PNBP Kelautan dan Perikanan, Pungutan untuk Ekologi

Bagi Indonesia, laut adalah kehidupan. Sudah selayaknya kita menfaatkan anugerah ini untuk masyarakat dan negara dengan menjadikan ekologi sebagai panglima.

Oleh
ZAKI MUBAROK
3 November 2021 08:00 WIB·5 menit baca
 

KOMPAS

Didie SW

Pada 19 Agustus 2021, ditetapkan Peraturan Pemerintah No 85/2021 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Perubahan PP No 75/2015 menjadi PP No 85/2021 dimaksudkan untuk mengoptimalkan penerimaan negara di sektor kelautan dan perikanan (KP), di antaranya melalui perubahan mekanisme pengelolaan PNBP dan pengaturan PNBP perlu disesuaikan dengan ketentuan peraturan perundangan di antaranya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja dan PP No 27/ 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.

PP juga dilandasi concern KKP terhadap isu blue economy dan penangkapan terukur. Memadukan PNBP dan isu ekologi bukan hal mudah. Madzhab keduanya bagi banyak kalangan dianggap berseberangan karena PNBP menekankan pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan isu ekologi menjadikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekosistem sebagai isu pokok.

Untuk menjembatani keduanya, konsep pembangunan melalui ekonomi biru menjadi alternatif.

Untuk menjembatani keduanya, konsep pembangunan melalui ekonomi biru menjadi alternatif. Menurut Bank Dunia, terdapat tiga indikator pokok pendekatan blue economy, yaitu pengelolaan sumber daya kelautan yang berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, meningkatnya taraf hidup dan kesempatan kerja, serta ekosistem laut yang sehat.

Produksi perikanan tangkap Indonesia selama 2013-2018 menunjukkan peningkatan, kecuali di 2016 yang sempat turun. Produksi mencapai 6,7 juta ton pada 2018 dan 7,5 juta ton pada 2019. Namun, PNBP dari perikanan bukanlah yang terbesar. Dengan potensi perikanan tangkap yang sangat besar, sumbangan perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 2 persen dan 2,65 persen pada 2018 dan 2019.

Tak seimbang

Obyek pungutan PNBP berupa Pungutan Hasil Perikanan menyumbang PNBP sektor perikanan paling tinggi, sekitar 75 persen. Secara nominal, angkanya relatif kecil, yakni sekitar Rp 493 miliar di 2017, Rp 448 miliar di 2018 dan Rp 419.982 di 2019. Sejak 2013 hingga 2020, realisasi capaian PNBP selalu di bawah target.

Sampai tahun 2000-an, pengelolaan sumber daya perikanan di beberapa negara Eropa telah berkembang dan tak hanya mengedepankan keberlanjutan, tetapi sudah mengarah kepada bagaimana sumber daya itu bisa memberikan keuntungan bagi negara dan kesejahteraan masyarakat. Pengaturannya tak lagi berdasarkan izin, tetapi menggunakan instrumen ekonomi seperti pajak dan kuota untuk mengendalikan sumber daya perikanan.

 

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Pekerja mengisi sejumlah ember besar dengan ikan di salah satu lapak di Pasar Ikan Modern Muara Baru, Jakarta Utara, Kamis (26/8/2021). Pada tahun ini Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan penerimaan negara bukan pajak atau PNBP untuk usaha perikanan tangkap sebesar Rp 1 triliun. Jumlah tersebut ditargetkan meningkat menjadi Rp 12 triliun pada 2024. 

Eslandia, Norwegia, dan Cile telah menerapkan pajak terhadap penangkapan ikan, retribusi, dan sistem lelang terkait hak pemanfaatan. Pemerintah Cile menggunakan instrumen ekonomi untuk memulihkan sumber daya perikanan melalui penerapan pajak sumber daya untuk pemberantasan IUU Fishing (kegiatan perikanan yang tak sah, tak dilaporkan pada institusi pengelola perikanan yang berwenang, dan kegiatan perikanan yang belum diatur dalam peraturan yang ada).

Yang menarik, penerapan pajak pada komoditas perikanan tidak hanya bertujuan untuk pemulihan sumber daya, tetapi beberapa negara berkembang telah mempertimbangkan penggunaan sistem pajak perikanan untuk membantu dana kegiatan penelitian.

Dalam konteks dalam negeri, tingkat pemanfaatan Sumber Daya Ikan (SDI) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) didasarkan pada data kajian stok dalam Kepmen KP Nomor 50/KEPMEN-KP/2017 Tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di WPPNRI.

Kepmen KP ini menetapkan bahwa stok ikan di wilayah perairan Indonesia berada pada tahapan berkembang, jenuh, dan tangkap lebih. Penangkapan ikan secara berlebihan perlu dikurangi dan stok ikan di WPPNRI yang tingkat pemanfaatannya masih moderat perlu ditingkatkan.

Kepmen KP Nomor 50/KEPMEN-KP/2017 tersebut merupakan implementasi pendekatan kehati-hatian dan keberlanjutan untuk mengelola SDI berbasis kajian stok ikan terkini yang diharapkan dapat diterjemahkan dalam langkah-langkah pengelolaan oleh pemerintah serta pelaku usaha perikanan.

Baca juga : Nelayan Keluhkan Tarif Pungutan

Secara ringkas, PP Nomor 85 Tahun 2021 tersebut tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan pungutan seoptimal mungkin melainkan upaya mendapatkan pengembalian modal (payback) atas pemanfataan sumber daya untuk kepentingan umum. Prinsip utama adalah PNBP merupakan mekanisme negara untuk menjaga sumber dayanya secara berkelanjutan serta memastikan terwujudnya keadilan terhadap warga negara.

Dalam kaitan ini, menarik sekali konsep Penangkapan Ikan Terukur yang dikenalkan oleh Menteri Trenggono. Konsep ini pada prinsipnya memadukan keberlanjutan ekologi sebagai isu sentral dan peningkatan kesejahteraan.

Kebijakan penangkapan ikan terukur ini merupakan antitesis terhadap akses terbuka. Terdapat beberapa prinsip yang diatur di antaranya pengaturan area penangkapan ikan, jumlah ikan yang boleh ditangkap, jenis alat tangkap, tempat pendaratan ikan, penggunaan anak buah kapal lokal, dan sistem kontrak.

Apabila memperhatikan elemen-elemen penangkapan ikan terukur ini, konsep yang dibangun lebih mengarah kepada kelestarian ekologi dan penekanan bahwa SDI merupakan milik bersama yang harus dijaga keberlanjutannya. Gol akhir yang ingin dicapai berupa keberlanjutan dan perikanan yang legal, dilaporkan, dan diatur.

Konsep ini pada prinsipnya memadukan keberlanjutan ekologi sebagai isu sentral dan peningkatan kesejahteraan.

Penangkapan ikan terukur ini juga sejalan dengan prinsip ekonomi biru sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan serta prinsip-prinsip yang dianut di beberapa instrumen internasional, di antaranya Pasal 62 Ayat (4) UNCLOS 1982 mengenai pemanfaatan sumber daya hayati di ZEE.

Paling tidak terdapat 3 isu yang kemungkinan terjadi terkait PNBP berbasis ekologi di sektor kelautan dan perikanan yaitu peningkatan infrastruktur dan sumber daya manusia, terutama pada tempat pendaratan ikan, pengembangan pelabuhan perikanan dengan fasilitas yang mumpuni termasuk pengawasan yang modern berbasis teknologi informasi, serta masih terdapat pendaratan ikan di luar pelabuhan perikanan yang membuka peluang adanya pelaporan data produksi ikan yang tidak sesuai.

Bagi Indonesia, laut adalah kehidupan. Sudah selayaknya kita menfaatkan anugerah ini untuk masyarakat dan negara dengan menjadikan ekologi sebagai panglima.