Ragam Varietas Padi Lokal di Indonesia
Jenis beras yang digunakan oleh warung makan atau restoran bisa menjadi penentu tersendiri apakah konsumen bakal singgah kembali atau tidak. Dan beras dari varietas lokal kini kian menjadi bintangnya.

Sejumlah varietas padi lokal masih menjadi primadona di sejumlah daerah. Mungkin cita rasa enak dan tekstur yang pas menjadi alasan mengapa beras varietas lokal masih diburu. Lebih dari itu, padi varietas lokal merupakan aset berharga sumber kekayaan hayati.

Bagi sebagian orang, kebiasaan menghirup uap nasi panas yang disajikan penjual bukanlah hal aneh. Ini menjadi cara untuk melatih indra penciuman apakah nasi yang digunakan berasal dari jenis yang mereka kenal. ”Wah, mentik wangi nih!” ”Ini mah aroma pandan wangi.” Selanjutnya, mulut dan lidah akan menjadi ’juri’ yang menilai tekstur nasi. Apakah cukup pulen atau pera saat dikunyah?


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO
Warg a Kampung Adat Ciptagelar bergotong royong menanam padi lokal di areal persawahan Dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (16/11/12). Benih padi lokal yang ditanam adalah salah satu warisan para leluhur mereka yang hingga kini masih tetap lestari. Padi varietas lokal kini semakin digemari kelas menengah, seperti Rojolele, Pandanwangi, Cempo Ireng, dan Bareh Solok.
Jenis beras yang digunakan oleh warung makan atau restoran bisa menjadi penentu tersendiri apakah konsumen bakal singgah kembali atau tidak. Kira-kira begini pernyataannya, ”Duh, jangan ke sana, nasinya tidak enak!”, ”Enggak bisa nambah nasi gratis pula.” Kalau sudah begitu, menu lauk atau sayur seenak apa pun yang disajikan jadi tidak menarik tanpa kehadiran nasi yang lezat. Nasi seolah menjadi pemersatu lauk, sayur, dan sambal di atas piring. Ya, nasi memang bisa sepenting itu.

Saat mengetik kata ’beras anak daro’ di laman pencarian situs jual-beli daring, akan muncul lebih dari lima penjual yang menawarkan beras tersebut dengan berbagai ukuran dan jenama. Sejumlah penjual mendeskripsikan produk yang dijual secara rinci pada kolom deskripsi produk. Hal ini cukup membantu pembeli yang baru pertama kali mencoba beras varietas lokal.


KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Beras Solok jenis cisokan, anak daro, dan junjung di lumbung padi milik warga di Paninggahan, Junjuang Siriah, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Selasa (23/1/2018).
Misalnya, salah satu penjual (toko MandaroKayo di Tokopedia) menuliskan deskripsi beras anak daro seharga Rp 98.500 dengan bobot 5 kilogram (kg) begini, ”Beras Padang Solok Jenis Anak Daro 100 % Asli!!! Ukuran kemasan: 5 kilogram (kg). Daerah asal: Solok, Padang-Sumatera Barat. Karakter beras: kecil-kecil, bulat, dan sedikit berkabut. Karakter nasi: mengembang, lembut, putih, dan tidak cepat basi. Cocok untuk: nasi goreng, lontong, ketupat, dan nasi uduk dan orang rantau”.

Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 01/Pert/SR.120/2/2006 tentang Syarat Penamaan dan Tata Cara Pendaftaran Varietas Tanaman, pengertian varietas lokal adalah varietas yang telah ada dan dibudidayakan secara turun-temurun oleh petani serta menjadi milik masyarakat dan dikuasai oleh negara. Pendaftarannya dilakukan oleh bupati/wali kota/gubernur yang bertindak untuk dan atas nama serta mewakili kepentingan masyarakat pemilik varietas lokal di wilayahnya untuk memberikan nama varietas lokal berdasarkan persyaratan penamaan.

 

 

Pada September 2007, padi varietas lokal anak daro telah terdaftar di Pusat Perlindungan Varietas Tanaman dan Perizinan Pertanian (PPVTPP) Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian. Langkah ini merupakan upaya untuk melindungi keberadaan varietas lokal agar tetap lestari seiring dengan berkembangnya inovasi varietas unggul baru. Dalam situs resmi PPVTPP, ada lebih dari 500 jenis padi varietas lokal yang terdaftar sepanjang tahun 2005-2021.

Berikut sejumlah nama varietas lokal yang terdaftar, antara lain pandan wangi asal Cianjur, siam saba (Banjar), mentik wangi susu (Magelang), pringkasap (Subang), gading ayu (Sleman), harum solok (Solok), kombong (Toraja Utara), pare wangi (Sumba Barat Daya), adan putih (Nunukan), padi barak cenana (Tabanan Bali), dan sigambiri putih (Sumatera Utara).

Beras Solok

Kompas/Heru Sri Kumoro
Nasi dari beras Solok jenis anak daro dihidangkan di warung makan Salero Kampuang di Kota Solok, Sumatera Barat, Senin (22/1/2018). Beras Solok memiliki tekstur berderai tetapi tidak keras.

Kompas/Heru Sri Kumoro
Petani dan warga makan bersama setelah mengikuti ritual tulak bala (tolak bala) di hamparan sawah Solok, Kota Solok, Rabu (24/1/2018). Ritual tulak bala dengan berjalan di pematang sawah dan saluran irigasi sembari mengagungkan nama Allah dan Nabi Muhammad ini merupakan wujud syukur dan harapan agar seluruh tanaman pagi terhindar dari penyakit dan hama sehingga hasil panen bagus.

Kompas/Heru Sri Kumoro
Petani menabur pupuk di area persawahan di Paninggahan, Junjuang Siriah, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, Selasa (23/1/2018). Solok dikenal sebagai daerah penghasil beras berkualitas dan dikenal tidak hanya bagi masyarakat Minang tetapi juga dari daerah lain.

Kompas/Lasti Kurnia
Beras Solok yang digunakan di restoran masakan khas Padang, Marco by Chef Marco di Jakarta.
Setiap varietas yang ditanam memiliki karakteristik khas yang menghasilkan cita rasa dan tekstur nasi berbeda. Rupanya sepiring nasi hangat yang tersaji di meja makan telah melalui perjalanan yang panjang. Padinya ditanam berbulan-bulan oleh para petani, dirawat sepenuh hati sampai siap dipanen, lalu berpindah dari satu lokasi ke tempat lain.

Dalam penelitian berjudul ”Karakterisasi Aroma dan Rasa Beberapa Varietas Beras Lokal Melalui Quantitative Descriptive Analysis Method” yang termuat dalam jurnal Informatika Pertanian Vol 22 Nomor 1 Tahun Juni 2013 dijelaskan, jika dibandingkan varietas unggul baru, beras lokal memiliki kelebihan tersendiri, yaitu rasa nasi yang enak, umumnya memiliki aroma yang harum, sesuai dengan kondisi lingkungan setempat, harga jual yang tinggi, serta relatif tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Kelemahannya adalah umur tanam yang lama atau lebih dari enam bulan, potensi hasil yang rendah, dan tingkat adaptasi lingkungan yang tidak stabil.


KOMPAS/PRIYOMBODO
Menjemur Bibit Padi Warsiah menjemur bibit padi hasil persilangan varietas lokal di Desa Kalensari, Kecamatan Widasari, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (18/2/14). Bibit padi tersebut akan diuji coba ditanam pada musim tanam mendatang. Bibit padi hasil persilangan petani setempat diakui lebih sesuai dengan karakter lahan mereka.
Karakteristik sensori beras yang diperhatikan oleh konsumen adalah aroma, rasa, dan kepulenan. Varietas beras lokal hampir memenuhi semua aspek yang dicari konsumen. Pada penelitian tersebut, peneliti membandingkan tujuh sampel varietas lokal, yakni si buyung asal Kalimantan Selatan, anak daro (Sumatera Barat), cicih merah (Bali), mandoti (Sulawesi Selatan), mentik wangi, bengawan solo, dan rojolele (Jawa Tengah).

Sampel tersebut diujikan pada panelis terlatih dengan sejumlah atribut penilaian, yakni aroma pandan, serealia, creamy, sweet, buttery, dan green, serta rasa manis, pahit, asin, dan gurih. Hasilnya, aroma dari sampel rojolele dan mandoti mempunyai kemiripan yang dicirikan oleh aroma pandan, serealia, buttery, dan green. Karakteristik aroma sweet dan creamy terdapat pada sampel cicih merah. Sementara sampel mentik wangi, bengawan solo, dan anak daro memiliki kemiripan sifat, tetapi tidak dicirikan oleh satu aroma yang khas.


HERU SRI KUMORO
Padi Roboh – Petani di Desa Truwet, Minggir, Sleman, DI Yogyakarta, Senin (12/7/2004), memanen padi jenis Menthik Wangi yang roboh akibat angin yang melanda areal sawah ini sekitar seminggu yang lalu. Walaupun tidak merusak hasil panen, tetapi robohnya batang padi menyulitkan petani dalam memanennya.
Rasa manis dan gurih dimiliki sampel cicih merah dan bengawan solo. Adapun rasa asin dan pahit terdapat pada mandoti. Empat varietas lainnya, yakni mentik wangi, si buyung, anak daro, dan rojolele, berada dalam satu kelompok, tetapi tidak dicirikan oleh satu atribut rasa yang khas.

Kearifan lokal

Padi menduduki kasta istimewa di tengah masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat Sunda, mereka sangat memuliakannya. Padi dilambangkan sebagai Nyai Pohaci atau Dewi Padi atau Dewi Sri yang lekat sekali dengan asal mula padi hingga pemberi kesuburan tanaman. Padi bukan hanya sekadar sumber pangan, melainkan juga menunjukkan solidaritas sosial di tengah masyarakat.

 

Salah satunya di Desa Sinarresmi, Sukabumi, Jawa Barat, yang masyarakatnya masih menggarap sawah secara tradisional. Mereka masih berpegang teguh pada peraturan adat. Bahkan, proses menanam padi hingga panen diikuti dengan rangkaian upacara atau ritual adat.

Penelitian berjudul ”Leuit Si Jimat: Wujud Solidaritas Sosial Masyarakat di Kasepuhan Sinarresmi” (2016), peneliti di Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat, Risa Nopianti, menyebutkan, sistem pertanian di Sinarresmi digarap secara tradisional yang didasarkan pada aturan adat sehingga penggunaan alat atau bahan-bahan kimia dalam pertanian dilarang. Mereka juga menanam benih padi varietas lokal yang dilakukan hanya satu kali dalam satu tahun. Selain untuk menjaga keberlangsungan varietas lokal, juga sebagai ketahanan pangan warga kasepuhan. Terbukti jenis padi varietas lokal mampu bertahan lama apabila disimpan di dalam leuit dibandingkan dengan jenis padi varietas unggulan.


KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
Ratusan siswa English First Indonesia dari sejumlah kota di Indonesia, Senin (25/6/2012) mengenal dan belajar langsung panen padi di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali sambil belajar tentang Lanskap Budaya Bali, Sistem Subak sebagai Manifestasi Tri Hita Karana yang sedang diusulkan sebagai warisan budaya Unesco.
Padi varietas lokal yang ditanam di suatu wilayah memiliki karakteristik yang menyesuaikan dengan daerah tersebut, yakni tanaman padi dapat tumbuh optimal jika ditanam di daerah itu dan produktivitasnya baik. Hasilnya kemungkinan akan berbeda jika ditanam di lokasi dengan kondisi sebaliknya.

Di Indonesia, budidaya tanaman padi diperkenalkan oleh masyarakat China, seperti dikatakan Prof Denys Lombard dalam buku Nusa Jawa: Silang Budaya Jaringan Asia (2005). Mereka mengajarkan teknik mengolah sawah menggunakan tenaga hewan dan alat-alat pertanian kepada masyarakat pribumi. Jenis padi baru juga diperkenalkan oleh mereka, yaitu padiejeree. 

Pada tahun 1611, di Jakarta, orang Belanda menemukan sebuah pecinan yang dihuni masyarakat China yang telah mapan. Mereka berfokus pada perdagangan beras dan pabrik arak (minuman fermentasi yang terbuat dari beras dan tebu). Pada saat itu, Belanda disebut kurang memperhatikan sektor pertanian. Hingga tahun 1740, mereka baru menyadari bahwa ternyata sektor tersebut mampu menyelamatkan krisis perekonomian.

Adan Krayan dan Mentik

Kompas/Danu Kusworo
Area persawahan di Long Midang, Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Kecamatan Krayan terkenal hingga Malaysia dan Brunei Darussalam karena varietas beras jenis Adan yang dihasilkan melalui pertanian organik, (27/07/2017)

Kompas/Harry Susilo
Padi adan krayan di Krayan, Nunukan, Kalimantan Utara.

Kompas/Danu Kusworo
Petani menyiapkan bibit padi Adan, satu-satunya jenis padi yang ditanam di Krayan, (27/07/2017).

Kompas/Iwan Setiyawan
Pekerja menyiapkan beras organik jenis mentik wangi untuk disortir sebelum dikemas di tempat produksi beras organik Padi Mulya di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Selasa (14/12/2010).

Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Parinem (47) memanen padi jenis mentik wangi di Desa Trihanggo, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta, Jumat (14/5/2010), yang roboh sebelum memasuki masa panen akibat terjangan angin kencang.

Kompas/Iwan Setiyawan
Pekerja menyortir kotoran dan bulir yang pecah pada beras organik jenis mentik wangi sebelum dikemas di tempat produksi beras organik Padi Mulya di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, Selasa (14/12/2010).

Kompas/Regina Rukmorini
Wartono (55) memperlihatkan gabah mentik wangi susu di gudang Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Permata Sari di Desa Tirtosari, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, Kamis (22/4/2010). Gabah ini dihasilkan dari sistem pertanian semi organik
Menurut Lombard, kemajuan teknologi dalam pengolahan pertanian dan pascapanen memang dimiliki China. Tahun 1750, China membuat sebuah alat penyosoh dengan tenaga dua atau tiga ekor lembu yang berkapasitas produksi 400-500 pon beras per hari. Tentu sangat efisien jika dibandingkan dengan lesung tradisional yang hanya mampu mengolah 100 pon beras. Semakin sedikit beras patahan, semakin tinggi pula harga yang ditawarkan.

Hal tersebut diperkuat dari bukti-bukti arkeologi yang ada, para ahli berkeyakinan bahwa padi untuk pertama kalinya ditanam dan menjadi tanaman budidaya di China, seperti tertulis dalam buku Perjalanan Panjang Tanaman Indonesia (2012). Penyebarannya melalui migrasi manusia yang membawa biji-biji padi, kemudian ditanam di lokasi mereka bermukim. Tanaman padi mudah untuk beradaptasi dengan lingkungan baru sehingga secara perlahan tumbuhannya mengalami perubahan sifat yang menyesuaikan dengan sekitarnya.

Teknologi

Di sejumlah daerah, varietas lokal masih diminati petani. Beberapa petani coba bereksperimen menyilangkan benih yang memiliki sifat unggul. Pengetahuan ini tidak datang tiba-tiba, tetapi didapat dari pengalaman sehari-hari di lapangan dan budaya turun-temurun yang diwariskan leluhur. Mereka juga memperkayanya dalam beragam pelatihan.

kompas

Dikutip dari arsip Kompas, para petani padi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, melakukan pemuliaan padi dengan menyilangkan varietas Ciherang dan Leci (varietas lokal). Pengetahuan tentang persilangan benih itu datang setelah pemerintah Desa Nunuk menggelar pelatihan pemulia padi sejak Juli 2019. Sebanyak 25 petani usia 40 tahun ke bawah yang tergabung dalam Kelompok Petani Pemulia Padi Nunuk dibekali pengetahuan pertanian organik dan cara mengendalikan hama penyakit.

Dengan menyilangkan Ciherang dan Leci yang batangnya kuat, diharapkan muncul varietas unggul. Benih itu membawa sifat kedua varietas, seperti tahan hama penyakit dan tidak mudah rebah. Namun, masih diperlukan delapan musim tanam atau empat tahun untuk menyeleksi ratusan bulir gabah hasil persilangan tersebut (Kompas, 14/10/2019).

Konon, jumlah padi varietas lokal yang ada di Indonesia mencapai ribuan. Sifat-sifat unggul yang dimiliki varietas lokal bisa digunakan oleh para pemulia tanaman untuk menghasilkan tanaman dengan sifat yang lebih baik. Selain keunggulan dari segi tanaman, diharapkan pula menghasilkan rasa dan kepulenan yang menyesuaikan dengan selera konsumen.


KOMPAS/AGUS SUSANTO
Sistem pengairan subak dan terasiring serta pupuk organik dari kotoran hewan diterapkan di Desa Jatiluwih, Penebel, Tabanan, Bali, Rabu (2/2/2011).
Sayangnya, ribuan varietas padi lokal Indonesia telah punah. Kepunahan ini sebagai akibat dari kebijakan revolusi hijau oleh rezim Orde Baru yang ketika itu berambisi meningkatkan swasembada beras dan semua rakyat untuk makan nasi sekalipun kelompok masyarakat yang sejatinya tak mengenal beras seperti di Papua. Kala itu petani dipaksa untuk menanam padi varietas unggul dan hibrida berbasis spesies Indika. Padahal, Indonesia kaya plasma nutfah padi lokal spesies Javanika, yang berpotensi untuk dikembangkan (Kompas, 15 September 2008). Kala itu, jika petani enggan menanam padi dari benih yang dikampanyekan pemerintah, petani akan diintimidasi tentara (ABRI), dianggap subversif, bahkan dituding komunis. Padi varietas lokal yang sudah ditanam bahkan dicabuti tentara. Kondisi ini yang mengakibatkan petani kehilangan hak atas benih, tergantung pada pupuk dan pestisida. Kondisi yang di masa kini baru disimpulkan sebagai praktik pertanian yang tak berkelanjutan.

Seiring perkembangan, teknologi benih melahirkan sejumlah varietas unggulan baru dari sejumlah penelitian. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Kementerian Pertanian telah menghasilkan sejumlah inovasi varietas unggul, yakni inbrida padi sawah irigasi (INPARI), hibrida padi (HIPA), inbrida padi gogo (INPAGO), dan inbrida padi rawa (INPARA).


KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Padi lokal dan padi jenis baru dijemur di lanskap persawahan Jatiluwih, (20/06/2016).
Sebelum varietas itu dirilis ke publik, BB Penelitian Tanaman Padi Kementan melakukan tahapan uji organoleptik (flavor) pada beras tersebut. Evaluasi sensori produk pangan yang dilakukan antara lain uji skoring untuk menilai warna, kilap, aroma, dan kepulenan nasi. Sementara uji hedonik (kesukaan) untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terkait kepulenan, aroma, dan rasa nasi.

Menurut peneliti pascapanen di BB Penelitian Tanaman Padi Kementan, Zahara Mardiah, hasil evaluasi sensoris ini juga akan menentukan preferensi benih tersebut dipasarkan. Sebab, lanjut Zahara, setiap daerah memiliki tingkat kesukaan rasa dan fisik pada beras yang berbeda. Masyarakat di luar Jawa, terutama di Sumatera Barat dan beberapa daerah di Sulawesi, cenderung menyukai nasi bertekstur pera, sedangkan di Jawa menyukai nasi yang pulen.