Kondisi beli panik masih terjadi di Sumatera Selatan. Hal ini yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Di sisi lain, jumlah produksi minyak belum sesuai kebutuhan. Pemerintah akan segera melakukan evaluasi.

Oleh RHAMA PURNA JATI

PALEMBANG, KOMPAS — Kondisi beli panik masih terjadi di Sumatera Selatan. Hal ini yang menyebabkan kelangkaan minyak goreng di pasaran. Di sisi lain, jumlah produksi minyak belum sesuai kebutuhan. Pemerintah akan segera melakukan evaluasi dan menjamin persediaan minyak akan mulai pulih paling cepat akhir Maret 2022.

Kepala Dinas Perdagangan Sumatera Selatan Ahmad Rizali, Sabtu (5/3/2022), mengakui, saat ini produksi minyak goreng di Sumsel baru mencapai 10 juta liter per bulan, padahal kebutuhan di masyarakat rata-rata 15 liter per bulan.

Kondisi ini terjadi lantaran masih adanya distributor dan produsen yang menyelesaikan proses rafaksi untuk membayar selisih harga minyak di pedagang. ”Saya memprediksi tidak ada lagi minyak dengan harga lama yang masih beredar,” katanya.

Terkait kelangkaan yang masih terjadi, tidak lepas dari warga yang mengalami beli panik sehingga permintaan tidak sesuai dengan persediaan. Untuk mengatasi hal tersebut, pihaknya terus melakukan operasi pasar di sejumlah titik.

Selama masa transisi harga minyak pada awal Februari 2022 lalu sampai hari ini, setidaknya ada 100.000 liter minyak yang dijual untuk operasi pasar di Sumsel. Langkah ini diharapkan dapat memberikan rasa tenang pada masyarakat, setidaknya sampai produksi minyak kembali pulih pada Maret 2022.

Karin (22), seorang ibu rumah tangga di Palembang, harus mengantre dengan ratusan warga yang lain demi mendapatkan 2 liter minyak goreng dalam operasi pasar yang digelar di Pasar Alang-Alang Lebar, Palembang. Setelah berdiri antre selama 30 menit sembari menggendong bayinya, minyak 2 liter itu pun didapatinya.

Walau lelah, situasi itu tetap Karin jalani karena sulit sekali mendapatkan minyak goreng. ”Pasokan minyak di rumah sudah hampir habis. Sudah mencari ke mana pun tidak ketemu,” kata Karin.

Tidak hanya Karin, beberapa orang lainnya juga membawa jeriken minyak dan mengantre di salah satu penjualan minyak curah di pasar yang sama. Tuti (44), warga Sukarami, Palembang, menenteng 4 kilogram minyak goreng di dalam jerikennya.

Minyak itu akan digunakan untuk berjualan gorengan. Untuk dapat memenuhi kebutuhannya, dia rela berpindah satu pasar ke pasar yang lain untuk mengikuti program operasi pasar. ”Yang penting dapat minyak agar bisa tetap berjualan,” katanya.

Belum optimal

Simon Panjaitan, Head Unit Sumbagsel PT Sinar Alam Permai, menjelaskan belum optimalnya produksi minyak di perusahaannya. Pada kondisi normal, perusahaan mampu memproduksi sekitar 15 juta liter per bulan untuk wilayah Sumbagsel, yakni Lampung, Sumsel, Jambi, Bengkulu, dan Bangka Belitung.

Namun, masih mahalnya harga bahan mentah di pasar membuat produksi belum optimal. Kondisi ini diperparah dengan persediaan barang mentah itu pun masih terbatas karena banyaknya permintaan dari pihak lain. Meskipun begitu, pihaknya tetap berkomitmen untuk membantu pemerintah menjalankan program minyak goreng sesuai dengan harga eceran tertinggi.

Di sisi lain, Simon berharap agar masyarakat tidak melakukan beli panik yang membuat persediaan minyak goreng di pasaran terbatas. Warga yang biasanya hanya membeli 2 liter minyak goreng, karena termakan isu minyak langka, mereka langsung memborong minyak jadi 10 liter.

https://assetd.kompas.id/xDSgYesMhQw_cRleen-SpMcG7kc=/1024x404/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F17%2Fe7bed6c6-ea0a-486f-8df6-00946429a866_jpg.jpg

Padahal kebutuhan minyak goreng per kapita per bulan sekitar 0,8 liter sampai 1,2 liter per bulan. Artinya dalam satu keluarga kebutuhannya sekitar 5 liter sampai 7 liter per bulan. Namun, ada yang membeli lebih dari itu, bahkan hingga 15 liter.

”Anggapan inilah yang perlu dihilangkan agar tidak terjadi kelangkaan minyak di pasaran,” ujar Simon.

Sekretaris Umum Asosiasi Pedagang Pasar Indonesia Sumatera Selatan Irwansyah Musry membeberkan alasan minyak langka di pasar karena pedagang kesulitan mendapatkan barang. Padahal luas perkebunan kelapa sawit di provinsi ini mencapai 1,2 juta hektar. ”Entah apa penyebabnya, apa produksi terbatas atau ada faktor lain,” katanya.

Tak ayal, pedagang pun harus mencari barang dengan susah payah. Karena itu, mereka pun harus menjual dengan harga tinggi. Beda halnya jika distribusi lancar, pedagang pasti akan menjual minyak sesuai harga yang ditetapkan pemerintah.

Karena itu, Irwansyah berharap pemerintah melakukan intervensi agar penyaluran bisa sampai langsung ke pedagang. ”Jangan sampai ada pihak yang dirugikan,” kata Irwansyah.

Inspektur Jenderal Kementerian Perdagangan Didid Noordiatmoko menyebut, dari segi pasokan, sebenarnya alokasi minyak goreng sudah cukup. Jumlah produksi pun sudah mendekati normal. ”Pada Maret 2022 diharapkan bisa normal kembali,” katanya.

Namun, yang sekarang masih perlu dibenahi ialah distribusi. ”Pemerintah terus melakukan evaluasi terkait produksi dan distribusi agar tidak ada satu pihak pun yang dirugikan,” ujarnya.