Kompas. 02-Januari-2022 AROMA GAS BIKIN PETANI GORONTALO LUPA ELPIJI DAN PUPUK KIMIA Sukoco Sarji (47) sudah putus hubungan dengan yang namanya elpiji. Kebutuhan keluarganya akan bahan bakar untuk memasak telah dipenuhi suatu sumber yang tak dinyana, yaitu kotoran sapi. KRISTIAN OKA PRASETYADI Warga Desa Bandungrejo, Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, itu kemudian berpaling ke se- buah kompor satu tungku, lalu memutar pemantiknya. Mun- cullah sebuah lingkaran api biru yang besar. ”Kualitas apinya le- bih bagus ketimbang pakai gas biasa. Suhu panasnya lebih ting- gi, kelihatan dari warna apinya. Rebus air, masak tahu, pisang goreng semua bisa lebih cepat matang. Ibu (istri) saya sudah enggak pernah masak pakai kompor gas. Itu sudah diparkir (tidak lagi digunakan),” kata Su- koco sambil menunjuk kompor dua tungku yang mangkrak di dapur rumahnya, Senin (29/11/2021). Kompor itu tersambung pipa yang mengular dari tembok da- pur hingga reaktor di halaman belakang rumah. Di sanalah timbunan kotoran dua ekor sapi yang ia pelihara ditampung dan dibiarkan hingga menghasilkan biogas bahan bakar alternatif untuk memasak. Tabung hijau elpiji 3 kilo- gram pun terdepak dari daftar kebutuhan bulanan keluarga Sukoco. Kini mereka bisa hidup lebih hemat tanpa terpengaruh harga elpiji 3 kg yang kerap melonjak dari Rp 18.000 men- jadi Rp 35.000 akibat kelangka- an. Tak ada pula waktu yang terbuang percuma akibat lama mengantre di pangkalan elpiji. Reaktor biogas itu dibangun pada Juni 2021 oleh Yayasan Rumah Energi (YRE), lembaga swadaya masyarakat pengem- bang energi terbarukan. Sukoco dan empat warga Desa Ban- dungrejo lainnya terpilih seba- gai penerima hibah reaktor se- nilai Rp 14 juta itu karena me- menuhi satu syarat penting, ya- itu memelihara sapi di kan- dang. Mereka semua adalah trans- migran asal Jawa yang meme- lihara ternak di kandang. Prak- tik ini berbeda dari cara be- ternak yang umum di kalangan warga setempat, yaitu mengikat sapi mereka di kebun tanpa kandang. ”Kalau enggak punya kandang, repot. Kotoran enggak bisa langsung ditampung (ke reaktor),” ujar Sukoco. Sejak reaktor itu dibangun, Sukoco memiliki rutinitas baru. Setiap pagi ia menuju kandang untuk menyerok tinja sapi, lalu memasukkannya ke tangki pen- campur (inlet) tepat di sebelah- nya. Kotoran kemudian disiram air dan diaduk hingga mengalir ke tangki digester berukuran 4 meter kubik. Kotoran yang di- tampung akan membusuk dan menghasilkan biogas untuk di- salurkan ke kompor. Menurut Sukoco, kompor bi- ogas harus sering digunakan untuk memasak, sedangkan tangki digester tidak boleh di- biarkan kosong. Dua cara seder- hana itu dapat mencegah pe- nyumbatan pipa akibat endap- an biogas. ”Tidak ada biaya perawatan; asal rajin mengisi dan menggunakan. Toh, meng- isi (digester) tidak sampai 10 menit setiap hari,” ujarnya. Berkat melimpahnya biogas, Sukoco dan keluarganya kini kerap merebus air untuk mandi tanpa pusing soal biaya. Warga pun bertanya-tanya kapan YRE datang lagi untuk menawarkan reaktor. Sebagian menyesal ka- rena telanjur percaya akan ru- mor bahwa biogas bikin ma- sakan beraroma kotoran sapi. Manfaat utama Kendati begitu, biogas hanya- lah bonus. Manfaat terbesar da- ri reaktor tersebut justru ter- letak pada ampas yang di- hasilkan, yaitu pupuk alami bio-slurry yang tertampung pa- da bak khusus seiring dengan semakin penuhnya digester. YRE pun tak pergi mening- galkan petani setelah pemba- ngunan reaktor tuntas. Supandi Asmarejo (52), petani hortikul- tura di Desa Bandungrejo, yang juga menerima hibah reaktor biogas, mengatakan, mereka di- latih mengolah ampas biogas menjadi pupuk bio-slurry cair dan padat, bahkan pestisida yang ramah lingkungan. Kini, Supandi bisa membuat sendiri berbagai jenis pupuk or- ganik cair, seperti ramuan kal- sium dari campuran ampas bio-slurry dengan cangkang te- lur dan ramuan kalium dari sisa kulit pisang. Ia juga meman- faatkan sisa akar tanaman un- tuk membuat pupuk nitrogen cair serta kulit bawang merah dan bawang putih sebagai perangsang pertumbuhan ta- naman. ”Ada teknisi biogas yang mengajari cara mengolah pu- puk slurry. Setelah tahu cara bikin pupuk ini dan itu, saya coba-coba sendiri dari melihat Google, Youtube, atau unggah- an orang. Menurut saya, enggak sulit mengolah pupuknya. Saya anggap hobi saja,” katanya. Ampas padat bio-slurry pun Supandi olah menjadi kompos untuk ditebar di tanah sebelum mulai ditanami. Menurut dia, tingkat keasaman tanah men- jadi lebih seimbang di kisaran pH 7. Angka itu ideal untuk bercocok tanam. ”Kalau pakai pupuk kimia, biasanya di bawah 6,” katanya. Lebih hemat Pupuk cair ataupun kompos itu mulai ia gunakan pada musim tanam tomat, terung, dan jagung manis empat bulan lalu. Berkat bio-slurry, ia dapat menghemat Rp 2 juta-Rp 4 juta yang biasanya ia belanjakan pu- puk kimia. Semua bahan ramu- an pupuk ia dapatkan gratis, termasuk cangkang telur dari pedagang martabak. Supandi mengaku sangat pu- as dengan hasil panen pertama tomat dari kebunnya, akhir No- vember. Buahnya bagus dan pa- dat, dengan kulit mulus me- ngilat. Sekalipun belum mengetahui produktivitas tanaman, ia cu- kup optimistis. ”Biasanya bisa 1.500 tas yang masing-masing beratnya 7 kilogram. Tetapi, po- honnya kelihatan berbuah le- bat,” ucapnya. Sukoco tak ketinggalan. Dari total 7 hektar sawah yang ia miliki dan kelola, 0,5 hektar ia coba olah dengan pupuk orga- nik bubuk berbahan ampas bio-slurry. Hasilnya, tanah menjadi lebih gembur. Hama seperti tikus tak mau mendekat setelah cairan bio-slurry dituang di saluran irigasi. Kualitas beras juga lebih ba- gus dan tahan lama. ”Pupuk ini sangat ramah lingkungan ka- rena organik. Asalkan petani tekun dan ulet, kita bisa men- jaga keluarga dengan pangan yang lebih sehat tanpa bahan kimia,” kata Sukoco. Membangun manusia Selain lima petani di Ban- dungrejo, YRE juga memba- ngun reaktor biogas bagi dua warga Desa Tolite, Kecamatan Boliyohuto, dan satu reaktor di Desa Balahu, Kecamatan Ti- bawa. Mereka didanai YRE dan Lingkar Temu Kabupaten Les- tari (LTKL), asosiasi pemerin- tah kabupaten yang mempro- mosikan pembangunan ber- wawasan lingkungan. Asisten lapangan teknis YRE, Jihan Ahmad, mengatakan, de- lapan reaktor biogas tersebut adalah proyek percontohan un- tuk mempromosikan pember- dayaan masyarakat melalui energi terbarukan dan perta- nian berkelanjutan. Kendati be- gitu, keberhasilan proyek ini akan ditentukan oleh para pe- nerima manfaat. ”Fokus kami tidak sekadar membangun fisik reaktornya, tetapi juga mem- bangun manusianya. Kami tegaskan kepada para peneri- ma, mereka harus mau dilatih pascapembangunan reaktor agar mereka bisa menggunakan. Reaktor ini jangan sampai mangkrak,” kata Jihan. Proyek ini dapat dikatakan berhasil jika penerima sudah mampu meramu pupuk bio-slurry sendiri dan tak lagi bergantung pada pupuk kimia yang mengandung bahan bakar fosil. Petani juga akan men- dapatkan hasil panen yang ber- kualitas berkat perbaikan ku- alitas tanah. Memasak dengan biogas juga berarti mengurangi emisi gas rumah kaca yang berasal dari metana dalam kotoran sapi. Se- nyawa tersebut memiliki po- tensi pemanasan global 24 kali lebih tinggi dari karbon diok- sida. ”Memang tetap ada kar- bon dioksida dari pembakaran biogas. Tetapi, kita hanya akan memakai bahan yang ada di permukaan bumi, bukan meng- angkat sumber karbon baru da- ri dalam tanah,” kata Jihan. Jihan berharap, proyek per- contohan ini dapat mengun- dang lebih banyak pendanaan sehingga reaktor biogas sema- kin umum digunakan di Go- rontalo, terutama di kalangan warga yang bukan transmigran. Kendati begitu, ada tantangan kultural yang harus diatasi, yaitu kebiasaan beternak tanpa kandang. Dua penerima man- faat di Desa Tolite, misalnya, tidak memiliki kandang sebelum reaktor dibangun. Jih- an pun mewajibkan mereka membangun kandang sapi maksimal dua bulan setelah re- aktor jadi. ”Kalau enggak punya kan- dang, potensi reaktor biogas mangkrak di tengah jalan sa- ngat besar. Satu-dua bulan per- tama mungkin masih semangat (mengambil kotoran untuk di- masukkan ke reaktor), tetapi lama-lama pasti lelah karena pekerjaan petani bukan cuma satu (mengurus ternak),” kata Jihan. Di pihak lain, para penerima hibah seperti Sukoco dan Su- pandi mengaku tak mendapat- kan nilai lebih dari produk yang mereka kembangkan secara or- ganik.Meski kualitas komoditas yang dihasilkan lebih bagus, harganya tetap sama di pasar. Padahal, butuh waktu dan tena- ga lebih untuk membuat pupuk organik bio-slurry. ”Petani mau dan siap bekerja keras dan ulet mengembangkan beras organik, tetapi jelaskan dulu pasarnya. Kalau (beras) yang kualitas bagus harganya Rp 9.000-Rp 10.000 per kg, sama dengan beras biasa, apa untungnya buat kami?” kata Sukoco. Ia merasa getir melihat be- ras-beras dari luar daerah yang dijual di toko-toko ritel dengan harga pada kisaran Rp 15.000 per kg. Sementara itu, Supandi kerap terpaksa menjual tomat Rp 5.000-Rp 10.000 per kan- tong seberat 7 kg saat panen raya. Padahal, harga ideal di pasar selama ini Rp 35.000 per kantong. Petani berharap hasil panen juga menguntungkan mereka. Dalam pembukaan Festival Kabupaten Lestari 2021, akhir November, Bupati Gorontalo Nelson Pomalingo menyatakan, keterlibatan daerahnya dalam LTKL bertujuan untuk meles- tarikan lingkungan sambil mendorong kesejahteraan ma- syarakat. Tujuan akhirnya ialah mewujudkan ekonomi lestari. Realisasi retorika itu dinanti petani seperti Sukoco dan Supandi.