Dari 80 hektar kebutuhan pengadaan lahan perumahan prajurit, hanya 17,8 hektar yang terealisasi. Tim penyidik menetapkan seorang tersangka dalam pengadaan lahan fiktif ini. Praktik ini merugikan negara Rp 51 miliar.

JAKARTA, KOMPAS — Dari pengembangan penyidikan dugaan korupsi Dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat atau TWP AD tahun 2013-2020, tim penyidik koneksitas menemukan dugaan penyediaan lahan fiktif untuk perumahan prajurit. Dari temuan itu, penyidik menetapkan seorang tersangka. Akibat perbuatan tersangka, diduga keuangan negara dirugikan Rp 51 miliar.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, dalam jumpa pers virtual, Rabu (16/3/2022), mengatakan, tim penyidik koneksitas perkara dugaan korupsi TWP AD tahun 2013-2020 menetapkan seorang tersangka berinisial KGS MMS. Tersangka sempat tidak memenuhi panggilan penyidik dan berupaya lari menghindari petugas.

”Sebenarnya penetapan tersangka ini sudah lama. Namun, karena orangnya sulit dihadirkan, baru tadi malam kita lakukan penangkapan,” kata Ketut. Lebih lanjut Ketut menjelaskan, penetapan KGS MMS sebagai tersangka menjadi perkara yang berdiri sendiri, terlepas dari perkara korupsi TWP AD tahun 2013-2020 yang kini sudah disidangkan di pengadilan militer.

Dalam dugaan korupsi TWP AD tahun 2013-2020, hal yang diperkarakan adalah penempatan dana TWP yang tidak sesuai ketentuan dan dengan melakukan investasi di luar ketentuan pengelolaan TWP. Tindakan itu menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 133,7 miliar. Dalam perkara tersebut, Brigadir Jenderal Yus Adi Kamrullah dan Ni Putu Purnama Sari ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara tersangka KGS MMS merupakan pihak penyedia lahan perumahan bagi prajurit. Tersangka KGS MMS berperan menyediakan lahan seluas 40 hektar di Nagreg, Jawa Barat, senilai Rp 32 miliar dan menyediakan lahan di Palembang seluas 40 hektar senilai Rp 41,8 miliar.

Namun, dalam proses pengadaan lahan tersebut, KGS MMS hanya dapat merealisasikan lahan seluas 17,8 hektar di Nagreg, Jabar. Adapun di Palembang tidak ada lahan yang terealisasi alias fiktif. Dari penghitungan sementara, nilai kerugian keuangan negara sebesar Rp 51 miliar.

Karena tak pernah hadir saat dipanggil penyidik, Ketut mengungkapkan, tim penyidik akhirnya mendatangi rumah KGS MMS, tetapi tersangka tidak ditemukan. Hingga pada Selasa (15/3) malam, KGS MMS ditangkap penyidik di Bandung, Jabar. Tersangka langsung ditahan di Rumah Tahanan Negara Salemba Cabang Kejaksaan Agung, Jakarta

Tersangka lain

Terkait dengan perkara KGS MMS ini, penyidik koneksitas juga telah menetapkan seorang tersangka lagi. Namun, tersangka itu hingga saat ini belum bisa dihadirkan penyidik dan masih dalam pencarian. Oleh karena itu, Kejagung belum bisa membuka keterlibatan tersangka dalam perkara ini.

Terkait dengan dugaan keterlibatan anggota TNI dalam perkara pengadaan lahan tersebut, Ketut mengatakan, hal itu masih akan dikembangkan setelah kedua orang yang ditetapkan sebaga tersangka tersebut dapat diperiksa penyidik. ”Jadi, ini masih dalam pendalaman penyidik,” ujar Ketut.

Secara terpisah, Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpandangan, perkara dugaan korupsi yang kini tengah disidik tersebut dapat berdampak pada timbulnya masalah lain di kalangan prajurit. Sebab, kasus itu sangat mendasar karena menyangkut persoalan kesejahteraan prajurit.

”Bagaimana kita mau mendisiplinkan para prajurit kalau kesejahteraan yg seharusnya menjadi hak mereka tidak dipenuhi atau terjadi penyimpangan dalam penyaluran hak mereka. Hal ini bisa menimbulkan masalah di kemudian hari,” tutur Khairul.

Menurut Khairul, prajurit TNI telah dilatih untuk menaati dan melaksanakan kewajiban mereka sebagai seorang prajurit, termasuk taat pada perintah atasan. Maka, hal itu mestinya diganjar dengan merealisasikan hak mereka. Jika tidak, hal itu bisa memengaruhi loyalitas dan memunculkan kekecewaan mereka kepada pimpinan.

Praktik buruk

Selain itu, Khairul menilai kasus korupsi terkait hak atau kesejahteraan prajurit itu memalukan. Sebab, dalam perkara korupsi TWP AD tahun 2013-2020, yang dikorupsi adalah dana milik prajurit yang berasal dari gaji bulanan mereka yang dipotong. Oleh karena itu, praktik semacam ini harus dihilangkan.

”Saya melihat, memang kesejahteraan prajurit saat ini lebih diperhatikan dan lebih baik dibandingkan sebelumnya. Yang selama ini menjadi masalah adalah pada implementasi dalam memenuhi hak-hak mereka,” tutur Khairul.

Oleh karena itu, Khairul mengapresiasi langkah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa yang secara bertahap mencoba memperbaiki praktik buruk di lingkungan TNI. Hal itu, lanjut Khairul, dapat dilanjutkan untuk menelusuri dugaan penyimpangan lainnya, seperti informasi penarikan uang insentif tenaga kesehatan di lingkungan TNI. Tindakan seperti itu diharapkan terus dilakukan sehingga praktik yang bersifat koruptif di lingkungan TNI dapat hilang.

”Saya kira tidak ada jalan lain, ya, harus ada tindakan tegas dan ada komitmen yang kuat dari pimpinan TNI untuk mengakhiri praktik buruk, khususnya yang berdampak pada kesejahteraan prajurit,” kata Khairul.