang lihai memainkan harga. Demi mempertahankan harga tes PCR yang tetap mahal, para penyedia jasa ini mengeluarkan variasi harga tergantung durasi hasil tes. Misalnya, sebuah laman klinik menggunakan skema hasil tes PCR keluar dalam hitungan 24 jam seharga Rp 495.000, tetapi untuk hasil 10 jam dipatok seharga Rp 900.000. Menanggapi fenomena ini, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan Abdul Kadir menyatakan bahwa setiap penyedia jasa tes usap PCR untuk menetapkan harga sesuai batas tarif tertinggi Rp 495.000. Rumah sakit dan klinik tidak boleh memainkan harga berdasarkan durasi tes. Kabarnya, dinas kesehatan di tiap daerah akan melakukan investigasi, peneguran, dan sanksi bagi penyedia jasa layanan tes PCR yang masih memainkan harga. Penyamaan harga Ketegasan pemerintah beserta tim Satgas Covid-19 dalam menyamakan harga tes PCR maupun tes antigen di tiap jasa layanan masih ditunggu masyarakat. Sebab, ketidaktegasan penerapan aturan ini akan membuka celah pelanggaran lainnya. Misalnya, praktik jual beli hasil tes PCR dan antigen palsu hingga penggunaan alat tes bekas secara berulang. Selain penindakan tegas terhadap jasa layanan yang mencurangi harga, pemerintah juga perlu menetapkan jangka waktu yang jelas dalam mengevaluasi tarif pemeriksaan PCR dan antigen. Evaluasi tarif ini diperlukan secara berkala untuk melihat perubahan sikap dalam masyarakat terhadap harga tes yang telah diturunkan. Penyamaan harga tes Covid-19 perlu disegerakan mengingat mobilitas masyarakat kini sudah mulai meningkat kembali seturut pelonggaran PPKM di sejumlah daerah. (LITBANG KOMPAS)