RCEP gagal diimplementasikan di awal tahun 2022 karena pemerintah belum meratifikasi perjanjian tersebut. Ketertinggalan kerja sama perdagangan dan investasi harus dikejar setelah seluruh proses ratifikasi rampung. Oleh DIMAS WARADITYA NUGRAHA 3 Januari 2022 07:01 WIB ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAY Presiden Joko Widodo (ketiga dari kanan) bersama para kepala negara dan kepala pemerintahan negara-negara peserta KTT Ke-3 Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) di Bangkok, Thailand, 4 November 2019. JAKARTA, KOMPAS — Keterlambatan Indonesia dalam meratifikasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (Regional Comprehensive Economic Partnership) akan berdampak pada mundurnya implementasi kemitraan. Padahal, banyak manfaat yang bisa dipetik Indonesia dari implementasi RCEP. RCEP adalah perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan 10 negara Asia Tenggara serta lima negara mitra, yakni China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia. Ke-15 negara, termasuk Indonesia, menandatangani perjanjian RCEP pada 15 November 2020. Dengan pangsa pasar sebanyak 2,2 miliar orang dan gabungan produk domestik bruto (PDB) mencapai 26,2 triliun dollar AS atau hampir sepertiga total PDB dunia, RCEP berpotensi menjadi kemitraan dagang terbesar di dunia. Dengan pangsa pasar sebanyak 2,2 miliar orang dengan gabungan produk domestik bruto mencapai 26,2 triliun dollar AS atau hampir sepertiga total PDB dunia, RCEP berpotensi menjadi kemitraan dagang terbesar di dunia. Dihubungi pada Minggu (2/1/2022), Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio mengatakan, Indonesia perlu segera ikut mengimplementasikan RCEP demi menjamin keterlibatan industri domestik dalam rantai nilai di kawasan. Andry berharap Indonesia mampu mengejar ketertinggalan karena menjadi satu dari segelintir negara yang belum meratifikasi RCEP. Sebagai perjanjian perdagangan yang lebih modern daripada perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), terdapat banyak keuntungan yang bisa Indonesia manfaatkan. ”Indonesia setidaknya akan tertinggal dalam satu triwulan, tetapi saya harapkan Indonesia bisa mengejar ketertinggalan. Ini akan menjadi salah satu tantangan yang besar,” katanya. Negara-negara yang sudah meratifikasi bisa langsung menggelar kerja sama perdagangan dan investasi. Mereka adalah Brunei, Kamboja, Laos, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Myanmar serta lima negara di luar ASEAN, yaitu China, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Korea Selatan. ”Banyak hal dalam RCEP yang bisa dimanfaatkan. Selain penurunan tarif, ada kemudahan investasi dan ketentuan lain yang juga memang cukup menguntungkan bagi produk ekspor serta bisa  masuk dalam rantai nilai global,” tutur Andry. Laporan yang dirilis Peter A Petri dari Brookings Institution bersama Michael Plummer, profesor ekonomi internasional di Universitas Johns Hopkins, menyebutkan, dalam konteks politik yang tepat, RCEP akan menambah pendapatan global hingga 209 miliar dollar AS setiap tahun dan perdagangan dunia senilai 500 miliar dollar AS pada 2030. https://assetd.kompas.id/_yJBqoE5lwk0rbYThZxV1Ej_WVY=/1024x1133/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/03/20210319-H10-ARJ-asean-mumed_1616172897.png Sepanjang tahun lalu, pemerintah telah berkali-kali meminta DPR untuk segera meratifikasi RCEP paling lambat akhir Oktober 2021 agar bisa segera diimplementasikan pada awal 2022. Dalam konferensi pers virtual akhir pekan lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, ratifikasi sebenarnya telah disepakati. Namun, hasil persetujuan komisi belum sampai ke rapat paripurna DPR sehingga belum ada persetujuan final dari lembaga legislatif. ”Maka, konsekuensinya, tidak berlaku 1 Januari 2022,” kata Airlangga. Riset yang dilakukan pemerintah menunjukkan neraca perdagangan Indonesia bakal mengalami defisit pada tahun-tahun awal implementasi RCEP. Namun, defisit tersebut akan diimbangi dengan kenaikan surplus sampai 979,03 juta dollar AS pada 2040 atau 2,5 kali lebih besar daripada surplus saat tidak mengikuti RCEP yang hanya sebesar 383,06 juta dollar AS. Airlangga berharap DPR bisa segera memberi persetujuan ratifikasi RCEP kepada pemerintah pada awal triwulan I-2022 agar pemerintah juga bisa mengebut pembuatan rancangan undang-undang RCEP selama triwulan tersebut. https://assetd.kompas.id/1xRXfufCVEZgraqaK4PC9IK8rqc=/1024x774/https://kompas.id/wp-content/uploads/2020/11/20201115-H09-NSW-RCEP-mumed_1605456221.jpg ”Perjanjian RCEP memiliki keunggulan utama yaitu menyederhanakan aturan FTA. Melalui mekanisme RCEP, akan digunakan satu jenis surat keterangan asal di seluruh kawasan RCEP sehingga menghemat biaya perdagangan,” ujarnya. Perjanjian RCEP juga mendukung penggunaan bahan baku yang berasal dari negara mitra anggota sehingga dapat terbentuk regional production hub. Hal ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk mengembangkan industri yang menghasilkan produk akhir. Airlangga menekankan, negara anggota RCEP memiliki arti yang signifikan bagi perekonomian Indonesia sebagai tujuan ekspor (56 persen) dan sumber impor utama (65 persen) pada 2020. Selain mendorong ekspor ke negara anggota RCEP, Indonesia dapat menarik lebih banyak investasi dengan dukungan alih teknologi dan kepastian hukum investasi yang diatur di dalam RCEP. Pada 2020, sebesar 72 persen penanaman modal asing (PMA) yang masuk ke Indonesia berasal dari negara anggota RCEP. Editor: M FAJAR MARTA