Pekerja Migran Indonesia di Sektor Kelautan Tidak Terlindungi

ABK Indonesia menjadi korban perdagangan orang dan perbudakan di kapal-kapal ikan asing. Kasus paling banyak terjadi di kapal-kapal Taiwan, China, dan Korea Selatan.

Oleh
KRIS MADA
24 Agustus 2020 07:00 WIB·5 menit baca
 

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Kapal ikan berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 118, sandar di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020). Aparat gabungan menangkap kapal itu di perairan Pulau Nipah yang berbatasan dengan Singapura.

Indonesia belum juga membuat aturan nasional dan meratifikasi konvensi internasional terkait perlindungan pelaut di kapal asing. Keselamatan para pekerja migran di laut amat rentan.

Kala hampir seluruh energi bangsa difokuskan untuk menangani dampak pandemi Covid-19, Indonesia bolak-balik dikejutkan oleh kabar kematian pelaut yang bekerja di kapal-kapal ikan asing. Insiden itu terjadi berulang kali selama bertahun-tahun. Sulit meminta negara lain untuk melindungi warga kita di kapal ikan asing karena Indonesia belum membuat aturan nasional dan meratifikasi konvensi internasional soal perlindungan pelaut di kapal ikan asing.

Sejak Januari 2020, sedikitnya sudah tiga kali Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membahas masalah perlindungan anak buah kapal (ABK) dari Indonesia dengan Menlu China Wang Yi.

”Saya menekankan,  isu ini sudah bukan isu antara swasta. Pemerintah sudah harus terlibat untuk memastikan bahwa pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan ini tidak terjadi di masa mendatang,” kata Retno seusai bertemu Wang Yi di Hainan, Jumat (21/8/2020).

Bersama Taiwan dan Korea Selatan, China dicatat oleh Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) dalam daftar teratas kasus ABK Indonesia. Kapal-kapal ikan di tiga negara itu bolak-balik dilaporkan menjadi lokasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan perbudakan ABK Indonesia.

Baca juga: Usut Tuntas Kasus Kematian WNI di Kapal Asing

Dari 389 aduan ABK Indonesia yang diterima BP2MI pada periode 2018 hingga semester I-2020, ada 120 aduan berasal dari kapal Taiwan, 42 dari kapal Korsel, dan 23 dari kapal China. Sisanya dari kapal-kapal yang terdaftar di negara-negara lain. SBMI pun mencatat data serupa.  ”Kebanyakan dari kapal berbendera Taiwan, China, dan Vanuatu,” kata Ketua Umum SBMI Hariyanto.

Kemalangan ganda

SBMI menyebut ABK Indonesia menjadi korban perbudakan, antara lain, karena waktu kerja bisa mencapai 20 jam sehari, tidak ada upah kecuali perusahaannya digugat, dan nyaris tidak ada makanan. Sebagian korban menerima kemalangan ganda, seperti dipenjara di negara-negara karena dinyatakan bersalah dalam kasus penganiayaan hingga pembunuhan kapten kapal. Kondisi itu biasanya terjadi setelah ABK Indonesia tak tahan dengan penyiksaan lalu melawan balik.

 

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Awak kapal asal Indonesia di kapal berbendera China, Lu Huang Yuan Yu 118, membantu proses kapal itu sandar di Pangkalan TNI AL Batam, Kepulauan Riau, Rabu (8/7/2020).

Pengajar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, Faisal Karim, mengatakan, upaya Kemenlu RI melindungi pekerja migran Indonesia (PMI), termasuk ABK di kapal asing, sudah bagus. Namun, upaya itu lebih cenderung reaktif. Sebab, Indonesia tak mendorong pembuatan dan pemberlakuan aturan mencegah insiden terulang.

Jangankan di tingkat kawasan, di aras nasional saja Indonesia tidak punya perangkat hukum lengkap dan tegas untuk melindungi ABK Indonesia, khususnya di kapal-kapal ikan asing. Sampai sekarang, Indonesia belum meratifikasi konvensi Organisasi Pekerja Internasional (ILO) nomor 188 tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.

Hariyanto dan para pegiat pendampingan pekerja migran Indonesia bolak-balik malu di forum internasional dan regional. Sebab, SBMI, Migrant Care, atau para pendamping PMI lain selalu mendorong banyak negara membuat aturan perlindungan pekerja migran, termasuk untuk ABK. ”Mereka (pendamping pekerja migran negara lain) balik menuding, Indonesia saja belum punya aturan perlindungan,” ujarnya.

Baca juga: Pemerintah Indonesia dan China Verifikasi Hak WNI di Kapal Long Xin

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan bahwa PMI kelautan rentan karena Indonesia tidak punya instrumen perlindungan dalam bentuk payung hukum yang lengkap. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia memerintahkan pembuatan aturan khusus untuk perlindungan PMI sektor kelautan. Peraturan itu awalnya ditargetkan selesai pada 2019. Sampai sekarang, tidak jelas kapal rancangan peraturan pemerintah soal perlindungan PMI sektor kelautan selesai dibahas.

Tumpang-tindih

Kepala BP2MI Benny Rhamdani mengakui, ada ego sektoral yang tidak kunjung usai dalam pembahasan RPP itu. Pengakuan Benny menambah bukti keruwetan tata kelola penempatan dan perlindungan PMI sektor kelautan. Padahal, BP2MI mengidentifikasi 80 persen persoalan PMI bermula dari tata kelola yang tumpang-tindih.

Baca juga: Perlindungan Tidak Berhenti karena Pandemi

Dalam isu PMI kelautan, tumpang-tindih terlihat dalam kewenangan penerbitan izin bagi perusahaan pengirim PMI. Kementerian Perdagangan dan Dinas Perdagangan bisa mengeluarkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) penempatan ABK oleh agen ABK. Sementara Kementerian Perhubungan bisa mengeluarkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal (SIUPPAK).

Adapun Kementerian Tenaga Kerja dapat mengeluarkan Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI). SIUP Penempatan ABK, SIUPPAK, dan SIP3MI sama-sama bisa dipakai  sebagai izin mengirim PMI sektor kelautan. ”Seharusnya cukup satu pintu saja,” kata Hariyanto.

 

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Landing craft unit (LCU) yang membawa WNI, awak kapal World Dream, mulai merapat ke dermaga Pulau Sebaru Kecil di Kepulauan Seribu, dengan latar belakang KRI Banda Aceh, Jumat (28/2/2020). Sebanyak 188 ABK itu akan diobservasi kesehatannya selama 14 hari di pulau tersebut terkait Covid-19.

Banyaknya lembaga yang bisa menerbitkan izin pengiriman PMI sektor kelautan menyulitkan pengawasan. Masalah itu menambah persoalan pengiriman PMI secara ilegal. Kemenlu, BP2MI, bahkan Migrant Care bolak-balik mendapatkan laporan PMI bermasalah karena berangkat secara ilegal.

Banyak PMI datang ke negara lain dengan visa pendatang dan karenanya secara hukum tidak boleh bekerja di negara asing. Kondisi itu membuat mereka tidak mungkin membuat kontrak kerja yang dilindungi hukum negara lain. Tanpa kontrak kerja, mereka nyaris tidak berbuat apa-apa.

”Indonesia bisa menekan itu bila meratifikasi konvensi ILO 188 dan mengesahkan RPP Perlindungan Pekerja Migran Sektor Kelautan,” kata Hariyanto.

Baca juga: Korona Memicu Gelombang Pemulangan Pekerja Migran

Direktur Perlindungan WNI  dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu RI Judha Nugraha membenarkan bahwa salah satu kendala perlindungan PMI sektor kelautan adalah ketidakjelasan data. Banyak PMI sektor kelautan, juga sektor lain, tidak pernah melapor ke perwakilan Indonesia. Mereka baru mengadu  saat ada masalah.

Kemenlu dan perwakilan RI di luar negeri biasanya fokus untuk repatriasi dan pembayaran upah PMI yang bermasalah. Jika sampai terjerat kasus hukum, perlindungan ditambah dengan pendampingan atas persetujuan yang bersangkutan.

Benny menyebut, masalah yang memicu pemberangkatan ilegal antara lain soal biaya. Pemerintah pernah mencoba mengatasinya dengan menyediakan kredit usaha rakyat (KUR) untuk membiayai pelatihan dan keberangkatan PMI. Ternyata, fasilitas itu malah disalahgunakan sindikat pengirim PMI ilegal. ”Mereka mengambil KUR lalu meminjamkan lagi ke PMI dengan bunga berkali lipat,” ujarnya.

Karena itu, lewat Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020, BP2MI membebaskan biaya penempatan untuk PMI sektor tertentu. PMI tidak dapat dibebani biaya penempatan berupa tiket keberangkatan, tiket pulang, visa kerja, legalisasi perjanjian kerja, pelatihan kerja, sertifikat kompetensi kerja, jasa perusahaan, penggantian paspor, surat keterangan catatan kepolisian, jaminan sosial PMI, serta pemeriksaan kesehatan dan psikologi di dalam negeri.

 

DOKUMENTASI KEMENTERIAN LUAR NEGERI RI

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Minggu (10/5/2020), menemui 14 warga negara Indonesia yang menjadi awak kapal di kapal China setelah para awak kapal itu tiba di Jakarta.

Pembebasan diberikan kepada PMI yang akan menjadi pengurus rumah tangga, pengasuh bayi, pengasuh lanjut lansia, juru masak, sopir keluarga, perawat taman, pengasuh anak, petugas kebersihan,  pekerja perkebunan, dan ABK perikanan.

Baca juga: Desa Harus Diberdayakan untuk Cegah Migran Ilegal

BP2MI juga menggandeng sejumlah lembaga untuk memberangkat sindikat pengiriman PMI ilegal. Sindikat itu melibatkan oknum aparat, sipil, dan militer.

”Gara-gara sindikat ini, banyak PMI tidak terdata dan sulit dilindungi. Negara rugi karena potensi remitansi hilang karena PMI ilegal kerap berujung pada upah yang tidak dibayar. Seharusnya upah dikirimkan kembali ke Indonesia,” tuturnya.

Hariyanto mengatakan, SBMI bolak-balik mengungkap data perusahaan yang terlibat pengiriman PMI secara ilegal.  Sayangnya, perusahaan-perusahaan itu, serta para pemilik dan pengelolanya, tidak dikenai hukuman maksimal.