Kompas, 13-01-22, hal. 8

EKOSISTEM RISET

Kebebasan Akademik
Peneliti Tertekan
JAKARTA, KOMPAS — Kebebasan akademik peneliti ataupun
otonomi lembaga riset masih mendapat tekanan dari berbagai
pihak. Padahal, kebebasan akademik peneliti dan otonomi
kampus ataupun institusi riset amat penting untuk menjamin
hasil riset tidak disusupi aspek politis.
Anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia yang juga peng-
ajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang
Wiratraman, menyampaikan, kebebasan akademik merupakan
hak asasi manusia (HAM). Hal ini tertuang dalam sejumlah
dasar hukum, seperti Deklarasi Universal HAM 1948.
”Kebebasan akademik memerlukan otonomi institusi dalam
perguruan tinggi. Jadi, semua institusi akademik berhak atas
otonomi atau bebas dari campur tangan,” ujarnya dalam
webinar bertajuk ”Pentingnya Kebebasan Akademik Peneliti
dan Otonomi Lembaga Penelitian”, Rabu (12/1/2022).
Namun, kebebasan dan otonomi institusi akademik di
Indonesia mendapat tekanan dari sejumlah pihak. Dari kom-
pilasi oleh Herlambang, pada 2015-2018, ada 65 kasus tekanan
pada akademisi, seperti pemecatan, pemidanaan, dan ancam-
an pembunuhan. Tekanan meningkat pada 2018-2020 karena
mengkritik kebijakan pemerintah dan institusi mereka.
Sentralisasi
Selain itu, Herlambang mengkhawatirkan perkembangan
kebebasan akademik saat ini, khususnya peleburan sejumlah
lembaga penelitian ke Badan Riset dan Inovasi Nasional
(BRIN). Peleburan itu dikhawatirkan merusak ekosistem dan
kelembagaan riset melalui sentralisasi.
Setiap lembaga riset memiliki karakter dan strategi inovasi
beragam sehingga cara kerjanya tak bisa disamakan. Di-
perlukan mitigasi mempertahankan kebebasan akademik dan
integritas lembaga riset, di antaranya berkomunikasi dengan
pihak terkait.
”Pemerintah mesti memberi ruang mengembangkan riset
sesuai kebijakan.Hal yang tak boleh dilakukan adalah memati-
kan daya ekosistem riset saat hasil riset kontradiktif dengan
arah kebijakan pemerintah,” ucapnya.
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko menegaskan, peleburan
sejumlah lembaga riset ke BRIN tak akan mengganggu
independensi peneliti. Setelah melebur, para peneliti masih
melanjutkan risetnya, contohnya pengembangan vaksin Me-
rah Putih yang melibatkan Lembaga Eijkman dan pihak lain.
Anggota Dewan Pengarah BRIN, Marsudi Wahyu Kisworo,
menjamin para peneliti BRIN punya independensi dan bebas
meneliti sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 ten-
tang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(Kompas, 7/1/2022).
Petisi
PersoalanBRIN menyita perhatian sejumlah guru besar dan
akademisi yang tergabung dalam Aliansi Peduli Riset dan
Kemajuan Bangsa. Mereka antara lain, Azyumardi Azra, Didin
S Damanhuri, Agus Pakpahan, Satryo Soemantri Brodjo-
negoro, dan Franz Magnis-Suseno.
Sebanyak 8.219 tokoh akademisi dan warga menanda-
tangani petisi meminta Presiden dan Dewan Pengarah BRIN
mendengar aspirasi masyarakat terkait peleburan sejumlah
lembaga riset ke BRIN. Inisiator petisi berpendapat, BRIN
seharusnya hanya berfungsi sebagai lembaga pendana riset
dan pusat koordinasi inovasi ilmu pengetahuan dengan meng-
integrasikan lembaga riset dan penelitian. (MTK)