Terlepas dari berbagai macam penyebabnya, hingga saat ini harga dan stok minyak goreng di pasaran masih bergejolak. Kondisi ini membuat beban daya beli masyarakat yang masih terdampak pandemi makin bertambah berat.
Oleh WIRDATUL AINI
Ketersediaan minyak goreng di pasar tradisional dan ritel modern masih terbatas dan dijual dengan harga di atas patokan eceran tertinggi. Krisis pasokan minyak goreng yang berlarut-larut membutuhkan intervensi jangka pendek agar tidak makin membebani pengeluaran masyarakat.
Kenaikan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil global memicu kenaikan harga minyak goreng dalam negeri dalam beberapa bulan terakhir. Pada Desember 2021, Badan Pusat Statistik melaporkan kenaikan harga minyak goreng secara tahunan sebesar 33,78 persen menjadi Rp 21.125 per liter. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan kenaikan harga bahan pokok lainnya, seperti cabai rawit, daging sapi, tepung terigu, dan daging ayam.
Lonjakan harga ini telah menjadikan minyak goreng sebagai komoditas dominan yang memberi andil inflasi nasional selama 2021 dengan besaran 0,31 persen. Padahal, tahun sebelumnya minyak goreng hanya menyumbang inflasi sebesar 0,10 persen.
Untuk menurunkan gejolak harga minyak goreng, pemerintah menerapkan berbagai regulasi. Regulasi itu mulai dari kebijakan minyak goreng satu harga sebesar Rp 14.000, larangan terbatas ekspor CPO dan turunannya, mewajibkan eksportir memenuhi kebutuhan pasar domestik CPO dan olein sebesar 20 persen, menentukan harga domestik CPO dan olein (domestic price obligation), hingga menentukan harga eceran tertinggi (HET).
Ragam intervensi dan subsidi tersebut membuat pemerintah harus membayar selisih harga kepada para pengusaha minyak goreng. Anggaran yang dialokasikan untuk subsidi minyak goreng sebesar Rp 7,6 triliun. Anggaran ini meningkat dua kali lipat dari sebelumnya dan akan dikucurkan selama enam bulan.
Meskipun sejumlah kebijakan tersebut telah bergulir sejak bulan lalu, masyarakat masih sulit mendapat pasokan minyak goreng di ritel modern ataupun pasar tradisional. Selain itu, harga minyak goreng ternyata masih relatif tinggi.
Hasil pantauan Ombudsman menemukan bahwa HET di beberapa wilayah belum berlaku. Masyarakat sulit mendapatkan minyak goreng sesuai dengan HET yang diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022 karena adanya keterlambatan pelaksanaan. Keterlambatan tersebut disebabkan melibatkan produsen dalam melakukan distribusi. Pasokan yang tersendat, perilaku panic buying, dan penimbunan minyak goreng menambah problem kelangkaan minyak goreng.
Pandangan lain tentang penyebab kelangkaan minyak goreng disampaikan ekonom Faisal Basri yang melihat adanya pergeseran konsumsi CPO di dalam negeri. Konsumsi CPO bergeser dari industri pangan menjadi industri biodiesel. Kondisi ini terjadi sejak pemerintah menerapkan program B20 pada 2020. Program ini mewajibkan pencampuran 20 persen biodiesel dengan bahan bakar minyak jenis solar.
Adanya program ini membuat alokasi CPO untuk biodiesel berangsur naik, dari 5,83 juta ton pada 2019 menjadi 7,23 juta ton pada 2020. Sebaliknya, konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada 2019 menjadi 8,42 juta ton pada 2020. Pola kenaikan porsi biodiesel diprediksi akan berlanjut seiring dengan peningkatan porsi CPO dalam biodiesel melalui program B30 (mengandung biodiesel 30 persen).
Kebijakan pemerintah yang mendorong program biodiesel ini menjadi trade off atau mengorbankan suatu aspek untuk memperoleh aspek lain bagi CPO industri pangan. Adanya jaminan pemerintah bahwa perusahaan biodiesel tidak akan merugi melalui subsidi ketika harga di dalam negeri lebih rendah dari harga internasional membuat pengusaha lebih cenderung menyalurkan CPO-nya pada biodiesel. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan porsi CPO untuk biodiesel mencapai 43 persen dari konsumsi CPO dalam negeri pada tahun ini.
Ironi produksi
Data Kementerian Pertanian menunjukkan produksi minyak sawit Indonesia pada tahun 2018 dalam bentuk minyak sawit mentah (CPO) sebesar 40,6 juta ton dan minyak inti sawit (kernel palm oil) sebesar 8,1 juta ton. Produksi ini berasal dari 14,3 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit. Dengan luasan tersebut, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyatakan Indonesia menguasai 42,02 persen luas tanaman kelapa sawit di dunia.
Produksi CPO Indonesia mengalami peningkatan produksi dengan rata-rata pertumbuhan produksi CPO sebesar 8,41 persen sepanjang periode 2010 hingga 2019. Pertumbuhan CPO tertinggi terjadi pada tahun 2006 dengan lonjakan produksi CPO mencapai 46,28 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Besarnya produksi industri kelapa sawit di Indonesia telah menjadikan kelapa sawit sebagai andalan utama ekspor komoditas perkebunan. Ekspor dalam wujud CPO terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan produksi dan permintaan dunia. Ekspor CPO Indonesia dan turunannya mencapai 13,47 juta ton pada 2010 dan meningkat menjadi 18,51 juta ton pada 2017. Tidak heran jika CPO menjadi salah satu penyumbang devisa ekspor terbesar di Indonesia.
Ditinjau dari harganya, harga CPO global saat ini masih di atas 1.300 dollar AS per ton. Sebagai komoditas global, kenaikan harga CPO memengaruhi produksi minyak goreng di dalam negeri. Ketika harga CPO global sedang tinggi, produksi minyak goreng kesulitan mendapatkan bahan baku sebab produsen lebih mengutamakan ekspor daripada memenuhi kebutuhan dalam negeri. Karena itu, ketika harga CPO global meroket, produksi minyak goreng harus bisa bersaing dengan produk CPO yang diekspor.
Namun, produsen yang kompak menaikkan harga minyak goreng dengan dalih penyesuaian harga CPO global karena permintaan yang meningkat membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menduga adanya praktik kartel. Praktik ini merujuk pada sekelompok produsen yang mendominasi pasar yang bekerja sama untuk meningkatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan cara menaikkan harga.
KPPU mencatat banyak merek minyak goreng di Indonesia dimiliki oleh satu grup perusahaan yang sama sehingga 40 persen pangsa minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar. Produsen minyak goreng ini masuk dalam kelompok ekspor CPO sehingga memungkinkan jumlah produksi minyak goreng menyesuaikan harga CPO global.
Upaya kebijakan
Selain menyubsidi harga, pemerintah menanggapi polemik minyak goreng dengan menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) kepada eksportir CPO dan olein untuk menjamin ketersediaan stok dan keterjangkauan harga minyak goreng di dalam negeri. Seluruh eksportir diwajibkan memasok produknya ke dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor.
Melalui ketentuan DMO 20 persen dan DPO yang diterapkan sebesar Rp 9.300 per kilogram untuk CPO dan Rp 10.300 per kilogram untuk olein, produsen akan mendapatkan jaminan bahan baku dengan harga yang lebih murah dari internasional. Aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk melepaskan ketergantungan harga CPO dunia.
Akan tetapi, kebijakan DMO bukanlah pertama kali dilakukan di Indonesia. DMO pernah diterapkan pada tahun 2007 melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No.339/Kpts/PD.300/5/2007 dan menuai kegagalan. Komitmen perusahaan dalam memenuhi alokasi yang ditetapkan dalam DMO tidak terealisasi. Pada Mei 2007 hanya terealisasi 59 persen dari jumlah komitmen yang wajib dipenuhi produsen CPO, sedangkan sampai 12 Juni 2007 hanya terealisasi 10 persen dari jumlah komitmen.
Masih tingginya harga CPO dunia dan belum efektifnya kebijakan DMO menjadi tantangan utama yang masih dihadapi pemerintah. Terlepas dari berbagai macam penyebab polemik minyak goreng, hingga saat ini harga dan stok minyak goreng di pasaran masih terus bergejolak. Kondisi ini membuat beban daya beli masyarakat yang masih terdampak oleh pandemi makin bertambah berat.
Sambil menunggu efektivitas kebijakan DMO untuk menstabilkan harga, pemerintah dapat mengimbanginya dengan melakukan intervensi harga minyak goreng curah bagi masyarakat kecil. Jaminan pasokan CPO ke pabrik-pabrik minyak goreng juga harus diawasi agar distribusi ke tingkat konsumen dapat segera berjalan lancar dengan harga yang terjangkau.(LITBANG KOMPAS)