Dua Bulan Berlalu, DPR Tak Kunjung Bahas Revisi UU ITE

Komisi I DPR belum juga mendapat penugasan untuk membahas revisi UU ITE. Padahal, pimpinan DPR telah menerima surat presiden mengenai usulan pembahasan RUU ITE pada 16 Desember 2021 lalu.

 

JAKARTA, KOMPAS — Kendati sudah melewati satu masa persidangan, Dewan Perwakilan Rakyat belum juga menindaklanjuti surat presiden mengenai usulan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Hingga Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022 berakhir pada 18 Februari lalu, RUU ITE usulan pemerintah tak kunjung dibahas. Padahal, selain mendesak, usulan pembahasan RUU sudah diajukan pemerintah kepada DPR sejak 16 Desember 2021.

Selain itu, perubahan UU ITE merupakan atensi dan prioritas Presiden Joko Widodo. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, seusai penyerahan supres, menyampaikan bahwa Presiden Jokowi menaruh harapan agar pembahasan revisi UU ITE di DPR berjalan lancar dan cepat.

Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid saat dihubungi, Minggu (20/2/2022), mengatakan, Komisi I belum mendapatkan penugasan dari pimpinan DPR untuk membahas revisi UU ITE bersama dengan pemerintah.

Sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR, setiap surpes yang diterima akan dibahas di tingkat pimpinan DPR terlebih dahulu. Setelah itu, Badan Musyawarah (Bamus) DPR akan memutuskan alat kelengkapan yang akan ditugaskan untuk membahas, apakah Badan Legislasi (Baleg), komisi terkait, atau panitia khusus lintas komisi dan fraksi.

”Kami belum menerima di Komisi I DPR. Pada prinsipnya, kami siap saja, tinggal menunggu penugasan,” ujar Meutya.

Hal senada disampaikan oleh anggota Komisi I dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Abdul Kharis Al Masyhari. Kharis menegaskan, belum ada penugasan dari pimpinan DPR untuk membahas revisi UU ITE. Saat ini, Komisi I sedang berfokus membahas RUU Perlindungan Data Pribadi.

”Harus menunggu sampai reses selesai dulu, baru akan tahu apakah revisi UU ITE akan masuk dalam program legislasi prioritas yang akan dibahas di masa sidang berikutnya atau tidak. Kita tunggu saja,” kata Kharis.

DIM versi masyarakat sipil

Sebelumnya pada akhir Januari lalu, masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Serius Revisi UU ITE juga telah menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) versi mereka kepada DPR. DIM berisi hasil kajian anggota koalisi.

Menurut Juru Bicara Koalisi Serius Revisi UU ITE Damar Juniarto, DIM disusun dengan melibatkan analisis dari pakar linguistik forensik dan pakar hukum pidana. DIM versi masyarakat sipil diharapkan dijadikan masukan agar tak ada lagi pasal-pasal karet dan multitafsir dalam UU ITE.

Secara umum, lanjut Damar, draf revisi UU ITE versi pemerintah masih kurang komprehensif karena masih tetap mempertahankan pasal-pasal yang bermasalah. Bahkan, menurut dia, draf revisi justru menambah pasal baru yang berpotensi mengancam hak konstitusional warga.

”Koalisi juga menilai draf revisi UU ITE memiliki banyak kelemahan yang fundamental. Pasal-pasal yang multitafsir dan penerapan hukum pidana yang berlebihan masih dipertahankan,” kata Damar.

Pasal-pasal multitafsir yang dimaksud adalah pasal kesusilaan di Pasal 27 Ayat (1), pasal perjudian di Pasal 27 Ayat (2), pencemaran nama baik Pasal 27 Ayat (3), pasal pengancaman di Pasal 27 Ayat (4), pasal penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerugian konsumen Pasal 28 Ayat (1) dan (2), pasal ujaran kebencian atas dasar SARA di Pasal 28A Ayat (1) dan (2), pasal pengancaman di Pasal 29, dan pasal pemberatan perbuatan pada Pasal 30 sampai 34, serta pasal 36 UU ITE.

 

Selain itu, juga norma baru yang dimasukkan pemerintah terkait dengan pasal tentang pemberitahuan berita bohong yang menimbulkan keonaran, yaitu Pasal 28A Ayat (3).

”Melalui DIM ini, koalisi memberikan masukan perbaikan secara menyeluruh atas isi UU ITE. Tidak terbatas pada revisi pasal-pasal yang diusulkan pemerintah semata. Ada 29 poin masukan yang disusun oleh koalisi,” terang Damar.

Menurut koalisi, perspektif pemerintah untuk mengatasi persoalan yang muncul di dalam ranah digital belum banyak berubah. Perspektif yang digunakan masih punitif atau cenderung menghukumi. Tidak ada asas keadilan restoratif ataupun mediasi dalam penyelesaian dugaan tindak pidana ITE.

Padahal, prinsip hukum pidana seharusnya menganut asas ultimum remidium atau upaya akhir memidana hanya dilakukan ketika tidak ditemukan jalan keluar penyelesaian perkara antara pelaku dan korban. Seharusnya, mekanisme ultimum remidium itu juga masuk dalam revisi UU ITE agar penyelesaian perkara dugaan tindak pidana ITE bisa selesai secara damai antara pelaku dan korban.

”Apalagi, dorongan penyelesaian perkara secara keadilan restoratif itu sudah menguat di isi surat kesepakatan bersama (SKB) tiga lembaga negara, yaitu Polri, Kejaksaan Agung, dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), serta Surat Edaran Kapolri,” papar Damar.

Damar menjelaskan, menurut pengamatan koalisi, draf revisi versi pemerintah tidak digunakan secara komprehensif untuk memperbaiki keseluruhan isi UU ITE yang bermasalah. Draf revisi UU ITE yang bermasalah hanya digunakan untuk mengubah norma di pasal-pasal kontroversial.

Padahal, dari kacamata koalisi, perbaikan yang hanya didasarkan pada pasal kontroversial itu bukanlah obat mujarab yang bijak dan holistik dalam mengatasi persoalan revisi UU ITE. Koalisi pun meminta kepada DPR agar benar-benar melakukan kajian atas revisi tersebut secara hati-hati dan menyeluruh. DIM versi masyarakat sipil diharapkan menjadi bahan acuan untuk mempertimbangkan, memperbaiki, dan merumuskan bunyi pasal pengaturan yang lebih baik dan tepat. Dengan demikian, ke depan, persoalan-persoalan multitafsir dan pemidanaan berlebihan tidak terjadi lagi.