https://regional.kompas.com/read/2022/02/03/133354078/sekitar-8-hektar-mangrove-di-nunukan-diduga-dibabat-oknum-pengusaha-terjadi

Sekitar 8 Hektar Mangrove di Nunukan Diduga Dibabat Oknum Pengusaha, Terjadi sejak 2019

 

Kompas.com - 03/02/2022, 13:33 WIB


Penulis Kontributor Nunukan, Ahmad Dzulviqor | Editor Ardi Priyatno Utomo NUNUKAN, KOMPAS.com – Sekitar 8 hektar tanaman bakau diduga dibabat habis seorang oknum pengusaha di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Lahan tersebut kemudian ditanami kelapa pandan untuk kebutuhan bisnis. Namun tidak pernah terdengar adanya penindakan atau respons dari pemerintah daerah, ataupun instansi keamanan, sebagai tanggapan atas kerusakan lingkungan yang terjadi. "Kegiatan pembabatan mangrove itu terjadi mulai 2019. Saat ini saya temukan lebih kurang delapan hektar sudah menjadi lahan kelapa pandan," ujar Sekretaris LSM Pancasila Jiwaku (Panjiku), Haris Arlek menyesalkan, Rabu (2/2/2022). 

Dari penelusuran Haris, oknum pengusaha dimaksud mengeklaim kepemilikan di kawasan mangrove yang ada di RT 08, Desa Binusan. Atas nama pribadi, oknum pengusaha tersebut mencoba mengubah lahan hutan bakau menjadi lahan komersil. Menurutnya, pengakuan itu adalah sebuah kejanggalan. Karena kawasan pesisir pantai tidak ada izin kepemilikan, apalagi di sana tumbuh tanaman mangrove demikian lebatnya. "Ini perusakan lingkungan. Sudah saya coba laporkan secara lisan ke DLH Nunukan, tapi tidak pernah ada respons,’’kata Haris. 

Haris mengaku miris atas peristiwa ini, jika dibandingkan dengan program Presiden RI Joko Widodo yang ingin menjadikan Kaltara sebagai wilayah mangrove terbesar di dunia, dengan memprogramkan menanam 600.000 batang mangrove, kondisi yang terjadi di Nunukan sangat kontras. Indikasi pembiaran oleh stake holder di Nunukan tentu harus disorot tajam. Terlebih lagi, kasus penebangan magrove berimplikasi pada hukum pidana. 

Haris menegaskan, penebangan mangrove memiliki konsekuensi berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.


Di antaranya diatur larangan penebangan pohon di wilayah 130 kali jarak pasang laut terendah dan pasang laut tertinggi. "Selain itu larangan pembabatan pohon atau mangrove di pinggir laut tertuang dalam pasal 50 Undang-Undang Kehutanan, masalah pidananya ada pada pasal 78 dengan ancaman 10 tahun penjara dan denda Rp 5 miliar," tegasnya. 

Masih kata Haris, indikasi pembiaran ini seharusnya tidak terjadi. Meski para stake holder di Nunukan mengacu pada nihilnya kewenangan pengawasan dan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) mereka karena sudah diambil alih provinsi, setidaknya ada koordinasi dan pemetaan sebagai bahan rujukan dan laporan. 

"Kita yang merasakan dampaknya. Jangan main main dengan perusakan mangrove, itu buka sepele. Kalau toh tidak memiliki kewenangan lagi, mengingatkan dan meminta provinsi turun kan bisa? Gak perlu alasan kewenangan sementara kerusakan di depan mata demikian massif tanpa penindakan," kata dia geram. 

Pengalihan kewenangan menjadi alasan dugaan perusakan Mangrove tanpa solusi 
Kepala UPT KPH Nunukan, Roy Leonard juga mengamini terjadinya kerusakan mangrove di wilayah hutan bakau Desa Binusan. Ia juga tidak membantah, kewenangan Dinas Kehutanan yang dikebiri, membuat ruang gerak terbatas. Alhasil, perusakan kawasan hutan atau tanaman yang dilindungi terus terjadi di Kabupaten Nunukan. 

"Masalah kewenangan masih kabur, sementara KPH diberi tugas wilayah kawasan hutan. Boleh melarang, tapi secara hitam di atas putih tidak bisa. Bukan artinya cuci tangan, tapi ini permasalahan kompleks dan butuh penanganan komprehensif dari banyak pihak," kata dia. 

Roy memastikan, kawasan bakau yang rusak tersebut ada di lahan dengan status Areal Penggunaan Lain (APL), bukan di kawasan Hutan Lindung Pulau Nunukan (HLPN). Artinya, kewenangan lebih menitikberatkan pada DLH, namun bisa jadi berbenturan dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kalimantan Utara. 

Akibat pengalihan kewenangan, juga membuat kondisi HLPN hanya tersisa 10 persennya saja dari total luas lahan 2.800 hektar.

Roy menjelaskan, UPT KPH Nunukan memiliki tugas di 3 wilayah, masing-masing di unit 4 di wilayah Nunukan, unit 3 di wilayah Kecamatan Sembakung, dan unit 1 ada di dataran tinggi Krayan, dengan luas kawasan hutan kurang lebih 600.000 hektar Dia juga mengakui, kerusakan mangrove memiliki dampak mengerikan terhadap ekosistem. 

Mengakibatkan efek rumah kaca yang memengaruhi perubahan iklim dan mengakibatkan bencana alam. Kemudian mengancam eksistensi benih benur, dan menimbulkan abrasi pantai. Namun demikian, kewenangan yang dikebiri, membuat mereka sama sekali tidak berdaya. 

"Butuh kolaborasi dengan banyak pihak, kalau sendiri kami tidak kuat dan tentu akan berbenturan kewenangannya dengan Dinas Kelautan dan Perikanan. Jadi lebih pada koordinasi dan synergy semua pihak, termasuk instansi keamanan. Kita juga akan segera koordinasi dengan Sekda membahas masalah ini," kata Roy.

Senada dengan penjelasan Roy, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Nunukan Emanuel Payong Sabon, juga mengaku tidak berdaya atas kondisi yang terjadi. "Kembali kepada kewenangan yang dikebiri. 

Kita tidak bisa bertindak tanpa dasar hukum yang jelas, yang ada nanti malah disalahkan. Jadi ketika semua kewenangan ditarik, pengawasan melekat ke pemilik kewenangan," ujar dia. Emanuel juga mengakui, masifnya kerusakan mangrove yang terjadi. 

Ia hanya meminta para aktifis lingkungan di Nunukan untuk melaporkan peristiwa tersebut sebagai dasar laporan dan penindakan. "Kita bergerak kalau ada laporan dari masyarakat. Kalau tidak ada, untuk pemetaan dan peninjauan bahkan kami tidak bisa. Jadi benar benar lumpuh kami," kilahnya.