Kebijakan harga eceran tertinggi minyak goreng sudah ditetapkan oleh pemerintah. Subsidi tepat sasaran menjadi kunci agar kebijakan harga minyak goreng benar-benar dirasakan oleh mereka yang membutuhkan.
Oleh GIANIE
Pemerintah telah memberlakukan kebijakan harga eceran tertinggi atau HET untuk mengatasi gejolak harga minyak goreng di dalam negeri. Subsidi pun diberikan kepada produsen minyak goreng untuk menutupi selisih harga keekonomisan dengan HET. Lalu, siapa yang menanggung beban subsidi agar harga minyak goreng tetap mengikuti HET?
Per 1 Februari 2022 HET minyak goreng curah ditetapkan sebesar Rp 11.500 per liter, sementara HET untuk minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter dan minyak goreng kemasan premium seharga Rp 14.000 per liter.
Subsidi akan diberikan kepada produsen minyak goreng sebesar Rp 3.000 per liter yang merupakan selisih antara harga keekonomisan minyak goreng yang sebesar Rp 17.000 per liter dengan HET minyak goreng kemasan premium. Harga keekonomisan akan dievaluasi setiap bulan seiring dengan pergerakan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Untuk mencukupi ketersediaan stok minyak goreng agar tidak terjadi kelangkaan, pemerintah menjalankan kebijakan mewajibkan eksportir CPO dan produk olahannya untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). Kuota DMO ditetapkan 20 persen dari volume ekspor setiap eksportir.
Pemerintah belum akan menerbitkan izin ekspor CPO dan produk olahan jika kewajiban DMO belum dipenuhi eksportir. Dengan demikian, eksportir wajib melaporkan atau mencatatkan pemenuhan kebutuhan domestik terlebih dahulu untuk mendapatkan persetujuan ekspor.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, subsidi minyak goreng menggunakan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Apa itu BPDPKS dan dari mana dana diperoleh lembaga ini untuk membayar subsidi minyak goreng?
Baca juga : Mengurai ”Keruh” Minyak Goreng
Sekilas BPDPKS
BPDPKS merupakan instansi pemerintah berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab dalam menghimpun, mengelola, mengadministrasikan, menyimpan, dan menyalurkan dana perkebunan kelapa sawit. Lembaga ini dibentuk sejak 10 Juni 2015.
Dana yang dihimpun oleh BPDPKS bersumber dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, serta sumber dana lain yang sah. Dana yang dihimpun meliputi pungutan atas ekspor komoditas perkebunan kelapa sawit dan/atau turunannya.
Pada tahun 2020, BPDPKS mencatatkan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penghimpunan dan pengelolaan dana sebesar Rp 24 triliun, meningkat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 1,49 triliun. Pendapatan tahun 2020 ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir.
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Warga memilih minyak goreng kemasan di pusat perbelanjaran di kawasan Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (24/11/2021). Untuk menjaga ketersediaan minyak goreng bagi pelanggan, pusat perbelanjaan di tempat itu melakukan pembatasan pembelian. Setiap konsumen hanya diperbolehkan membeli tiga kemasan minyak goreng. Di tengah melonjaknya harga minyak goreng dalam beberapa pekan terakhir, kini minyak goreng kemasan juga dikabarkan mengalami kelangkaan di beberapa tempat penjualan.
Dari pungutan ekspor atas CPO dan produk turunannya tahun 2020, BPDPKS mendapatkan penerimaan yang mencapai Rp 20,3 triliun. Dalam APBN, penerimaan ini masuk ke dalam pos Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
BPDPKS kemudian menyalurkan kembali dana yang telah dihimpun kepada masyarakat sawit dalam bentuk layanan program-program sebagai upaya untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit.
BPDPKS antara lain ikut memberikan dukungan finansial untuk berbagai program pemerintah, seperti penyaluran dana dukungan program biodiesel guna mengurangi ketergantungan terhadap impor solar dan minyak mentah.
Sejak tahun 2020, BPDPKS mendukung pembiayaan program B30 yang ditujukan untuk pengujian mesin dan bahan bakar biodiesel, termasuk pula program sosialisasi biodiesel kepada masyarakat.
Selain itu, juga sebagai alat kebijakan pemerintah untuk menciptakan stabilitas harga tandan buah segar (TBS) di dalam negeri. BPDPKS juga mendukung pendanaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), penelitian dan pengembangan kelapa sawit nasional, serta promosi kelapa sawit nasional.
Program PSR diselenggarakan untuk meningkatkan produktivitas perkebunan dan memenuhi permintaan global yang terus meningkat. Tahun 2020, dana yang disalurkan untuk PSR tercatat Rp 2,67 triliun untuk 94.033 hektar lahan sawit serta 27.820 pekebun.
Dengan dikeluarkannya Permendag Nomor 3/2022, berarti bertambah satu lagi tugas BPDPKS untuk mendukung kebijakan pemerintah menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri. Sebagai permulaan, dana yang harus disiapkan BPDPKS untuk subsidi minyak goreng adalah sebesar Rp 7,6 triliun untuk subsidi 1,5 miliar liter selama enam bulan di tahun 2022.
Tidak menjadi simalakama
Dari gambaran profil dan tugas BPDPKS tadi terlihat bahwa sesungguhnya anggaran subsidi minyak goreng dibebankan kepada pelaku usaha atau masyarakat sawit. Pendanaan subsidi memang diambil dari pos penerimaan negara bukan pajak, namun sumber dana berasal dari pungutan ekspor atas produk CPO dan turunannya.
Besar atau kecilnya dana yang dihimpun BPDPKS dari para eksportir CPO dan produk turunannya ditentukan oleh seberapa besar volume ekspor. Sementara dengan kebijakan pemerintah yang baru, izin atau persetujuan ekspor bergantung pada kewajiban pemenuhan DMO sebesar 20 persen dari volume ekspor.
PEMPRPV JABAR
Warga memperlihatkan minyak goreng yang dibeli saat Pasar Murah Minyak Goreng di Kota Bekasi, Selasa (11/1/2022).
Jika volume ekspor menurun, maka penerimaan dari pungutan ekspor akan menyusut. Hal ini berisiko terhadap pendapatan BPDPKS dan nantinya pada penyediaan dana untuk subsidi minyak goreng.
Penerimaan dana BPDPKS dari pungutan ekspor CPO dan produk turunannya pada tahun 2020 lalu sangat dipengaruhi oleh perubahan tarif pungutan ekspor yang menjadi lebih progresif. Semula, terdapat kenaikan 5 dollar Amerika Serikat (AS) per ton untuk seluruh produk kelapa sawit dan turunannya.
Dalam aturan baru selanjutnya, tarif pungutan ekspor produk kelapa sawit naik secara progresif sebesar 15 dollar AS untuk produk minyak sawit mentah dan 12,5 dollar AS untuk produk turunan CPO untuk setiap interval kenaikan harga CPO sebesar 25 dollar AS.
Di satu sisi, kenaikan tarif progresif akan menguntungkan BPDPKS karena pendapatan berpotensi meningkat. Namun di sisi lain, kenaikan tarif akan memberi beban tambahan bagi eksportir, juga bagi pekebun yang menghasilkan tandan buah segar. Dari keseluruhan areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sekitar 30 persen di antaranya dimiliki oleh rakyat atau petani/pekebun.
Volume ekspor tergantung pada produktivitas kebun sawit. Pada lahan yang dimiliki pekebun/rakyat, produktivitas lebih rendah karena usia pohon kelapa sawit yang cenderung lebih tua dan belum diremajakan.
Tarif pungutan ekspor yang tinggi bisa menekan harga tandan buah segar di tingkat pekebun sawit. Volume produksi dan harga tandan buah segar tentu sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan para pekebun atau petani sawit ini.
Dengan keterkaitan yang sangat tinggi dari hulu ke hilir, kebijakan yang diambil pemerintah terkait subsidi harus dengan kehati-hatian agar tidak menjadi simalakama. Jika subsidi diberikan (diikuti dengan kebijakan DMO), petani sawit bisa menjerit, namun jika tidak diberikan konsumen yang kesusahan.
Dalam mengambil kebijakan, baik konsumen maupun produsen tidak boleh ada yang lebih dirugikan. Oleh sebab itu, perlu ada pertimbangan yang kuat mengenai golongan penerima subsidi. Mana yang menjadi prioritas agar subsidi tepat sasaran. Termasuk juga perlunya menata rantai distribusi minyak goreng agar harga di tingkat konsumen tidak tinggi. (LITBANG KOMPAS)