Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan untuk koperasi semestinya tidak lagi menjadi wacana. Sejumlah koperasi simpan pinjam bermasalah menyebabkan nama koperasi menjadi tercoreng. Pengawasan perlu ditingkatkan lagi. Oleh STEFANUS OSA TRIYATNA 2 Januari 2022 19:24 WIB JAKARTA, KOMPAS — Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan atau LPS untuk koperasi dinilai perlu direalisasikan sehingga tidak terus menjadi wacana. Keberadaannya dibutuhkan di tengah maraknya fenomena koperasi simpan pinjam yang gagal bayar. Kehadiran LPS koperasi dianggap sebagai wujud konkret kehadiran negara untuk memperkuat gerakan koperasi. Ketua Umum Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto kepada Kompas di Jakarta, Minggu (2/1/2022), mengatakan, pembentukan LPS sebetulnya sudah menjadi usulannya sejak 20 tahun silam. Namun, usulan itu tidak pernah direalisasikan oleh pemerintah. ”Seharusnya jangan lagi jadi wacana terus, tetapi tidak pernah terealisasi,” ujarnya. Menurut dia, pembentukan LPS untuk koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit adalah sebuah kemajuan kebijakan yang mesti didukung semua pihak. Sebab, masalah mendasar koperasi di Indonesia selama ini adalah soal krisis kepercayaan masyarakat untuk menyimpan uangnya. Ketiadaan LPS, menurut Suroto, membuat koperasi simpan pinjam atau koperasi kredit selama ini harus mengeluarkan biaya modal (cost of fund) yang tinggi. Akibatnya, koperasi kalah bersaing dengan perbankan yang selama ini menikmati fasilitas lengkap dari pemerintah, seperti penjaminan simpanan, penjaminan pinjaman, modal penyertaan, dana penempatan, bahkan talangan (bailout) ketika bangkrut dan supervisi ketat. ”Pembentukan LPS setidaknya mengurangi ketidakadilan dan diskriminasi kebijakan pemerintah terhadap koperasi. Bangun perusahaan yang demokratis. Bahkan, kalau pemerintah mau serius menghapuskan perlakuan diskriminatif kepada koperasi, semestinya semua skema yang diberikan kepada bank juga diberikan ke koperasi,” tegas Suroto. https://assetd.kompas.id/_7dmZilARNoibICrJj-HGEL7t2M=/1024x1024/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/07/20210713-TCJ-Perkembangan-Koperasi-mumed_1626171693.png Menurut Suroto, koperasi memiliki keunggulan komparatif. Koperasi membawa afeksi terhadap perusahaan karena semua pihak, termasuk nasabahnya, ikut menjadi pemilik dan menentukan arah kebijakan perusahaan. Temuan paling mutakhir saat ini, kelembagaan model koperasi multipihak telah mendorong bentuk afeksi semua pihak dan mengakselerasi pertumbuhan koperasi dunia. Terhadap para pengurus yang menyalahgunakan kewenangan dalam mengelola dana anggota koperasi, katanya, hal itu justru menunjukkan bentuk kelalaian tugas penting dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM). Mereka seharusnya cukup memastikan berjalannya segala aturan yang diatur dalam Undang-Undang Perkoperasian. Dalam ”Refleksi 2021 dan Outlook 2022”, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, koperasi simpan pinjam memang lebih baik pertumbuhannya dibandingkan dengan koperasi produksi. Namun, ketika pandemi Covid-19 terjadi, bermunculan koperasi-koperasi yang memiliki masalah gagal bayar. Logikanya, koperasi tidak mungkin gagal bayar kalau semua uang anggota disalurkan pemanfaatannya juga kepada para anggotanya. Tahun 2021, Kementerian Koperasi dan UKM harus berhadapan dengan berbagai permasalahan koperasi simpan pinjam gagal bayar. Berbagai perwakilan anggota koperasi berupaya mendesak Kementerian Koperasi dan UKM untuk membantu menyelesaikan problem gagal bayar, seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Sejahtera Bersama. Bukan hanya KSP gagal bayar, pandemi juga menyebabkan banyak orang terjebak pada pinjaman daring. Ironisnya, dari hasil temuan Kementerian Koperasi dan UKM bersama Polri, sebagian perusahaan pinjaman daring itu berbentuk KSP. ”Ini pasti ada yang keliru. Karena itu, untuk pembenahan ke depan, apalagi sudah mulai muncul banyak KSP skala nasional, kita (akan) membenahi sistem pengawasannya. Jadi, kita ingin mereka yang berinvestasi menjadi anggota koperasi, menaruh uangnya di koperasi, bisa merasa aman,” kata Teten. ARSIP KEMENTERIAN KOPERASI DAN UKM Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (ketiga dari kiri) didampingi jajaran Kemenkop dan UKM menyampaikan ”Refleksi 2021 dan Outlook 2022” di Jakarta, Kamis (30/12/2021). Menurut Teten, pihaknya sempat mengusulkan pembentukan semacam lembaga penjamin simpanan untuk koperasi. Waktu itu, usulan LPS koperasi dimasukkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Namun, kemudian disepakati oleh seluruh kementerian, LPS koperasi tidak diatur dalam UU Cipta Kerja, melainkan di dalam UU Perkoperasian. Kementerian Koperasi dan UKM disebut sudah mulai membahas pembentukan LPS koperasi bersama DPR untuk didorong dalam revisi UU Perkoperasian. Sekarang ini, lanjut Teten, pengawasan sudah mulai dibenahi. Pihaknya meniru perbankan dengan membagi KSP ke dalam empat buku. Artinya, pengawasan dibedakan dalam empat buku berbasis risiko. KSP yang masuk dalam buku berisiko tinggi, misalnya, pengawasannya akan makin ketat, termasuk rekrutmen tenaga pengawas koperasi dengan persyaratan khusus supaya bekerja profesional. ”Mudah-mudahan, dengan pengawasan ini, KSP bisa menjadi lebih sehat dan dipercaya masyarakat,” tegas Teten. Deputi Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi menjelaskan, pengawasan koperasi sebagai bentuk reformasi diharapkan bisa mulai diterapkan tahun 2022. Koperasi dalam kelas validasi tiga dan empat yang dipandang berisiko sangat tinggi diwajibkan terhubung dalam sistem pengawasan secara daring. Koperasi ini dicirikan dengan jumlah anggota di atas 9.000 orang, modal di atas Rp 15 miliar, dan aset di atas Rp 100 miliar. Terhadap pengurus pada koperasi berisiko tinggi ini, mereka diwajibkan pula menjalani uji kepatutan dan kelayakan. Seperti halnya sistem rekrutmen perbankan atau lembaga keuangan lainnya, mereka akan dilihat dari sisi reputasi, integritas, kompetensi, dan pengakuan yang kuat dari koperasi. https://assetd.kompas.id/_ss7FpD9Kb3mhA5IfSuFArXg6Uo=/1024x1032/https://kompas.id/wp-content/uploads/2021/07/20210713-H15-ARJ-anggota-koperasi-A-mumed_1626193222.png Menurut Ahmad, proses ini diyakini dapat lebih aman mengarahkan pengelolaan koperasi. Hanya mereka yang memiliki integritas dan kompetensi yang dapat mengelola koperasi. Ada beberapa persyaratan lain yang sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan. Menyangkut KSP yang tidak terdata Kementerian Koperasi dan UKM, termasuk KSP yang menjalankan bisnis pinjaman daring, Ahmad menjelaskan, sejumlah KSP yang diproses secara hukum terkait praktik pinjaman daring ilegal ternyata baru saja berdiri. Mereka tidak memiliki izin pendirian koperasi. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika bahwa untuk izin usaha daring, hendaknya dipersyaratkan pula dengan pemenuhan izin praktik simpan pinjam untuk koperasi. Sebab, dari 82 perusahaan pinjaman daring yang menjadi temuan Otoritas Jasa Keuangan, ternyata sebanyak 62 perusahaan didirikan oleh satu orang dengan mengatasnamakan koperasi. ”Kami sudah meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk membekukan izin koperasi ini. Begitu pula tindakan berikutnya, kami sudah meminta kepolisian untuk menindak tegas secara hukum,” ujar Ahmad. Editor: MUKHAMAD KURNIAWAN