Kementerian Kelautan dan Perikanan Perlu Fokus ke Perlindungan Nelayan

Pemerintah dinilai perlu berpihak pada perlindungan nelayan, pembudidaya ikan, dan pembudidaya garam di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung. Perlindungan termasuk untuk warga negara Indonesia di kapal asing.

Oleh
BM LUKITA GRAHADYARINI
4 Februari 2021 19:28 WIB·4 menit baca
 

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Perahu nelayan merapat di perkampungan nelayan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (13/11/2020), seusai melaut.

JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang belum berakhir mendorong perlunya keberpihakan anggaran pemerintah untuk program perlindungan nelayan, pembudidaya, dan pengolahan hasil perikanan agar mereka bertahan di masa sulit. Kementerian Kelautan dan Perikanan diminta melakukan langkah strategis dan tidak memotong anggaran yang bersentuhan dengan masyarakat.

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi, dari Fraksi Golkar, Kamis (4/2/2021). Pada 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan merencanakan penghematan anggaran sebesar Rp 157,65 miliar dari pagu Rp 6,65 triliun. Dengan demikian, pagu anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2021 menjadi Rp 6,49 triliun.

Dedi mengingatkan, pemotongan anggaran jangan sampai berdampak pada ketahanan pangan dan penumbuhan usaha kelautan dan perikanan. Tahun 2020, Komisi IV DPR mencatat total pemotongan anggaran Kementerian Kelautan Perikanan sebesar 1,2 triliun. Dengan pemotongan itu, pagu anggaran yang semula Rp 6,4 triliun turun jadi Rp 5,2 triliun.

Pemotongan anggaran itu dinilai sangat miris mengingat pagu anggaran Kementerian Kelautan dan Perikanan tidak sampai 1 persen dari APBN, tetapi masih dipotong akibat pandemi Covid-19. Padahal, kementerian ini dinilai menjadi salah satu ujung tombak ketahanan pangan Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 18 Tahun 2012 tentang Pangan.

 

KOMPAS

Perbandingan postur APBN 2020 dan APBN 2021.

”Seharusnya (anggaran) yang dipotong di atas Rp 10 triliun. (Anggaran Kementerian Kelautan Perikanan) Ini sudah kecil, dipotong lagi, dipotong lagi,” kata Dedi dalam Rapat Dengar Pendapat Eselon I Kementerian Kelautan dan Perikanan RI dengan Komisi IV DPR terkait Pendalaman Refocusing dan Realokasi Belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan RI Tahun Anggaran 2021, Kamis (4/2/2021).

Sekretaris Jenderal Kementerian Kelautan dan Perikanan Antam Novambar mengemukakan, penghematan anggaran di kementeriannya mencakup penyesuaian dan penundaan beberapa program di lingkup direktorat jenderal dan sekretariat jenderal. Di sektor perikanan tangkap, penghematan mencapai Rp 29,72 miliar yang mencakup penundaan pembangunan kapal pelat datar dan penyesuaian jumlah lokasi kampung nelayan.

Baca Juga: Serapan Anggaran Minim, Nelayan Terimpit

Di sektor perikanan budidaya, penghematan anggaran mencapai Rp 22,45 miliar, mencakup antara lain penundaan pembangunan pusat produksi benih dan induk di Jawa Barat. Adapun di Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran, penghematan mencapai Rp 14,6 milar, yakni terkait penundaan pembangunan empat pasar ikan dan dua sentra kuliner.

”Ada bangunan (pasar) yang memiliki fungsi sama dan belum operasional di calon lokasi pembangunan dan pemerintah daerah belum bisa menyediakan lahan yang pasti,” katanya.

 

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Bibit ikan nila yang disiapkan sebelum ditebar di kolam pembesaran, di Polaman, Kecamatan Mijen, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (28/7/2020). Tiga jenis usaha budidaya ikan air tawar yang banyak diterapkan adalah usaha pembenihan, pendederan, dan pembesaran.

Perlindungan

Dedi menyatakan, Komisi IV DPR meminta Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan langkah strategis dan keberpihakan anggaran dengan tidak melakukan pemotongan anggaran program bantuan yang bersentuhan dengan masyarakat. Langkah itu sebagai upaya membantu masyarakat kelautan dan perikanan serta menumbuhkan dan menyelamatkan ekonomi nasional.

Perlindungan terhadap pelaku usaha perikanan telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.

”Perlu transparansi keberpihakan anggaran terhadap program-program bantuan pemerinth yang sangat krusial di masa pandemi Covid-19 sehingga nelayan, petambak, pembudidaya, pengolahan dan pemasaran hasil perikanan, serta masyarakat pesisir dan pulau kecil dapat terbantu,” katanya.

Baca Juga: Nelayan Kecil Semakin Tertekan

Secara terpisah, Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Mohammad Abdi Suhufan menyatakan, Pemerintah Indonesia perlu segera meningkatkan upaya perlindungan awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Sepanjang tahun 2020, Indonesia banyak kehilangan nyawa awak kapal perikanan yang bekerja di kapal asing. Korban tersebut mayoritas bekerja di kapal ikan China yang melakukan operasi penangkapan ikan di perairan internasional atau penangkap ikan jarak jauh.

 

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Petugas kesehatan menggotong sebuah peti mati berisi jenazah seorang anak buah kapal, warga negara Indonesia, yang baru dipulangkan melalui Pelabuhan PT Bias Delta Pratama Layup Anchorage, Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, Rabu (30/12/2020).

Pihaknya mencatat 22 awak kapal perikanan Indonesia meninggal di kapal ikan berbendera China, 3 orang di antaranya hilang di tengah laut dan belum ditemukan. Mereka yang meninggal umumnya karena sakit, mengalami penyiksaan, kondisi kerja yang tidak layak, dan keterlambatan penanganan. Pihaknya juga menemukan indikasi praktik penyelundupan manusia terhadap awak kapal perikanan asal Indonesia.

Pada Mei 2020, seorang awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal China dipindahkan ke kapal nelayan Pakistan karena sakit. Korban akhirnya meninggal di kapal kecil nelayan di Karachi, Pakistan. ”Mereka yang sakit dan meninggal biasanya dipindahkan ke kapal lain karena kapal tersebut tetap melanjutkan operasi penangkapan ikan,” kata Abdi.

Peneliti DFW Indonesia, Muh Arifuddin, mengatakan, dengan banyaknya kasus dan korban yang berjatuhan, Pemerintah Indonesia belum melakukan aksi nyata untuk memperbaiki keadaan. ”Ego sektoral masih jadi masalah, tumpang-tindih aturan dan minimnya pengawasan. Dalam kondisi ini, Presiden Joko Widodo mesti turun tangan ikut menyelesaikan,” kata Arif.