Membenahi Kebijakan Pupuk Nasional
Dwi Andreas Santosa
Kepala Biotech Center IPB University dan Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia
Membenahi Kebijakan
Pupuk Nasional

K_02_02_22_h.6

Pupuk merupakan
komponen teramat pen-
ting dalam budidaya dan
pembangunan perta-
nian. Tanpa pupuk, pe-
tani hanya akan mampu
mencukupi kebutuhan
pangan untuk diri
mereka sendiri dan
pangan menjadi tidak
terjangkau komunitas di
luar petani.
Meski proporsi komponen pupuk
relatif kecilterhadap total biaya
usaha tani, yaitu hanya 9-10
persen untuk padi (BPS 2018) dan 15-20
persen untuk jagung hibrida, pupuk me-
rupakan komponen esensial yang me-
nentukan tingkat produktivitas tanam-
an. Penurunan penggunaan pupuk da-
lam batas tertentu akan menurunkan
produksi dan demikian pula sebaliknya.
Subsidi harga pupuk sudah dilakukan
pemerintah sejak 1969, periode yang
teramat panjang untuk sebuah kebijak-
an. Kebijakan ini bertujuan untuk me-
nyediakan pupuk dengan harga terjang-
kau oleh petani dan diharapkan mampu
meningkatkan produksi dan pendapatan
petani. Subsidi yang mirip juga dilaku-
kan di beberapa negara di Asia Selatan,
Asia Tenggara, dan Afrika dari tahun
1960-an hingga 1980-an.
Kebijakan subsidi harga pupuk di-
tempuh berdasarkan pertimbangan pe-
makaian pupuk sintetis yang sangat ren-
dah, pasar pupuk yang kecil yang menye-
babkan biaya logistik dan harga pupuk
yang tinggi, serta dominannya petani
miskin berskala kecil yang enggan meng-
ambil risiko dengan membeli dan meng-
aplikasikan pupuk sintetis.
Sebagai contoh di Sub-Sahara Afrika
yang memiliki tingkat produksi per-
tanian yang rendah dan sering dilanda
kelaparan, pemakaian pupuk sintetis pa-
da periode 2006-2008 hanya 7,1 kilo-
gram/hektar, jauh lebih rendah diban-
dingkan dengan Asia Selatan (129,4 ki-
logram/hektar), Asia Timur dan Tengga-
ra (109,6 kilogram/hektar), dan Amerika
Latin
(104,8
kilogram/hektar)
(FAOSTAT 2010).
Di Indonesia, apabila dihitung dari
volume pupuk bersubsidi yang sebagian
besar masuk ke petani padi, pemakaian
pupuk di 2021 sudah mencapai 100,2
kilogram/hektar setiap musim tanam.
Namun, dalam kenyataannya pupuk sin-
tetis yang digunakan petani padi jauh
melampaui angka itu, dalam kisaran
260-500 kilogram/hektar per musim ta-
nam dengan urea menduduki porsi ter-
besar, 65-68 persen.
Anggaran subsidi pupuk di Indonesia
mengalami peningkatan tajam, dari Rp
13,96 triliun (2012) untuk 8,81 juta ton
pupuk melonjak menjadi Rp 34,24 tri-
liun (2020) untuk 10,52 juta ton pupuk
dan menurun menjadi Rp 29,06 triliun
(2021) dan Rp 25,28 triliun (2022).
Lalu, apakah peningkatan anggaran
subsidi pupuk ada pengaruhnya ter-
hadap produksi padi? Jawabannya ter-
nyata tidak. Produksi padi pada 2012
mencapai 57,77 juta ton gabah kering
giling (GKG) (DA Santosa, 2022, dari
Citra Satelit dan sumber Internasional),
tetapi pada 2020 justru menurun men-
jadi 54,65 juta ton GKG (BPS 2021).
Kebijakan subsidi pupuk
Subsidi pupuk akan efektif apabila
pasar tidak bekerja dengan baik atau
mengalami kegagalan pasar. Petani me-
makai pupuk jauh dari optimal karena
petani tidak memahami keuntungan
yang akan didapatkan, dan/atau mereka
tidak mampu membeli pupuk atau pu-
puk tidak tersedia secara fisik.
Dalam kondisi seperti itu, industri
pupuk sebagian besar tidak berkembang,
pemasok pupuk juga tidak mampu men-
capai skala ekonomi (economic of scale)
untuk mengurangi biaya transportasi
yang tinggi. Subsidi pupuk akan mem-
bantu meningkatkan produksi pertanian
dan menjadi titik awal pengembangan
pasar dengan meningkatkan permintaan
input dalam skala besar yang akan me-
nurunkan harga pupuk. Dalam kasus
seperti itu, subsidi pupuk secara ekono-
mi terjustifikasi.
Subsidi pupuk sudah barang tentu
tidak bisa berlangsung selamanya.Model
dari negara-negara yang tergabung da-
lam Organisasi untuk Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD) meng-
indikasikan bahwa subsidi merupakan
cara yang paling tidak efisien untuk
mentransfer pendapatan ke rumah tang-
ga pertanian. Para ahli mengindikasikan
bahwa selain deadweight loss yang ter-
kait dengan berbagai subsidi, subsidi
pupuk merupakan kebijakan fiskal yang
sangat tidak berkelanjutan karena biaya
finansial dan administrasi yang besar.
Di negara-negara maju tak ada kebi-
jakan pupuk bersubsidi karena akan
mendistorsi pasar dan harga serta tidak
efisien. Subsidi pupuk juga mendorong
pemakaian pupuk berlebihan dan tak
seimbang yang berdampak negatif ter-
hadap lingkungan. Di beberapa negara,
pemakaian pupuk sintetis justru dikenai
pajak. Subsidi pupuk juga menghambat
upaya-upaya lain, misalnya pengem-
bangan pupuk hayati dan organik untuk
meningkatkan efisiensi pemakaian pu-
puk dan produktivitas tanaman.
Selain itu, disparitas harga yang tinggi
antara pupuk bersubsidi dan nonsubsidi
akan menciptakan perilaku pemburu
rente, apalagi ketika harga pupuk dunia
melonjak tinggi. Sebagai contoh, dispa-
ritas harga antara urea bersubsidi dan
nonsubsidi rata-rata selama ini men-
capai Rp 3.450. Saat ini, ketika harga
dunia urea dan pupuk berbasis nitrogen
lainnya melambung tinggi, disparitas
harga berkisar Rp 9.000-Rp 10.000 per
kilogram, perbedaan harga yang sangat
menggiurkan bagi sebagian orang.
Pemburu rente
Program subsidi pupuk yang sudah
berjalan sedemikian lama, yakni selama
53 tahun, menciptakan para pemburu
rente yang berusaha mendapatkan man-
faat dari kebijakan ini dengan masuk ke
semua lini, berjejaring, dan semakin
mengakar kuat.
Badan Kebijakan Fiskal Kementerian
Keuangan mencatat berbagai hal, ter-
masuk pencampuran pupuk bersubsidi
dan nonsubsidi, penyebaran isu kelang-
kaan pupuk yang menyebabkan harga
pupuk meningkat, penimbunan pupuk,
dan penggantian kemasan pupuk ber-
subsidi menjadi nonsubsidi.
Di banyak negara yang memiliki ke-
bijakan subsidi pupuk, banyak pihak
bermain untuk memperoleh keuntung-
an, baik secara personal maupun politik.
Mereka mendapatkan kesempatan me-
mantapkan dan menjaga dukungan elek-
toral dan politikal melalui jaringan kli-
entelistik.Perilaku tersebut berjalan dari
sejak penetapan anggaran, alokasi pu-
puk, hingga distribusinya ke petani.
Di beberapa negara, pupuk subsidi
sengaja diarahkan kepada penerima de-
ngan suara politik lebih besar, terlepas
dari tingkat kemiskinan relatif pihak
penerima. Selain itu, mekanisme subsidi
pupuk juga melemahkan persaingan dan
efisiensi dalam pemberian dan peng-
gunaan input produksi.
Berbagai pola kemudian dikembang-
kan, dan ini dapat membatasi akses
penerima manfaat ke pupuk bersubsidi
kemudian dikembangkan, dan memung-
kinkan pembayaran/tips untuk peme-
gang kendali distribusi pupuk, kebo-
coran pupuk dalam bentuk pengalihan
penerima manfaat, pengalihan jenis,
pengalihan pupuk bersubsidi lintas wi-
layah, bahkan negara.
Ketimpangan penerima manfaat pu-
puk bersubsidi juga terjadi. Semakin luas
lahan yang dimiliki, semakin besar men-
dapatkan manfaat dari program pupuk
bersubsidi. Sebanyak 34 persen rumah
tangga tani dengan luas kepemilikan
lahan 0,5-2,0 hektar memperoleh 69
persen subsidi pupuk, sebaliknya 66 per-
sen petani berlahan sempit hanya mem-
peroleh 31 persen manfaat dari program
ini (diolah dari SUTAS, 2018). Petani
organik bahkan tak dapat manfaat sama
sekali dari kebijakan ini.
Pengalihan subsidi pupuk
Beberapa penelitian menunjukkan
sebagian besar subsidi pupuk diberikan
untuk industri pupuk. Hasil marginal
dari pengeluaran pemerintah untuk sub-
sidi pupuk lebih rendah dibandingkan
sektor lainnya. Pengembalian investasi
melalui program subsidi pupuk hanya
0,53 jauh lebih rendah dibandingkan
penelitian dan pengembangan pertanian
(6,9), jalan perdesaan (3,2), pendidikan
perdesaan (1,5), dan irigasi (1,4) (Druilhe
dan Barreiro-Hurle, FAO 2012).
Berbagai upaya juga sudah dilakukan
untuk perbaikan sistem subsidi pupuk.
Pemerintah mengembangkan enam
prinsip dasar untuk perbaikan pupuk
bersubsidi dalam upaya meningkatkan
produksi pertanian Indonesia, yaitu ke-
tepatan jumlah, jenis, waktu, tempat,
kualitas, dan harga. Dari berbagai kajian
dan kenyataan di lapangan, enam in-
dikator tersebut sulit tercapai. Ketidak-
tercapaian enam indikator tersebut me-
nyebabkan kebijakan pupuk bersubsidi
dikategorikan sebagai tidak efektif.
Di beberapa negara lainnya dikem-
bangkan model yang dikenal dengan
SMART subsidies, yaitu, pertama, spe-
cific. Subsidi yang ditargetkan khusus
untuk petani yang tidak mampu atau
tidak mau mengakses input yang harus
mereka beli atau subsidi diberikan di
wilayah di mana peningkatan penggu-
naan pupuk berkontribusi besar untuk
peningkatan hasil.
Kedua, measurable, yaitu dampak ke-
bijakan pupuk bersubsidi dapat diukur.
Ketiga, achievable, yakni tujuan dari
subsidi pupuk dapat tercapai.
Keempat, results yang merujuk pada
orientasi hasil.
Terakhir, kelima, timely, yakni durasi
implementasi subsidi pupuk yang tepat
waktu. Meski berbagai upaya telah dilakukan,
manfaat yang diperoleh dari kebijakan
pupuk bersubsidi lebih rendah diban-
dingkan biayanya. Berdasarkan kajian
IPB, subsidi pupuk pada 2008 mampu
meningkatkan nilai tambah sebesar Rp
5,2 triliun, tetapi biaya subsidi mencapai
Rp 17,5 triliun (IPB, 2010).
KajianBank Dunia juga menghasilkan
hasil yang mirip, nilai tambah yang di-
peroleh dari subsidi pupukRp 8,3 triliun,
tetapi hasil itu diperoleh dari nilai sub-
sidi sebesar Rp 15,2 triliun. Dengan
demikian, kebijakan subsidi pupuk se-
cara ekonomi tidak efisien.
Di Sri Lanka, efisiensi program sub-
sidi pupuk hanya berkisar 42 persen
hingga 71 persen atau dalam arti lain, 29
persen hingga 58 persen dana yang se-
harusnya menjadi hak penerima man-
faat (petani) menjadi hilang. Berdasar-
kan hasil kajian untuk Indonesia, pe-
nyelewengan dan kebocoran pupuk ber-
subsidi mencapai minimum 20 persen,
atau dalam lima tahun terakhir iniRp 6,4
triliun uang yang menjadi hak petani
berpindah tangan setiap tahunnya.
Dengan demikian, perlu paradigma
baru dalam kebijakan subsidi pupuk
dengan mengalihkan subsidi input men-
jadi transfer langsung untuk modal ta-
nam dan insentif produksi. Insentif pro-
duksi dapat ditempuh lewat program
after-sold direct payment melalui pem-
bayaran langsung setelah panen seba-
gaimana kesimpulan Rembug Nasional
2017 Bidang Pangan. Melalui program
ini, anggaran Rp 32 triliun (rata-rata
subsidi pupuk lima tahun terakhir) akan
diterima petani Rp 32 triliun juga.
Selain itu, melalui insentif produksi,
petani akan tergerak untuk mening-
katkan produksi karena semakin tinggi
produksi mereka, semakin besar insentif
yang mereka terima. Besaran subsidi
langsung dan dampak ikutannya akan
menggerakkan perekonomian di perde-
saan dan berpotensi meningkatkan ke-
sejahteraan petani. Petani sejahtera, ma-
ka sejahteralah kita.