Paradoks Potensi Kelautan dan Kesejahteraan Nelayan

Dengan masih tak terjaminnya kesejahteraan, jumlah nelayan di Indonesia semakin sedikit. Tren ini sebetulnya baru-baru saja terjadi.

Oleh
RANGGA EKA SAKTI/LITBANG KOMPAS
22 Agustus 2021 07:00 WIB·4 menit baca
 

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN

Perempuan pedagang ikan baru saja membeli ikan dari perahu nelayan di Pantai Oesapa, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (18/8/2021). Banyak perempuan di daerah itu yang menjual ikan.

”Berkomitmen dalam menjaga dan mengelola sumber daya laut dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama.” — Pilar kedua Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia

Tren pemanfaatan sumber daya kelautan di Indonesia memberi gambaran positif selama beberapa tahun terakhir. Namun, makin tergalinya potensi maritim bangsa tidak serta-merta membuat nelayan makin sejahtera. Di tengah ironi ini, mimpi Indonesia menjadi poros maritim dunia bak ”pungguk merindukan bulan”.

Semakin dimanfaatkannya sumber daya maritim di Indonesia tecermin pada meningkatnya jumlah produksi perikanan tangkap laut tiap tahun. Secara umum Indonesia memiliki potensi lestari sumber daya ikan sebesar 12,54 juta ton per tahun. Dari jumlah tersebut, hanya 80 persen atau sekitar 10,3 juta ton yang boleh ditangkap setiap tahun.

Selama dua dekade, jumlah tangkapan ikan laut konsisten meningkat. Pada 2010, jumlah tangkapan ikan laut selama setahun baru 5,03 juta ton atau sekitar 49 persen dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Angka ini melonjak hingga 7,81 juta ton pada 2019 di mana lebih dari 75 persen kuota JTB telah dimanfaatkan.

Baca juga : Jangan Melupakan Nelayan

Selain dari jumlah tangkapan, perkembangan sektor perikanan ini juga tampak dari kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2015, persentase kontribusi sektor ini terhadap PDB sebesar 2,51 persen. Meski kecil, kontribusi sektor ini mengalami kenaikan secara konsisten selama lima tahun berturut-turut hingga di angka 2,65 persen pada 2019.

Garis kemiskinan

Meskipun begitu, tak berarti tren positif ini lantas membuat nelayan di Indonesia sejahtera. Dalam penelitiannya tahun 2020, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Zuzy Anna memaparkan bahwa 11,34 persen nelayan di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan beberapa profesi di sektor informal lain, seperti pelayan restoran (5,56 persen), konstruksi bangunan (9,86 persen), dan pengelolaan sampah (9,62 persen). Bahkan, data lain dari Zakariya Anwar dalam jurnal Sosioreligius Universitas Islam Negeri (UIN) Makassar menunjukkan, seperempat dari total masyarakat miskin di Indonesia pada 2018 adalah nelayan.

 

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Anak-anak di perkampungan nelayan Kali Baru, Cilincing, Jakarta Utara, memberi hormat saat mengikuti upacara penurunan bendera HUT Ke-76 RI, Selasa (17/8/2021).

Tingginya kemiskinan nelayan di Indonesia tentu miris. Berdasarkan perhitungan Badan Pusat Statistik, garis kemiskinan Indonesia per Maret 2021 berkisar Rp 472.000 per bulan. Artinya, masih ada ratusan ribu nelayan di Indonesia yang masih kesulitan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp 16.000 tiap hari.

Hal ini menjadi kontradiktif ketika melihat nilai tukar nelayan yang terus meningkat dari 104,62 tahun 2014 menjadi 113,75 (2019). Artinya, tiap tahun, nilai hasil tangkapan nelayan terus naik dibandingkan harga kebutuhan rumah tangga dan produksi.

Baca juga : Nelayan Butuh Keberpihakan

Namun, tren positif ini malah anjlok ke 100 tahun 2020. Tentu, penurunan nilai tukar nelayan akan membuat hasil tangkapan semakin tak bernilai dan membuat kehidupan nelayan kian sulit. Tren perburukan ini kemungkinan besar akan membuat jumlah nelayan miskin semakin meningkat.

Kemiskinan nelayan ini juga diamini masyarakat. Berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas, Oktober 2020, 61 persen lebih dari publik menilai nelayan di Indonesia semakin tidak sejahtera. Tak hanya itu, situasi ini juga diperburuk dengan masih lemahnya dukungan perlindungan pemerintah terhadap nelayan. Dari hasil jajak pendapat tersebut, lebih dari separuh masyarakat merasa bahwa setelah tahun 2019, nelayan justru semakin tak terlindungi.

Mimpi poros maritim

Dengan masih tak terjaminnya kesejahteraan, jumlah nelayan di Indonesia pun semakin sedikit. Tren ini sebetulnya baru-baru saja terjadi. Selama 2014 sampai 2018, jumlah nelayan di Indonesia naik dari 2,26 juta orang menjadi 2,29 juta orang. Namun, angka ini anjlok sebesar 20 persen dalam setahun di mana jumlah nelayan pada 2019 berada di kisaran 1,82 juta orang saja.

 

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Ikan tongkol ditata di atas bak truk setelah mendarat di Pelabuhan Muara Angke, Penjaringan, Jakata Utara, untuk kemudian disimpan di gudang berpendingin, Rabu (11/8/2021). Ikan tersebut merupakan hasil tangkapan nelayan di perairan sekitar Pulau Kalimantan.

Turunnya jumlah nelayan ini tentu tak sejalan dengan niat pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Memang, Indonesia menyimpan potensi budidaya ikan yang luar biasa banyak dan sebagian besar dari potensi ini belum dieksplorasi. Data pada 2020 menunjukkan, setidaknya terdapat 2,6 juta hektar lahan budidaya ikan laut di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 7,6 persen yang kini dimanfaatkan.

Tak heran apabila menggenjot produksi budidaya ikan laut kini menjadi salah satu agenda yang digembar-gemborkan pemerintah. Selama ini, kontribusi hasil tangkapan nelayan terhadap produksi perikanan di Indonesia memang lebih kecil dibandingkan dengan hasil budidaya. Dalam rentang waktu 2014 sampai 2018, tak pernah sekali pun jumlah hasil ikan tangkap mencapai sepertiga dari hasil ikan budidaya.

Meskipun begitu, bukan berarti pemerintah berhak menyisihkan nelayan tangkap dalam lanskap sektor perikanan di Indonesia.

Mimpi Indonesia sebagai ”Poros Maritim Dunia” tak akan terwujud apabila nelayan tak mendapatkan dukungan serius. Hal ini sejalan dengan janji pemerintah untuk terus memperhatikan nelayan. Seperti tertuang pada pilar ke-2 dari lima pilar kebijakan Poros Maritim Dunia, pemerintah berkomitmen untuk menempatkan nelayan sebagai ”pilar utama”. Maka, dengan masih tersisihkannya nelayan di Indonesia, janji pemerintah untuk mendahulukan nelayan ini harus terus dikawal.