Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengubah ketentuan penahanan prajurit pelanggar hukum disiplin militer. Dari penahanan di satuan menjadi di penjara militer. Tujuannya agar ada efek jera dalam laku prajurit TNI.

 

JAKARTA, KOMPAS — Penahanan prajurit TNI yang melanggar hukum disiplin militer tak lagi dilakukan di satuan masing-masing, tetapi di instalasi tahanan militer. Berbagai celah dinilai menyebabkan pelaksanaan hukuman disiplin di satuan tidak memberikan efek jera bagi para pelanggar. Namun, pemindahan tahanan saja belum cukup, hal itu juga perlu diiringi transparansi peradilan militer.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dalam rapat rutin bersama Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, serta tim hukum TNI mengatakan, mengubah mekanisme penahanan prajurit yang melanggar hukum disiplin militer. Pelanggar tidak lagi ditahan di tahanan satuan masing-masing, tetapi tahanan polisi militer. Ketentuan itu berlaku untuk semua pelanggaran, baik yang masuk dalam kategori berat maupun ringan.

”Jadi, asal diketahui semuanya hukuman disiplin tidak lagi di satuan. Hukuman disiplin, mau 14 hari, 21 hari, di polisi militer. Ringan atau berat, di polisi militer, tidak lagi di satuan,” kata Andika dalam video yang diunggah akun media sosial Pusat Penerangan TNI, Selasa (8/3/2022).

Menurut dia, selama ini banyak celah yang membuat pelaksanaan hukuman disiplin militer di satuan belum efektif. Akibatnya, hukuman tidak memberikan efek jera. ”Karena kalau di satuan itu banyak prememorinya (tahapan yang dilewati)jadi seperti tidak serius, akhirnya tidak menimbulkan efek jera,” ujar Andika.

Ia menekankan, meski hanya terkait disiplin, hukuman tetap hukuman yang harus dijalankan secara sungguh-sungguh. Pelanggar harus merasakan efek jera agar menjadi pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di kemudian hari.

Hukuman ringan

Dalam kesempatan yang sama, Komandan Pusat Polisi Militer TNI Laksamana Muda Nazali Lempo juga melaporkan telah menjatuhkan hukuman disiplin ringan pada sejumlah prajurit yang bertugas di polisi militer. Hal itu sesuai dengan pengajuan Andika untuk menghukum sejumlah orang yang dinilai melanggar disiplin. Namun, tidak dijelaskan konteks pelanggaran yang dimaksud,

Merujuk Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, hukum disiplin militer adalah peraturan dan norma untuk mengatur, membina, menegakkan disiplin, dan tata kehidupan yang berlaku bagi militer. Sementara hukuman disiplin militer adalah hukuman yang dijatuhkan oleh atasan yang berhak menghukum kepada bawahan yang berada di bawah wewenang komandonya, karena melakukan pelanggaran hukum disiplin militer.

Di Pasal 9 UU No 25/2014, dijelaskan bahwa hukuman disiplin militer terdiri atas tiga jenis. Pertama, dalam bentuk teguran. Kedua penahanan disiplin ringan paling lama 14 hari. Ketiga, penahanan disiplin berat paling lama 21 hari.

Mengenai pelaksanaan hukuman disiplin militer berupa penahanan, dalam Pasal 43 disebutkan, dalam penahanan ringan terhukum dapat menerima tamu dan dapat dipekerjakan di lingkungan satuannya pada jam kerja. Adapun dalam penahanan berat, terhukum tidak dapat menerima tamu, tidak dapat dipekerjakan, dan menjalani penahanan di tempat tertutup.

Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) TB Hasanuddin menilai, keputusan untuk mengubah mekanisme penahanan itu tentu sudah dipertimbangkan secara matang. Ia pun mendukung kebijakan tersebut, terutama untuk memberikan efek jera kepada para prajurit yang tidak disiplin.

”Ini bagus untuk menekan tingkat pelanggaran disiplin prajurit. Dan sesuai ketentuan, tidak melanggar aturan atau hukum militer yang ada,” kata Hasanuddin.

Purnawirawan TNI Angkatan Darat yang pernah menjadi Sekretaris Militer di era Presiden Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono itu mengakui, penahanan di satuan kurang kondusif. Sebab, ruang tahanan berada di satuan. Prajurit yang sedang dihukum pun masih bisa bertemu dengan keluarga atau sesama prajurit. ”Kalau di POM (polisi militer) secara psikologis beda, karena jauh dari keluarga dan jauh dengan teman-teman satuannya,” ujar Hasanuddin.

Peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Muhamad Haripin menilai, memindahkan lokasi penahanan bagi pelanggar hukum disiplin militer belum mampu mengoptimalkan efek jera pada para prajurit. Sebab, di lingkungan TNI terdapat masalah mendasar, yakni kultur Impunitas dan sikap kebal hukum (above the law) yang kerap ditunjukkan. Selain itu, terdapat pula pemahaman keliru terkait ”jiwa korsa” yang berakibat pada pembiaran pelanggaran oleh prajurit karena dianggap kolega sendiri.

 

Oleh karena itu, tambahnya, perbaikan hendaknya tidak hanya dimulai dengan pemindahan tahanan dari satuan ke instalasi penjara militer. Akan lebih baik jika hal itu juga diiringi dengan transparansi peradilan atau pengambilan keputusan hukuman disiplin. ”Perubahan mesti dilakukan dengan transparansi peradilan atas pelanggaran disiplin militer, karena selama ini proses itu belum terbuka. Tidak ada salahnya juga memperberat hukuman bagi pelanggaran-pelanggaran yang kerap terjadi, misalnya bolos atau terlibat narkotika,” kata Haripin.

Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan, sepakat dengan langkah yang diambil oleh Panglima. Meski tidak bisa dipukul rata, sinyalemen yang diungkapkan Andika memang kerap terjadi. Hal itu harus diakhiri, apalagi peningkatan kepatuhan hukum dan kedisiplinan prajurit merupakan salah satu agenda prioritas Andika.

Namun, terobosan ini harus diikuti dukungan anggaran, sumber daya manusia, serta sarana dan prasarana yang memadai bagi Puspom TNI di setiap matra. Hal itu penting karena pengubahan pelaksanaan hukuman juga akan mengubah tata cara penanganannya. ”Penting untuk diantisipasi agar jangan sampai perubahan itu hanya akan memindah praktik buruk yang kerap terjadi sebelumnya di lingkungan satuan ke lingkungan POM TNI,” kata Khairul.