Tabloidisasi Pemberitaan Media
Tanggal 4 November
2021, publik dikejutkan
oleh meninggalnya artis
Vanessa Angel dan
suami dalam kecelakaan
maut di jalan tol
Nganjuk, Jawa Timur.
Berhari-hari peristiwa ini menjadi
primadona pemberitaan media.
Berhari-hari pula peristiwa naas
itu mengalahkan isu-isu publik aktual
dalam ruang pemberitaan media. Tam-
pak sekali pers berpacu menambang
rating, klik, dan menggenjot page view
dari pemberitaan atas peristiwa itu.
Meninggalnya seorang artis terkenal
jelas layak diberitakan, apalagi sebuah
kecelakaan maut melatarbelakanginya.
Namun, apa iya pemberitaannya mesti
segencar dan seheboh itu? Apa benar
trafik dan page view mengalahkan per-
timbangan kualitas jurnalistik dan kela-
yakan publik? Apakah secara moral da-
pat dimaklumi ”jurnalisme selebritas”
menenggelamkan jurnalisme publik?
Kualitas dan kelayakan berita menjadi
persoalan dalam hal ini. Berita-berita
tentang kecelakaan maut Vannesa Angel
itu sesungguhnya serupa, tapi tak sama.
Sumber berita yang digunakan kurang
lebih sama, sudut pandang pemberitaan
mirip, aspek yang digali juga tidak jauh
berbeda. Kesamaan atau keserupaan ini
terjadi berulang-ulang, berhari-hari!
Alih-alih memberitakan peristiwa ke-
celakaan itu secara proporsional dan
menekankan relevansinya untuk kepen-
tingan publik, media cenderung meng-
omodifikasi dukacita orang dekat Va-
nessa dan rasa penasaran masyarakat.
Media seperti kurang peduli terhadap
perasaan keluarga korban dan terlalu
bersemangat mengejar trafik.
Disrupsi dalam angka
Tekanan disrupsi yang semakin deras
telah membuat media massa lebih ber-
orientasi jangka pendek. Mereka cende-
rung mengeksploitasitarget yang mudah
tercapai secara instan dan cepat (low
hanging fruits). Mereka terdorong lebih
mengejar kuantitas berita daripada kua-
litas berita, mengeksploitasi sensasi dan
popularitas daripada secara konsekuen
menerapkan prinsip jurnalisme publik.
Data eMarketer menunjukkan pada
periode 2019- 2023, belanja iklan digital
Indonesia tumbuh hampir dua kali lipat.
Belanja iklan media cetak, radio, dan
majalah cenderung stagnan, bahkan tu-
run. Belanja iklan televisi diperkirakan
tetap tumbuh. Data ini menegaskan me-
mang sedang terjadi pergeseran supre-
masi dari media konvensional ke media
digital. Media digital yang mana?
Struktur periklanan digital Indonesia
memberikan jawaban. Secara umum,
periklanan digital dibedakan jadi lima
jenis: iklan pencarian (search adverti-
sing), iklan media sosial (social media
advertising), iklan banner (banner ad-
vertising), iklan video (video advertising),
dan iklan baris (classifieds advertising).
Dalam peta belanja iklan digital In-
donesia 2020 yang disusun Statista, pro-
porsinya: iklan pencarian (38 persen/
559,7 juta dollar AS), iklan media sosial
(30 persen/443,9 juta dollar AS), iklan
banner (18 persen/275 juta dollar AS),
iklan video (11 persen/158,8 juta dollar
AS), iklan baris (3 persen/44,2 juta dollar
AS). Iklan pencarian, iklan medsos, dan
iklan video secara akumulatif mencapai
porsi 79 persen dari keseluruhan belanja
iklan digital Indonesia di 2020.
Melalui tiga area utama inilah plat-
form digital global menguasai periklanan
digital nasional. Menurut data Statco-
unter Mei 2021, pangsa pasar mesin
pencari Google di Indonesia 7,99 persen.
Jadi, bisa dipastikan belanja iklan penca-
rian Indonesia dikuasai Google. Pada
kluster iklan medsos, dengan memper-
hitungkan skala bisnis Facebook, Face-
book juga telah mendominasi belanja
iklan media sosial di Indonesia.
Menurut Statcounter, pangsa pasar
Facebook pada jagat medsos Indonesia
tahun 2021 mencapai 77,35 persen, di-
perkuat pangsa pasar Instagram sebesar
3,13 persen. Data eMarketer juga me-
nunjukkan penetrasi Youtube berada
pada proporsi 80 persen dari total pa-
paran konten video di Indonesia
2020-2021. Iklan video di Indonesia
sebagian besar diserapYoutube, yang tak
lain anak usaha Google.
Peluang bagi media massa Indonesia
untuk meraih kue iklan digital secara
realistis sesungguhnya tinggaltersisa pa-
da aras iklan banner dan iklan baris.
Namun, iklan banner dewasa ini didomi-
nasi skema programatik. Laporan Pub-
matic 2020 menunjukkan periklanan
programatik berkontribusi sekitar 75
persen dari total iklan banner di Indo-
nesia. Ini artinya, iklan banner yang
diperoleh media massa secara langsung
dari pengiklan (direct sales) hanya ting-
gal 25 persen dari keseluruhan belanja
iklan banner nasional Indonesia.
Periklanan programatik dapat dijelas-
kan sebagai sistem jual-beli inventori
iklan secara otomatis, daring, laten, dan
cepat yang difasilitasi perusahaan per-
antara, seperti DSP, SSP, Trading Desk,
Ad Exchange, dan Agency.
Dalamperiklananprogramatik,media
massa hanya memperoleh 26-39 persen
dari nilai transaksi iklan. Sisanya, 61-74
persen, dipungut oleh perusahaan per-
antara itu. Merekalah pengendali tek-
nologi perantara periklanan programa-
tik. Merekalah yang bernegosiasi dengan
pengiklan dan secara sepihak menen-
tukan nilai bagi-hasil
untuk media massa.
Mereka umumnya
juga merupakan
anak perusahaan Go-
ogle dan perusahaan platform global
lainnya.
Dengan struktur periklanan seperti di
atas, perusahaan platform global men-
dominasi belanja iklan digital secara
paripurna. Sekitar 70-80 persen belanja
iklan digital nasional Indonesia dikuasai
Google dan Facebook. Ribuan media
massa nasional dan lokal memperebut-
kan kue iklan yang tersisa.
”Shareability” menjadi paradigma
Bermain pada aras periklanan digital
sesungguhnya sama artinya bermain da-
lam irama permainan yang secara se-
pihak ditentukan platform digital. Maka
yang terjadi adalah ketergantungan me-
dia konvensional yang kian akut terha-
dap platform global sebagai pengendali
ekosistem distribusi konten dan per-
iklanan digital. Media mengejar page
view karena memang itulah ”hukum
besi” dalam ekosistem itu. Penentuan
berita mana yang akan disebarkan atau
difasilitasi proses monetisasinya oleh
platform digital senantiasa merujuk pa-
da parameter jumlah like, klik, comment,
share yang melekat pada berita itu. Ku-
alitas dan kelayakan secara jurnalistik
dinomorduakan. Di era search engine
optimization saat ini, berita akan dinilai
berdasarkan parameter shareability.
Parameter shareability inilah fondasi
dari mode periklanan programatik yang
dikembangkan platform digital. Bela-
kangan, iklan programatik terus meng-
alami pertumbuhan di tengah surutnya
jenis periklanan langsung. Persoalannya,
iklan programatik mendorong pengelola
media mengejar trafik sebanyak-ba-
nyaknya. Shareability menjadi paradig-
ma. Berita yang disajikan media siber
terutama dimaksudkan untuk mengha-
silkan sebesar mungkin klik, share, com-
ment, dan interaksi pembaca di sekitar
konten.
Istilah jurnalisme klikbait lahir dalam
konteks ini, merujuk pada tren me-
rebaknya judul berita yang bombastis,
sensasional, tak sesuai fakta yang tersaji
dalam batang tubuh berita. Judul berita
terutama sekali dimaksudkan sebagai
umpan untuk memancing klik pem-
baca.
Yang terjadi kemudian adalah tren
tabloidisasi ruang media seperti tecer-
min pada kasus Vanessa Angel. Berita
selebritas bisa berhari-hari mendomi-
nasi ruang media. Masalah-masalah
publik sering dibahas secara vulgar, sen-
sasional, atau menonjolkan hal-hal
kontroversial. Upaya me-
ngejar klik lebih dominan
dibandingkan
upaya
mendiskusikan solusi un-
tuk mengatasi masalah
bersama.
Semakin lazim ditemu-
kan pemberitaan media kurang
peduli pada kelayakan konten,
alih-alih lebih berfokus memfasilitasi
dorongan untuk mengerek trafik. Di
ruang redaksi pun, para wartawan mulai
berbagi peran dengan para content cre-
ator yang tugas utamanya membuat
konten-konten yang bisa menghadirkan
page views setinggi mungkin.
Kontribusi pendapatan dari iklan
programatik, jika dilihat dalam jangka
pendek, memang menguntungkan me-
dia. Bagi pengelola media, iklan progra-
matik seperti passive income. Tanpa ha-
rus bernegosiasi dengan pengiklan, tan-
pa repot menjaga kualitas pemberitaan,
iklan akan datang sendiri, sejauh trafik
website tinggi. Namun, dalam jangka
panjang, semestinya pengelola media sa-
dar, semakin besar pendapatan prog-
ramatik, semakin kecil kontrol pengelola
media terhadap bisnis yang mereka ja-
lankan. Bagaimana konten diproduksi,
seperti apa kualifikasinya, bagaimana
konten didistribusikan dan dimonetisasi
serba dikendalikan platform digital.
Semakin besar ketergantungan ter-
hadap iklan programatik, semakin jauh
media menyandarkan diri pada platform
digital. Ibaratnya perusahaan platform
digitallah yang pada akhirnya menen-
tukan nasib media massa. ”Dalam jangka
panjang, tren ketergantungan terhadap
iklan programatik adalah sebuah ke-
kalahan besar publisher dalam mengen-
dalikan bisnis mereka,” kata Dian Gemi-
ano, Ketua Umum Indonesia Digital
Association, dalam diskusi Dewan Pers,
”Membangun Model Media Massa yang
Berkelanjutan”, 4 November 2021.
Apa yang perlu dilakukan? Putus hu-
bungan sama sekali dengan platform
digital jelas bukan pilihan yang realistis.
Yang perlu dilakukan adalah bagaimana
industri media nasional membangun ke-
mandirian relatif terhadap platform di-
gital. Ketergantungan berlebihan ter-
hadap platform globaltidak hanya mem-
buat daya hidup media massa nasional
semakin melemah, tetapi juga berdam-
pak negatif terhadap kualitas jurnalisme
secara lebih luas. Tren tabloidisasi pem-
beritaan media seperti di atas meru-
pakan alarm bagi keadaban media massa
kita.