Pengakuan PRT sebagai pekerja dengan hak-haknya secara hukum bukan hanya akan melindungi PRT dalam pekerjaannya, melainkan juga akan menjamin kesejahteraan PRT dan keluarganya. Oleh DEBORA LAKSMI INDRASWARI Di tingkat internasional, pekerja rumah tangga atau PRT telah diakui statusnya sebagai pekerja dalam Konvensi Nomor 189 oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Dengan ini, hak-hak pekerja layak diterima PRT. Meski demikian, tanpa payung hukum berupa ratifikasi konvensi dan UU PRT, kesejahteraan dan perlindungan PRT di setiap negara belum terjamin. Tanggal 16 Juni 2011 menjadi momen penting bagi PRT di seluruh dunia. Pada waktu itu, ILO mengesahkan Konvensi Pekerja Rumah Tangga Nomor 189 (C.189). Dokumen tersebut menjadi langkah awal yang baik dalam memperjuangkan hak dan status PRT sebagai pekerja di setiap negara. Tentunya perjuangan tersebut bukan tanpa dasar. Selama berabad-abad, PRT hanya dianggap sebagai pelayan, pembantu, pesuruh, bahkan budak. Hanya karena semata-mata mencuci, membersihkan rumah, memasak, merawat anak atau lansia, berkebun, PRT sering kali dianggap mengerjakan pekerjaan rumah tangga bukan bekerja. Karena bekerja di rumah yang mana merupakan wilayah privat, waktu dan upah bekerja sering kali tidak diatur secara jelas. Perlakuan semena-mena sering diterima karena tidak ada perlindungan khusus baik dari pemerintah maupun pemberi kerja. Situasi ini terjadi di seluruh negara di dunia. Nasib 70 juta PRT di seluruh dunia bergantung pada baik atau tidaknya pemberi kerja. Beruntung jika mendapatkan majikan yang baik, tetapi siapa sangka jika hidup semakin menderita karena perlakuan majikan yang semena-mena. Karena itulah, organisasi-organisasi PRT dunia mengajukan kampanye pengakuan dan perlindungan PRT kepada ILO yang menjadi Konvensi 189. Pertama, untuk mengakui PRT sebagai pekerja. Kedua, dengan diakuinya status sebagai pekerja maka hak-hak pekerja bagi PRT juga akan terjamin. Lebih lanjut, dokumen juga menegaskan secara detail hak-hak PRT lainnya sebagai pekerja, seperti jam kerja, kompensasi lembur, waktu untuk istirahat, cuti, kepastian upah minimum, perlindungan dari kekerasan, dan lingkungan kerja yang sehat serta layak. Setelah sepuluh tahun diresmikan, dokumen C.189 ini telah diratifikasi oleh 35 negara, yaitu 13 negara di Amerika Latin, 10 negara di Eropa, 6 negara di Afrika, 5 negara di Karibia dan 1 negara di Asia Pasifik.   Ragam kebijakan Filipina adalah salah satu negara yang berhasil meratifikasi konvensi tersebut dalam aturan hukum yaitu Batas Kasambhay atau Domestic Workers Act. Dalam aturan tersebut tercantum poin-poin pemberian hak-hak pekerja bagi kasambhay, sebutan PRT di Filipina. Sejumlah hak yang diatur yaitu hak menerima kontrak kerja, mendapatkan tiga kali makan layak, waktu dan tempat istirahat layak, kebebasan untuk berkomunikasi dengan pihak luar, perawatan jika sakit, kesempatan untuk melanjutkan pendidikan, serta perlindungan atas kekerasan. Selain itu, aturan ini juga mengatur upah minimum yang diterima kasambhay sesuai wilayah kerjanya. Jika bekerja di Daerah Ibu Kota Nasional (Manila dan 16 kota sekitarnya), PRT berhak menerima upah 5.000 peso atau Rp 1,4 juta per bulan. Jika bekerja di Wilayah Administratif Cordillera dan wilayah lain, setiap kasambhay berhak menerima minimal 2.000-5.000 peso atau Rp 560.000-Rp 1,4 juta tergantung lokasi kerja. Tak hanya itu saja, Kasambhay juga berhak atas jaminan sosial berupa Sistem Jaring Pengaman Sosial (SSS), Asuransi Kesehatan Filipina (PhilHealth) dan Program Menabung dan Pembiayaan Perumahan Pekerja (Pag-Ibig Fund). Iurannya dibayarkan oleh pemberi kerja, kecuali jika pendapatan PRT di atas lima ribu peso. Peru dan Bolivia juga memberikan contoh sukses penetapan aturan tentang PRT, jauh sebelum Konvensi 189 disepakati. Pada 2003, kedua negara ini mengeluarkan dasar hukum bagi PRT yang mengakui status pekerjaan dan menjamin hak pekerja PRT. Di dalamnya diatur penetapan upah minimum, kontrak kerja dan bukti pembayaran upah, lama kerja per hari dan per minggu, waktu libur, dan bonus upah pada waktu-waktu tertentu. Kemudian pada 2013 Bolivia meratifikasi C.189, disusul Peru pada 2018. Aturan-aturan tersebut menjadi penanda diakuinya PRT sebagai pekerja. Dengan status sebagai pekerja, maka relasi antara pemberi kerja dan PRT sendiri dilandaskan pada hubungan kerja, bukan lagi berdasarkan relasi sosial di balik status pembantu atau asisten yang mengaburkan hak-hak PRT.   Dengan pengakuan itu pun, PRT dihargai sebagai salah satu kelompok pekerja yang berkontribusi terhadap perekonomian dan kehidupan sosial masyarakat. Mereka bukan lagi kelompok tanpa keterampilan khusus yang membebani masyarakat. Mereka adalah kelompok produktif yang turut menyumbang perekonomian daerah maupun negara. Selanjutnya, aturan itu juga menjawab persoalan kesenjangan penerimaan hak antara PRT dan pekerja pada umumnya. Salah satu yang penting adalah jaminan perlindungan sosial sebagai salah satu hak asasi. Tanpa status sebagai pekerja, PRT sering kali tidak dianggap sebagai penerima sistem perlindungan sosial. Dengan diaturnya hak perlindungan sosial dalam skema bantuan iuran oleh pemberi kerja dan lembaga penyalur, PRT tidak lagi rentan. Melalui aturan ini, hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja menjadi jelas. Dengan demikian, kedua pihak dapat menuntut haknya secara hukum jika terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak. Pada akhirnya yang diuntungkan bukan hanya PRT, melainkan juga pemberi kerja. Urgensi UU PRT Kendati penting, Indonesia belum memiliki aturan terkait perlindungan dan kesejahteraan PRT yang berkekuatan hukum. Sebelumnya memang sudah ada aturan khusus tentang PRT, yaitu Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2015. Dalam aturan ini tertera poin-poin perlindungan dan jaminan hak PRT seperti perjanjian kerja, hak-hak PRT berupa upah, makanan dan minuman, waktu istirahat, hari cuti, tunjangan, akses komunikasi dan perlindungan. Namun, aturan ini belum memiliki payung hukum yang jelas. Peraturan menteri itu tidak bisa mengatur sanksi pidana yang justru dibutuhkan PRT jika mengalami perlakuan semena-mena dari pemberi kerja. Adapun yang memiliki kekuatan untuk menjadi payung hukum adalah ratifikasi Konvensi 189 dan Undang-undang (Kompas, 19 Januari 2015).   Sayangnya, Indonesia belum meratifikasi hasil Konvensi 189 hingga saat ini. Rancangan Undang-Undang tentang PRT pun yang sudah diajukan dan diproses sejak 17 tahun lalu belum tampak hasilnya. Terakhir, RUU PRT masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2020 dan hingga saat ini belum ada pembahasan lebih lanjut. Masalahnya sudah banyak kejadian yang merugikan PRT tanpa dijamin oleh hukum yang adil. Dari pantauan berita di media, Organisasi Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat, dari 2012 hingga 2020 terdapat rata-rata 457 kasus penyiksaan terhadap PRT setiap tahun yang hampir seluruhnya dilakukan oleh majikan. Pada masa pandemi, kasus kekerasan terhadap PRT meningkat hingga 92 persen dari 467 kasus di 2019 menjadi 897 kasus di 2020. Sejumlah bentuk kekerasan yang dialami PRT berupa tidak diberi gaji, penyekapan, penyiksaan fisik, dan tidak diberi makan. Belum lagi ditambah PHK massal PRT lantaran kondisi ekonomi pemberi kerja yang terdampak pandemi. Lebih parahnya, ada sebagian yang diberhentikan tiba-tiba tanpa gaji yang menjadi hak mereka. Tanpa payung hukum yang jelas, PRT semakin rentan. Dapat dibayangkan dalam kurun waktu 17 tahun penantian RUU PRT, berapa banyak perlakuan semena-mena yang diterima PRT. Sementara kenyataan hidup menuntut mereka untuk tetap bertahan pada mata pencariannya. Sekitar 4,2 juta PRT di Indonesia sudah seharusnya tidak menggantungkan nasibnya pada kebaikan pemberi kerja semata. Dibutuhkan struktur dan sistem kerja yang lebih jelas dan terjamin. Sebagai langkah awal, pengesahan RUU PRT tidak dapat ditunda lagi. Pengakuan PRT sebagai pekerja dengan hak-haknya secara hukum pada akhirnya tidak hanya akan melindungi PRT dalam pekerjaannya. Lebih dari itu, payung hukum itu akan menjamin kesejahteraan PRT dan keluarganya. Sudah saatnya negara hadir melalui UU PRT dan penegakan hukumnya. (LITBANG KOMPAS)