Alih-alih membangun kota hijau dengan dukungan energi terbarukan, IKN Nusantara justru berpotensi membawa dampak buruk ekologi.

Oleh YOHANES MEGA HENDARTO

Ibu Kota Negara Nusantara diusung dengan model pembangunan kota hijau, disokong energi terbarukan, dan didukung teknologi yang canggih. Sebesar 80 persen lahan akan dibiarkan sebagai kawasan hutan. Pemerintah perlu menyiapkan strategi untuk mewujudkan ambisi kota hijau.

Sebuah video berdurasi dua menit di laman utama IKN Nusantara menampilkan sebuah tatanan kota yang ideal. Prinsip pertama IKN Nusantara yang turut dicantumkan di sana tertulis demikian, ”Mendesain Sesuai Kondisi Alam”.

Ada tiga hal yang menjadi bagian rencana, yakni lebih dari 75 persen kawasan hijau di IKN Nusantara, semua penduduk dapat mengakses ruang terbuka hijau dalam 10 menit, dan tiap bangunan menggunakan konstruksi ramah lingkungan.

Di bagian prinsip keempat IKN Nusantara juga tertulis tiga rencana kota dengan emisi karbon yang rendah. Disebutkan di sana, tiap instalasi energi baru terbarukan (EBT) akan memenuhi seluruh kebutuhan energi IKN Nusantara. Dua lainnya ialah 60 persen peningkatan efisiensi energi dalam bangunan umum dan net zero emission pada 2045.

Secara keseluruhan, kedelapan prinsip yang diusung dalam proyek IKN Nusantara memang sesuai dengan gambaran kota modern masa depan. Tiga di antaranya ialah memperhatikan ekologi, sumber energi terbarukan yang menopang pemanfaatan teknologi, dan ketahanan pangan (olahan ataupun dihasilkan sendiri). Hal ini sebelumnya juga disebut-sebut dalam Naskah Akademik UU IKN meski tidak dijelaskan soal rencana lanjutan untuk mencapainya.

Hal ini turut dikonfirmasi Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa. Ia menyatakan, hanya 20 persen dari 256.000 hektar lahan yang akan dikembangkan untuk proyek pembangunan. Sisanya, 80 persen, akan dibiarkan sebagai kawasan hutan.

Gambaran ideal kota ramah lingkungan ini mendatangkan tanggapan dari berbagai pihak. Salah satunya dari American Association for the Advancement of Science (AAAS) yang merilis opini terkait IKN Nusantara di lamannya. Dengan tajam, AAAS menyebutkan bahwa IKN Nusantara sekadar utopia dan tidak akan ”sehijau” kelihatannya.

Kalangan akademisi, begitu dituliskannya, memandang skeptis rencana pembangunan kota hijau tersebut karena pemerintah pun tidak menjelaskan tahapan rencana teknis untuk mencapainya. Kekhawatiran justru muncul karena alih-alih mencoba mewujudkan kota hijau modern, Indonesia hanya mendapatkan dampak buruk ekologi dari deforestasi lahan yang dilakukan untuk pembangunan.

Dampak ekologi bagi Pulau Kalimantan justru menjadi hal mutlak di depan mata. Salah satu dari lima pulau besar Indonesia ini memiliki kawasan hutan bakau pesisir, hutan tropis, rawa, pegunungan, serta menampung banyak spesies endemik dan langka. Sebelum adanya megaproyek pembangunan IKN Nusantara pun, keberadaan mereka telah terancam dengan adanya deforestasi lahan untuk industri tambang dan perkebunan sawit.

 

 

https://assetd.kompas.id/OXlcyM_C48sNUGoYSkjKSlWDd_w=/1024x3074/https://asset.kgnewsroom.com/photo/pre/2022/02/06/f0a8c199-5a47-424d-8c92-d8d5e4aa98cc_jpg.jpg

Deforestasi

Hingga kini, Indonesia masih berhadapan dengan masalah deforestasi lahan. Berdasarkan data BPS yang dirilis 10 Januari 2022, dalam kurun tiga tahun saja (2017-2020) Indonesia sudah kehilangan 1,02 juta hektar kawasan hutan. Secara khusus, Pulau Kalimantan yang dijadikan lokasi IKN Nusantara sudah kehilangan 318.600 hektar atau 31 persen dari total deforestasi selama tiga tahun tersebut.

Jika dirinci, Provinsi Kaltim dan Kaltara (BPS menggabungkan keduanya) menjadi dua wilayah yang paling besar mengalami deforestasi, yakni 145.400 hektar. Urutan kedua ialah Provinsi Kalbar dengan deforestasi 82.700 hektar. Kemudian diikuti oleh Provinsi Kalteng dan Kalsel, masing-masing 60.400 hektar dan 30.000 hektar.

Memang, jika data tersebut dilihat secara perbandingan, akan terlihat terjadi penurunan tren deforestasi. Misalnya, pada 2017, wilayah Kaltim dan Kaltara mengalami deforestasi 65.200 hektar, tahun 2020 tercatat deforestasi turun menjadi 10.700 hektar. Data deforestasi dari tren semacam ini dapat menjebak karena, secara empiris, kawasan hutan yang hilang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat tumbuh, bahkan menjalankan fungsi organismenya kembali.

Maka, penilaian Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK tentang penurunan laju deforestasi sebesar 75 persen dari 2019 hingga 2020 patut dikritisi. Data tersebut patut diapresiasi dalam kerangka langkah preventif dampak ekologi yang lebih luas. Namun, dari segi beban ekologi, data deforestasi yang sudah terakumulasi sejak tahun-tahun sebelumnya patut diwaspadai karena ancaman bencana alam yang menjadi konsekuensinya.

Salah satu dampak bencana dari deforestasi kawasan hutan Kalimantan ialah bencana banjir yang justru terjadi di lahan pembangunan calon IKN Nusantara. Pada 17 Desember 2021, banjir merendam sedikitnya 100 rumah di dua desa dan satu kelurahan di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Bencana banjir yang diikuti longsor di sejumlah titik tersebut terjadi karena hujan lebat yang kemudian memicu meluapnya air sungai.

Perlu diingat, lokasi IKN Nusantara yang terletak di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara memiliki jenis iklim tropis yang kaya akan hujan. Dalam setahun, persentase hari hujannya mencapai 40,8 persen dengan total curah hujan tahunan sebanyak 2.223 milimeter. Namun, bukan berarti wilayahnya memiliki ketersediaan air baku minum dan sanitasi yang mencukupi.

Kontrasnya, warga yang bermukim di sekitar wilayah calon IKN Nusantara mengalami kekurangan air baku untuk hidup sehari-hari, khususnya pada musim kemarau. Penelusuran Litbang Kompas pada akhir 2019 menunjukkan bahwa warga di sana krisis air baku setelah ekspansi perkebunan sawit tahun 2000-an di kawasan itu. Kualitas tanah yang menurun karena perkebunan sawit pun akhirnya menghilangkan lahan garapan lokal dan warga beralih menanam sawit.

Penyerapan air tanaman sawit memang tidak sebanyak tanaman lainnya, tetapi menyebabkan degradasi tanah. Pemanenan sawit dan pembukaan lahan penuh vegetasi menyebabkan pemadatan tanah. Akhirnya, air hujan mengalir di permukaan tanah dan tidak terserap sebagai air tanah.

Menghadapi situasi defisit air baku ini, warga mengandalkan air dari tandon dan tangki yang digunakan untuk mandi atau mencuci. Sumber air lainnya berasal dari embung dan mata air yang dipompa dan dimasukkan ke tangki atau tandon. Sementara untuk air minum, warga lebih memilih air minum kemasan atau air isi ulang.

Ekologi

Guna mengantisipasi krisis air bersih di lokasi IKN Nusantara, pemerintah berencana membangun 14 bendungan dan pengelolaan air sungai yang difungsikan sebagai sumber air bersih. Jika dihitung secara harian total dari ke-14 bendungan tersebut, ketersediaan air mencapai 3,67 miliar liter per hari. Jumlah tersebut mampu memenuhi kebutuhan 24,47 juta orang atau setara dengan empat kali proyeksi jumlah penduduk IKN Nusantara nantinya.

Masalah air baku mungkin dapat terjawab dengan didirikannya 14 bendungan tersebut, tapi bukan berarti megaproyek IKN Nusantara bebas dari tanggung jawab ekologi. Masalah lain, seperti banjir, longsor, hilangnya keanekaragaman hayati, dan emisi karbon akibat pembangunan, masih memerlukan beberapa langkah selanjutnya setelah belasan bendungan dibangun.

Mimpi kota hijau yang rendah emisi karbon tampaknya masih amat perlu diperjuangkan. Data BPS sejauh ini mencatat, bauran energi baru terbarukan Indonesia hanya menopang 11,5 persen dari keseluruhan energi nasional pada 2021. Angka tersebut masih jauh dibandingkan potensi energi baru terbarukan yang selama ini digembar-gemborkan di laman-laman lembaga pemerintahan.

Memiliki kota hijau modern yang didukung teknologi mutakhir merupakan mimpi luhur semua negara. Harapannya, implementasi sains dan teknologi dapat mempererat kembali hubungan manusia dan alam yang telah merenggang. Bagaimanapun, memelihara dan menyelamatkan lingkungan hidup berarti menghargai kemanusiaan.(LITBANG KOMPAS)