”Kultur” minyak goreng sawit, secara perlahan tetapi pasti, telah menghapus ingatan kebudayaan yang diwariskan nenek moyang bangsa Asia Tenggara, yang nyaris tak mengenal minyak untuk menggoreng.

Oleh PUTU FAJAR ARCANA

Ibuku mengeluh di dapur. Sudah beberapa bulan ini ia bekerja bagai kuda, tetapi nyaris tak ada hasilnya. Pertama, ia harus membeli minyak sawit seharga Rp 18.000-Rp 20.000 per liter di pasar tradisional. Harga sebelumnya Rp 14.000 per liter. Kedua, emping melinjo yang dia goreng tidak mungkin dinaikkan harganya. Satu bungkus kecil, berisi 3 keping plus remahan, harganya tetap Rp 1.000.

”Sudah tidak ada untungnya,” katanya bersungut-sungut. Tetapi, tangannya tetap masih menggoreng keping demi keping emping. Dari pedagang langganannya, ia membeli seharga Rp 300.000 untuk 5 kilogram emping mentah. ”Sebelum ini harganya Rp 280.000. Naik, semua naik, harga emping gorengnya tetap,” katanya lagi.

Pertanyaan sederhana, seperti mengapa tidak turut menaikkan harga, dijawab Ibuku dengan tangkas, ”Kasihan pelanggan!”

”Kalau tak untung buat apa jualan?” tanyaku.

”Jualan itu sama dengan memberikan,” jawabnya.

”Bukan sedekah, kan?”

”Prinsipnya yang membeli senang,” kata Ibu.

Di situ aku seolah dibenturkan kenyataan yang sulit kucerna dengan logika. Pada usia senja, Ibuku tetap ngotot berjualan di pasar. Usianya boleh menanjak mencapai 83 tahun, tetapi tangannya tetap tangkas menggoyang kue bungan duren (kembang goyang) dari cetakan panas di atas didihan minyak sawit. Ia cuma mendapat laba tak lebih dari Rp 200 dari sebungkus bungan duren berisi 20 buah. Itu pun ia tak pernah menghitung tenaga yang telah dikeluarkannya.

Ibuku memang tetap percaya bahwa berjualan menjadi sebentuk ekspresi untuk mereaktualisasi diri, terutama di masa tua. Ia yakin, berjualan telah membuat semangat hidupnya meledak-ledak. Pergi ke pasar pada waktu dini hari, menjadi kebiasaan yang membuatnya tetap sehat di usia senja.

Sayangnya, penghayatan Ibuku yang ”tradisional” terhadap pengertian pasar harus berhadapan dengan keganasan praktik kolonialisme dalam perdagangan, yang terbentuk sejak masa-masa penjajahan dahulu. Kenaikan harga minyak goreng belakangan hari tak lepas dari praktik semacam ini. Lihatlah, korban telah jatuh. Seorang ibu bernama Sandra (41), asal Berau, Kalimantan Timur, meninggal dunia saat antre minyak goreng di depan sebuah minimarket, Sabtu (12/3/2022).

Ibu-ibu lainnya dari berbagai pelosok Tanah Air harus rela berjejalan demi seliter minyak goreng. Di Pemalang, Jawa Tengah, para ibu lebih ”pintar”, mereka membariskan sandal masing-masing di sebuah minimarket yang belum buka, sebagai urutan antrean. Entah kenapa kelangkaan minyak goreng telah menjadi hantu yang menakutkan. Secara psikologis, kita semua, tak hanya para ibu, begitu terganggu ketika minyak goreng menghilang.

Musisi Iwan Fals dan Raja Pane bahkan mendadak menciptakan lagu dengan syair yang berbunyi”//Minyak goreng menguap/Hilang dan lenyap di pasar/Semua ibu-ibu menggerutu/Pun Bapak-bapaknya sudah barang tentu/Kocar-kacir di pasar-pasar/Aneh rasanya kok bisa hilang/Kalau pun ada harganya selangit/Usut punya usut ternyata ditimbun/Oleh siapa...?//

Mungkin gugatan Iwan Fals didasarkan pada kenyataan bahwa berdasarkan data dari Kementerian Pertanian RI, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 15,08 juta hektar (2021). Jumlah ini naik dari sebelumnya 1,48 juta hektar. Sementara data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, produksi minyak sawit di Indonesia tercatat 3,76 juta ton pada Januari 2021, turun 7,1 persen dibandingkan dengan sebelumnya. Penurunan itu, antara lain, disebabkan oleh banjir di beberapa daerah. Produksi minyak sawit terdiri dari crude palm oil (CPO) sebanyak 3,42 juta ton dan crude palm kernel oil (CPKO) sebanyak 334.000 ton, serta impor 5.000 ton.

Sementara itu, konsumsi lokal minyak sawit naik tipis menjadi 1,52 juta ton pada Januari 2021 dari bulan sebelumnya. Peningkatan itu berasal dari produksi pangan sebesar 763.000 ton, sedangkan konsumsi oleokimia dan biodiesel masing-masing turun menjadi 178.000 ton dan 580.000 ton.

Dalam hitungan sederhana, seharusnya dengan produksi 3,76 juta ton dan konsumsi lokal 1,52 juta ton pada Januari 2021, Indonesia tidak perlu kekurangan minyak goreng sawit. Para ibu tak perlu antre berjam-jam ”hanya” untuk mendapatkan seliter minyak goreng. Tak perlu pula ibu rumah tangga seperti Sandra menjadi korban akibat kelangkaan minyak goreng.

Pertanyaan banyak orang, termasuk Iwan Fals, mengapa masih terjadi kelangkaan minyak goreng? Banyak dugaan, sumber masalahnya adalah jalur distribusi yang tidak lancar serta penimbunan barang oleh beberapa pihak demi keuntungan pribadi. Nyatanya, walau polisi sudah bertindak membongkar penimbunan minyak goreng oleh para pengusaha, toh kondisi kelangkaan ini tak membaik. Bahkan, beberapa politisi turut bermain. Entah dari mana mereka mendapatkan stok minyak goreng berlimpah, lalu menggelar pasar murah kepada rakyat untuk kepentingan politik.

Rasanya, situasinya tidak sesederhana yang dibayangkan. Keberadaan minyak sawit sebagai komoditas industri, menurut catatan Jonathan E Robins di Encyclopedia Britanicca, telah dimulai pada tahun 1500-an dari sebuah wilayah di Senegal sampai Angola di Afrika Barat. Ketika minyak sawit memasuki ekonomi global, ia tak pernah bebas dari perdagangan budak trans-Atlantik. Minyak sawit dianggap sebagai makanan paling berharga. Pada tahun 1711, para pedagang budak mengolesi tubuh pada budaknya dengan minyak sawit, ”Agar terlihat mulus, kinclong, dan awet muda sebelum dikirim ke blok pelelangan,” tulis Robins.

Di Eropa, tambah Robins, tahun 1600-an orang-orang mengoleskan minyak kelapa sawit pada kulit mereka sendiri. Bahkan, banyak yang percaya bahwa minyak sawit dapat menyembuhkan penyakit paling parah, seperti memar dan ketegangan tubuh. Sampai akhirnya tahun 1790-an, para pengusaha Inggris menyubstitusi minyak sawit ke dalam sabun.

Ketika tahun 1869 margarin ditemukan oleh ahli kimia Perancis Hippolyte Mege-Mouries sebagai alternatif murah bagi mentega, maka kesadaran baru tentang pentingnya melakukan pemassalan terhadap perkebunan sawit telah dimulai. Minyak kemudian bahkan menjadi bahan utama margarin karena tetap kokoh pada suhu kamar dan bisa lumer di mulut seperti mentega.

Pengusaha margarin dan sabun dari Inggris, William Lever, menoleh kepada koloni-koloni bangsa Eropa di Afrika untuk mendapatkan minyak sawit. Para pemerintah kolonial kemudian melakukan pemaksaan dan kekerasan kepada bangsa Afrika untuk menanam sawit. Pada era itu dimulailah kolonialisme atas kebun sawit. Karena mendapatkan perlawanan, para negara kolonialis Eropa beralih ke Asia Tenggara. Mereka membawa tanaman sawit ke negara-negara seperti Malaya dan Hindia Belanda.

Di Hindia Belanda (sekarang Indonesia), tanaman sawit dibawa oleh Dr D T Pryce, dari Bourbon, Mauritius, dan Hortus Botanicus, Belanda, tahun 1848 dengan masing-masing dua benih pohon. Keempat pohon itu ditanam di Kebun Raya Bogor, yang kemudian dianggap sebagai nenek moyang pohon sawit di Indonesia.

Dalam hitungan tahun pohon kelapa sawit menjadi komoditas penting di Asia Tenggara. Belanda membuka perkebunan sawit dengan mendatangkan para kuli murah dari Filipina, Bangladesh, Myanmar, Nepal, dan Indonesia untuk di Malaysia. Sebutan kuli sendiri dimaksudkan untuk merendahkan para pekerja migran yang datang dari India Selatan, Indonesia, dan China. Kata ”kuli” diambil orang Eropa dari nama suku asli Hindi Kuli. Para buruh ini, menurut catatan Robins, bekerja di bawah paksaan, dikontrak dengan upah rendah, dan dengan undang-undang yang diskriminatif.

Celakanya, praktik kerja di masa kolonialisme ini direproduksi hingga kini, terutama untuk para pekerja ilegal dari Indonesia di negara seperti Malaysia. Sering kali kita dengar para pekerja migran Indonesia diperlakukan tidak adil atau bahkan tidak diberi upah layak di negara jiran kita itu.

Tahun 1970-an, beberapa blok dari rumahku di Jembrana, terdapat pabrik minyak kelapa Sumber Urip. Banyak sekali para buruhnya berasal dari desaku, termasuk pamanku yang bekerja sebagai buruh gendong kopra. Sayangnya, pabrik ini tidak bertahan lama. Dalam waktu tak lebih dari 10 tahun, ia rontok seiring dengan rontoknya beberapa pabrik minyak kelapa lainnya di Kabupaten Jembrana. Pamanku yang lain bilang, kerontokan itu karena kekurangan bahan baku. ”Kelapa mulai langka,” katanya singkat.

Setahuku kemudian, terdapat propaganda besar-besaran bahwa minyak kelapa tidak sehat. Ia mengandung lemak jenuh yang membahayakan kesehatan tubuh. Sebagai alternatifnya dikampanyekan penggunaan minyak kelapa sawit, yang banyak diproduksi oleh perkebunan dan pabrik-pabrik orang Eropa.

Seiring dengan itu, tiba-tiba minyak goreng kelapa sawit telah merajai pasar. Keterampilan mengolah kelapa yang disebut nandusin di Bali, tiba-tiba juga menghilang. Tak banyak lagi yang bisa mengolah kelapa menjadi minyak. Semuanya demam minyak goreng kelapa sawit. Selain murah, minyak goreng kelapa sawit juga dipropagandakan sebagai minyak nabati yang lebih sehat dibandingkan dengan minyak kelapa.

Dalam waktu kurang dari 25 tahun, di mana-mana terjadi demam minyak goreng sawit. Teknik memasak dengan menggoreng dianggap paling cepat, efisien, murah, dan menghasilkan makanan yang renyah serta enak. Mau tak mau, minyak sawit dan menggoreng menjadi kultur baru dalam kehidupan orang-orang di Asia Tenggara, terutama Indonesia. Istilahnya, kalau belum makan gorengan masih ada yang kurang di mulut.

Ketergantungan itu nyatanya menjadi sangat riskan. Ketika Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen produksi minyak sawit dunia, negara-negara Eropa melempar isu soal deforestasi hutan. Perambahan kebun sawit di hutan-hutan Indonesia dianggap telah menyumbang angka percepatan pemanasan global.

Jadi, sawit telah bergerak dari isu perbudakan, industri global, lingkungan, sampai komoditas politik. Ibuku dan para ibu yang kini berteriak-teriak atas kelangkaan minyak sawit, sudah barang pasti tidak pernah berpikir soal berbagai isu yang menyertai keberadaan minyak goreng. Bahkan, karakter adiktif terhadap minyak goreng, terutama dengan memasukkannya sebagai bahan kebutuhan pokok, telah memudahkan kolonialisme baru dalam perdagangan.

”Kultur” minyak goreng sawit, secara perlahan tetapi pasti, telah menghapus ingatan kebudayaan yang diwariskan nenek moyang bangsa Asia Tenggara, yang nyaris tak mengenal minyak untuk menggoreng. Tradisi memasak lebih banyak dilakukan lewat membakar, memanggang, merebus, dan mengukus. Masakan tradisional yang favorit karena keenakannya, terdiri dari ayam betutu, ikan bakar, bahkan rendang, hampir-hampir tidak menggunakan minyak goreng. Jika toh ada minyak, itu muncul dari dalam dagingnya sendiri atau dari santan kelapa.

Meski secara tradisional kita mengenal pembuatan minyak kelapa, yang disebut minyak kelentik di Jawa, sebagian besar penggunaannya tidak untuk menggoreng. Minyak kelentik dipergunakan untuk kebutuhan menyalakan lampu, atau bahkan minyak urut untuk pengobatan.

Jadi, mengapa sekarang kita sangat bergantung pada minyak goreng kelapa sawit? Itulah sisi lain dari ”kejahatan” industri global. Pelan-pelan ia menciptakan suatu mekanisme ketergantungan sehingga di bawah sadar masing-masing orang bekerja sebuah kebiasaan yang menjauh dari akar kulturnya sendiri. Dan, minyak goreng sekarang menjadi senjata yang bisa meledakkan keresahan di mana-mana, termasuk di rumah tanggamu sendiri.