Kebijakan Pemerintah
Mengawal Arah Transformasi Pendidikan
Reformasi pendidikan berawal dan berakhir pada guru. Karena itu kualitas guru memegang peranan penting. Perekrutan guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja maupun program guru penggerak menjadi jalan untuk itu.
Oleh LILIS ERFIANTI
Menarik membaca tulisan Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemedikbudristek Iwan Syahril yang termuat di media ini dengan judul ‘Antitesis Pendidikan’ (Kompas, 21/12/2021). Mengapa demikian penting untuk ditanggapi? Selain hampir seluruh isi tulisan itu merupakan bentuk pernyataan jujur pemerintah atas kondisi pendidikan Indonesia, pada sisi lain hal itu membuat daerah merasa berani lebih bersuara dan terbuka dimana selama ini terkesan ditahan.
Dahulu, guru jika terlalu kritis rentan terancam sanksi mutasi. Alhasil itu berdampak pada kondisi mereka yang lagi-lagi jatuh pada pilihan lebih baik memilih ‘jalur aman’ sekadar bertahan alih-alih mengajar ketimbang berinovasi. Sebab, bagaimanapun inovasi atau perubahan apapun tidak bisa ditempuh dengan cara-cara kovensional disertai argumentasi normatif.
Tidak kalah penting jika dicermati, Iwan Syahril lewat tulisannya pada dasarnya ingin memberikan provokasi terhadap pembaca lebih khusus seluruh pendidik di Indonesia demi terwujudnya transformasi pendidikan Tanah Air, meskipun masih ragu-ragu atau lantaran terbatasnya halaman koran. Meskipun demikian, penulis mengapresiasi kejujuran pemerintah, sebab tanpa itu rasanya sulit mewujudkan transformasi pendidikan Indonesia. Karena, yang berani bertransformasi selama ini kerap dianggap melawan. Apabila tetap bersikeras memaksa diri lebih berinovasi ujung akhirnya yang dijumpai minim apresiasi.
Baca juga: Wajah Pendidikan Indonesia di Era Normal Baru
Dengan demikian, keberanian pemerintah untuk merekrut satu juta guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) mulai tahun 2021 hendaknya bisa kita jadikan momentum untuk kebangkitan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia. Pasalnya, tercatat hingga tahun 2020 sekolah negeri kekurangan 1.020.921 guru aparatur sipil negara (ASN). Kekurangan ini akan diperparah dengan memperhitungkan jumlah guru yang pensiun sejumlah 291.898 hingga tahun 2024 (Kompas, 25/3/2021).
Tidak ayal apabila Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim memperkenalkan jargon dengan kata "penggerak" untuk mentransformasi pendidikan, mulai dari guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak. Asumsinya, berbagai macam gerakan ini akan mempercepat transformasi pendidikan. Sekadar bergerak tanpa tujuan jelas bisa menyesatkan. Apalagi kalau yang bergerak hanya elitenya.
Transformasi, menurut Nadiem, dimulai dari guru. Dari berbagai penjelasannya di media, sambutan, dan dialog di hadapan publik, yang dimaksud guru penggerak adalah pendidik yang memiliki kompetensi dan pengetahuan mahir pada bidang yang diampunya. Ia dapat membimbing dan melatih guru-guru lain. Termasuk menyangkut posisi kepala sekolah harus diangkat dari guru penggerak agar menjadi sekolah penggerak.
Yang dimaksud guru penggerak adalah pendidik yang memiliki kompetensi dan pengetahuan mahir pada bidang yang diampunya.
Memang miris membaca laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis pada 3 Desember 2019 menunjukkan skor membaca Indonesia ada di peringkat ke-72 dari 77 negara, skor matematika ada di peringkat ke-72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat ke-70 dari 78 negara. Hal ini berarti, masih ada permasalahan mendasar di tubuh pendidikan Indonesia, sehingga kehadiran para pendidik terutama mereka yang kelak naik status dari honorer ke guru PPPK dapat menggerakkan kualitas sekolah-sekolah di Indonesia pada keadaan yang lebih baik sangat ditunggu.
Tidak cukup menambah tenaga guru lewat PPPK, skor PISA yang terbilang rendah juga perlu diperbaiki melalui peningkatan kualitas layanan pendidikan secara bertahap dan simultan. Pemerintah dan masyarakat membutuhkan strategi yang pas sesuai dengan konteks dimana hal itu dimulai dari kualitas guru pengajar di sekolah melalui program yang terukur dan berkesinambungan. Dan, sebagian masalah itu dapat terjawab salah satunya melalui program strategis terbaru yang bernama sekolah penggerak.
Guru penggerak transformasi
Reformasi pendidikan harus berawal dan berakhir pada guru. Demikian dikatakan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim saat peluncuran secara virtual Merdeka Belajar Episode 5: Guru Penggerak, Jumat (3/7/2020), di Jakarta. Yang mana, itu dapat ditarik kesimpulan pemerintah menjadikan guru penggerak sebagai ujung tombak transformasi pendidikan. Sehingga, sudah semestinya keberadaan mereka ke depan perlu didukung sarana dan prasarana pendidikan serta politik yang berpihak pada pendidikan.
Kita semua tentu sangat berharap bahwa Program Sekolah Penggerak ini akan memberikan efek “multiplier” ke sekolah-sekolah di sekitarnya. Adanya efek ini, diharapkan akan bermuara pada percepatan peningkatan mutu pendidikan di daerah. Maka, sekolah penggerak yang diinisiasi pemerintah ini juga perlu didukung oleh masyarakat. Sebab, program sekolah penggerak mempunyai cita-cita menggerakkan komunitas pendidikan Tanah Air pada semua tingkat pendidikan, dasar, dan menengah.
Baca juga: Menajamkan Program Sekolah Penggerak
Guru menjadi kunci sukses reformasi sistem pendidikan melalui kebijakan merdeka belajar ini. Bukan sekadar guru PNS atau PPPK yang baik dan berkualitas, tetapi juga guru yang mempunyai kemauan untuk berinovasi melakukan perubahan dalam pendidikan agar tercipta pendidikan transformatif. Namun, memeriksa praktik pendidikan saat ini, salah satu hal utama yang masih dikuatkan adalah pembentukan keterampilan untuk mengakomodasi kebutuhan pasar kerja. Misal, ketika bicara pentingnya kemampuan critical thinking, maka hal tersebut ditujukan untuk menyiapkan anak didik memasuki dunia kerja.
Padahal, menurut Yudi Latif (2020) dalam Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan Aktualisasi Pendidikan Transformasi, wacana pengembangan sumber daya manusia yang paling penting adalah peningkatan kapabilitas yang merupakan bagian dari peningkatan kualitas hidup. Oleh karena itu, sudah selayaknya perlu ada reorientasi pendidikan dengan mengembalikannya ke garis pendidikan Ki Hajar Dewantara yang dikembangkan secara kontekstual dan lebih maju, bukan sekadar menyiapkan peserta didik sebagai sekrup industrialisasi ekonomi, tetapi merupakan proses belajar seutuhnya.
Reorientasi pendidikan
Adanya guru PPPK sekitar satu juta orang itu penulis optimistis fenomena keberhasilan pendidikan di Indonesia yang selama ini diragukan bahkan dianggap selalu jauh dari harapan perlahan akan terbentuk dan terwujud. Sebab, melalui guru penggerak ini secara tidak langsung akan mengikis ego-ego sektoral bidang pendidikan yang selama ini masih terasa berat sebelah. Tidak hanya itu, adanya ketimpangan jumlah sekolah berkualitas unggul di setiap provinsi bakal berakhir seiring datangnya para guru penggerak.
Inilah reorientasi pendidikan ala Ki Hajar Dewantara di Era 4.0. Latar belakang Mendikbudristek Nadiem Makarim yang lama menggeluti dunia teknologi juga merespons cepat atas minimnya media yang secara khusus memberi ruang bagi konten-konten edukatif mengenai kekayaan budaya Indonesia, baik dalam bentuk audio, visual, teks, maupun audiovisual dengan kemunculan Kanal Indonesiana TV. Di era kiwari, ketika segala sesuatu menuntut digitalisasi dan mesti ramah teknologi, kehadiran platform seperti Kanal Indonesiana TV tentu saja mengembuskan angin segar--jika bukan sebuah keharusan.
Baca juga: Disrupsi Digital Ubah Pembelajaran dan Pola Pikir Pendidik
Kenyataan itu, sekaligus menjawab sebagian kalangan yang mempertanyakan langkah apa yang telah dipersiapkan pemerintah menghadapi gelombang disrupsi dengan ancaman ‘daya sintas’. Melihat progres yang ada itu, tentu kita tidak ingin menunda lagi cita-cita Indonesia emas di 2024 mulai dirasakan sedari sekarang. Atas alasan itu menjadi tugas serta tanggungjawab kita bersama mengawal arah transformasi pendidikan Indonesia dan pasti kita juga sangat berbangga manakala melihat, membaca berita generasi bangsa Indonesia ke depan berprestasi di tingkat dunia melalui berbagai bidang yang digelutinya.
Lilis Erfianti, Guru di MTSN Kabupaten Semarang, Jawa Tengah
Editor: Yovita Arika