Jepang Percepat Izin Edar Obat Covid-19


TOKYO, SENIN — Pemerintah Je-
pang mempertimbangkan per-
cepatan izin edar dan izin
penggunaan tablet obat Co-
vid-19 yang dikeluarkan per-
usahaan farmasi Shionogi.
Pengobatan
memakai
obat-obatan oral dinilai seba-
gai perkembangan positif pe-
nanganan pandemi, di sam-
ping percepatan vaksinasi
massal. Organisasi Kesehatan
Dunia menargetkan 70 persen
penduduk global telah divak-
sinasi penuh pada pertengah-
an tahun 2022.
”Kalau izin ini diberikan pe-
merintah, kemungkinan pe-
kan depan (obat) sudah keluar.
Kami bisa menetapkan jadwal
pada Maret nanti untuk mem-
produksi 1 juta dosis. Pada
tahun fiskal berikutnya yang
dimulai April, kami bisa mem-
produksi 100 juta dosis,” kata
Direktur Utama Shionogi Isao
Teshirogi, di Tokyo, Jepang,
Senin (7/2/2022).
Tablet yang diproduksi oleh
Shionogi saat ini masih meng-
gunakan kode nama S-217622.
Sejauh ini, obat baru diujico-
bakan kepada pasien Covid-19
bergejala ringan dan tidak ber-
gejala. Setelah empat hari
mengonsumsi obat, tampak di
tubuh mereka terjadi penu-
runan jumlah virus korona ba-
ru sebanyak 63-80 persen.
Teshirogi mengungkapkan,
uji klinis secara global akan
dilakukan pada akhir Februari.
Selain itu, Shionogi juga hen-
dak memulai uji klinis terha-
dap kelompok pasien Covid-19
bergejala sedang. Belum ada
keterangan apabila mereka
akan menguji obat ini kepada
pasien bergejala berat, pasien
dengan komorbid, dan pasien
dengan penyakit yang menye-
rang kekebalan tubuh.
Aturan yang pelik
Dilansir dari surat kabar
Mainichi, peraturan pemberi-
an izin edar dan pakai obat di
Jepang cukup pelik. Khusus
obat-obatan produksi asing,
Pemerintah Jepang mau
memberi percepatan izin apa-
bila sudah ada bukti-bukti kli-
nis dari negara-negara besar,
misalnya Amerika Serikat dan
Uni Eropa, atau data kolektif
dari banyak negara kecil.
Namun, percepatan izin ti-
dak bisa diberikan pada obat
yang diproduksi di dalam ne-
geri. Oleh sebab itu, Pemerin-
tah Jepang bermaksud meng-
ubah aturan tersebut. Ran-
cangan aturan tengah dibahas
oleh Diet atau parlemen Je-
pang. Salah satu faktor yang
membuat pembahasan kom-
pleks, persepsi percepatan izin
ini adalah untuk obat-obatan
terkait Covid-19. Harus dipi-
kirkan pengaruhnya terhadap
obat-obatan penyakit lain.
Pada saat yang sama, Peme-
rintah Jepang telah memberi
izin untuk mengimpor obat
Covid-19 Molnupiravir buatan
Merck dan Paxlovid buatan
Pfizer. Permasalahannya, ka-
rena ini obat-obatan impor,
Jepang tidak bisa membeli da-
lam jumlah banyak. Pengada-
annya juga membutuhkan
waktu karena AS dan Eropa
sudah menetapkan pesanan
dalam partai besar.
Jepang merupakan negara
maju dan anggota dari tujuh
negara terkaya di dunia (G-7).
Akan tetapi, dari segi vaksi-
nasi, Jepang tertinggal diban-
dingkan rekan-rekan sesama
G-7. Secara skala, jumlah pen-
duduk Jepang yang sudah di-
vaksinasi Covid-19 lengkap
mencapai 80 persen.
Jumlah tersebut tidak me-
ngurangi penularan Covid-19.
Pada Minggu (6/2) dilaporkan
ada 90.000 kasus positif baru.
Sejak awal pandemi tahun
2020, Jepang telah mencatat
total 3,3 juta kasus positif dan
19.000 kematian. Pemerintah
pusat dan beberapa prefektur
masih mendiskusikan ke-
mungkinan pembatasan sosial
lagi. Jepang belum pernah me-
nerapkan karantina wilayah.
”Pemerintah akan terus
mengebut proses vaksinasi.
Saat ini, baru 5 persen pen-
duduk yang sudah disuntik do-
sis penguat. Kami menarget-
kan, pada akhir Februari ini
bisa disuntikkan total 1 juta
dosis,” tutur Perdana Menteri
Jepang Fumio Kishida 
Sama seperti pendahulu-
nya, Yoshihide Suga, Kishida
dinilai masyarakat Jepang ti-
dak becus menangani pande-
mi. Prosedur vaksinasi lambat
karena pemerintah seolah ti-
dak mumpuni mencari tempat
penyuntikan vaksin dan me-
ngumpulkan warga. Masyara-
kat menilai pemerintah ku-
rang berinisiatif jemput bola.
Obat-obatan
Covid-19
memberi harapan baru bagi
masyarakat terkait terapi pe-
mulihan ketika tertular. Mes-
kipun demikian, para pakar
kesehatan secara umum me-
nekankan bahwa vaksinasi te-
tap pertahanan pertama. Di
AS, pemberian obat-obatan
Covid-19 sangat dibatasi. Ada
tiga kelompok yang dipriori-
taskan, yaitu orang dengan pe-
nyakit yang mengurangi ke-
kebalan tubuh (immunocom-
promised), orang berusia 75
tahun ke atas yang tidak di-
vaksin, dan orang berusia 65
tahun ke atas yang tidak di-
vaksin serta memiliki penyakit
komorbid ataupun obesitas.
Dilansir dari NBC, studi il-
miah Paxlovid hanya memakai
sampel orang-orang yang tidak
divaksin karena alasan kese-
hatan. Tidak ada keterangan
Paxlovid bermanfaat atau jus-
tru kontraproduktif terhadap
orang yang divaksin. Ini mem-
buat pemerintah berhati-hati
dalam merekomendasikan pe-
makaiannya. (REUTERS/DNE)