JAKARTA, KOMPAS — Materi Rancangan Undang-Undang tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR belum jelas arahnya. Sejumlah anggota Badan Legislasi juga baru mengetahui masuknya RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional 2022. RUU itu pun sebelumnya tidak masuk dalam daftar Prolegnas 2020-2024.

Dari 254 RUU dalam daftar Prolegnas jangka panjang 2020-2024, tidak ditemukan RUU Hak dan Kewajiban DPR. Tak hanya itu berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, RUU tersebut juga tak ditemukan dalam daftar 89 RUU yang awalnya akan diusulkan masuk Prolegnas tahun 2022.

RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR baru muncul dalam rapat kerja Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dengan agenda pengambilan keputusan tingkat pertama rancangan Prolegnas Prioritas tahun 2022, Senin (6/12/2021) malam. Saat itu, Baleg dan pemerintah menyepakati 40 RUU masuk daftar Prolegnas 2022, salah satunya RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR. Rancangan Prolegnas 2022 itu pun disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (7/12/2022).

.

Kendati sudah disahkan masuk daftar Prolegnas 2022, sejumlah anggota Baleg mengaku belum mengetahui adanya RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR.  Salah satunya Supriansa, anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar. Ia juga mengaku belum mengetahui apa materi UU tersebut.

”Kalau soal tugas, kewenangan, dan kewajiban anggota DPR kan sudah diatur dalam UU MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPRD, dan DPD). Materi RUU itu juga saya belum tahu dan belum ada pembahasan soal materi RUU tersebut,” katanya saat ditanyai mengenai RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR, Rabu (8/12/2021).

Anggota Baleg dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Bukhori Yusuf, juga belum bisa menjelaskan detail isi materi RUU tersebut. ”Sebaiknya ditanyakan saja kepada pengusulnya,” ujarnya.

Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, RUU itu akan mengatur lebih detail mengenai hak dan kewajiban anggota DPR dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Hal-hal teknis mengenai berapa kali rapat harus dihadiri anggota DPR dan kewajiban lainnya akan diatur di dalam RUU tersebut. Di samping itu, melalui RUU tersebut, DPR juga ingin menyeimbangkan antara pengaturan hak dan kewajiban anggota.

Kalau soal tugas, kewenangan, dan kewajiban anggota DPR <i>kan</i> sudah diatur dalam UU MD3 (Majelis Permusyawaratan Rakyat, DPR, DPRD, dan DPD). Materi RUU itu juga saya belum tahu dan belum ada pembahasan soal materi RUU tersebut.

Supratman mengatakan, RUU itu adalah usulan dari sejumlah fraksi. Baleg tidak dapat menolak usulan dari anggota dan dari fraksi. ”Justru karena itu (RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban) usulan, dan dianggap sesuatu hal yang urgen, maka Baleg tidak bisa menolak,” katanya (Kompas, 8/12/2021).

Soal RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR, anggota Baleg dari Fraksi Nasdem, Taufik Basari, juga mengaku baru mengetahui ada dalam Prolegnas Prioritas 2021. Sebab, Fraksi Nasdem lebih fokus pada pengusulan RUU lanjutan dari Prolegnas Prioritas 2021,  RUU Masyarakat Hukum Adat, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.

”Saya juga baru tahu ada RUU itu. Materinya apa juga saya belum tahu, jadi belum bisa menilai RUU itu mendesak atau tidak,” katanya.

Jika dilihat dari daftar Prolegnas Prioritas 2022, RUU tersebut adalah inisiatif dari Baleg DPR. Soal ini, menurut Taufik, kemungkinan penentuan masuk atau tidaknya RUU itu ada di ranah pimpinan Baleg DPR.

Membebani kerja legislasi

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Indonesia, Agil Oktaryal, mengatakan, RUU Pelaksanaan Hak dan Kewajiban DPR itu sebaiknya ditarik saja dari Prolegnas Prioritas 2022. RUU itu dinilai hanya akan makin membebani DPR dalam kerja-kerja legislasi. RUU itu bukan menjadi kebutuhan publik yang mendesak untuk dibahas segera di 2022.

”Kalau RUU itu sifatnya teknis dan internal, yakni mengatur anggota DPR saja, atau hak dan kewajbannya, seharusnya cukup di dalam peraturan internal saja. Sebab, level UU itu kan berlaku untuk semua orang. Sementara kalau hanya mengatur soal hak dan kewajiban anggota DPR, tentu substansinya tidak tepat diatur dalam UU lantaran sifatnya sangat teknis,” ujarnya.

Agil mengatakan, dalam asas pembentukan UU, masuknya RUU itu berpotensi melanggar asas kesesuaian muatan peraturan UU.  RUU itu juga dikhawatirkan hanya untuk memenuhi kepentingan anggota DPR saja dan tidak ada kepentingannya dengan hajat hidup masyarakat umum.

Masih banyak UU lain yang dibutuhkan oleh masyarakat, misalnya RUU Penanganan Bencana, penguatan UU Pemberantasan Tindak Korupsi, dan lainnya. DPR diharapkan mengutamakan legislasi yang memang menjadi kebutuhan publik.

”UU MD3 juga telah mengatur soal DPR. Memang pengaturannya bersama MPR, DPRD, dan DPD. Namun, kalau memang mau mengatur kelembagaan sendiri yang terpisah dari MD3, bisa juga. Tetapi tentu bukan hanya soal pelaksanaan hak dan kewajiban anggota DPR karena itu kan sifatnya teknis dan mengikat ke internal DPR,” katanya.

Agil mengatakan, tidak semua lembaga harus diatur dalam UU tersendiri. Sejumlah lembaga memang ada aturan khususnya, seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial. Namun, sampai saat ini Indonesia belum memiliki UU khusus yang mengatur soal lembaga presiden. Kendati demikian, bukan berarti kewenangan presiden itu tidak diatur dalam UU sebab kewenangan dan hak presiden telah banyak diatur di dalam berbagai UU.