Mahkamah Konstitusi menganggap pengaturan usia pensiun merupakan kebijakan hukum terbuka. Oleh karena itu, MK menolak permohonan uji materi mengenai perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI.

JAKARTA, KOMPAS — Meskipun diwarnai pendapat berbeda atau dissenting opinion dari empat hakim, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi mengenai perpanjangan usia pensiun bagi prajurit Tentara Nasional Indonesia. MK tetap berpegang bahwa pengaturan mengenai (angka) batas usia pensiun merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy di mana pemerintah dan DPR yang berwenang mengaturnya.

Dari sembilan hakim konstitusi, empat hakim menilai MK sudah selayaknya mengabulkan permohonan tersebut. Sebab, revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, termasuk di dalam pengaturan usia pensiun, membutuhkan waktu yang sangat lama. Fakta persidangan mengungkap revisi UU No 34/2004 tersebut sudah diajukan ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas sejak 2010. Hingga kini, revisi belum juga terlaksana.

Adapun empat hakim konstitusi yang mengajukan DO itu adalah Aswanto (Wakil Ketua MK), Suhartoyo, Wahiduddin Adams, dan Enny Nurbaningsih.

Kasus ini bermula ketika dua pensiunan TNI, yaitu Euis Kurniasih dan Musono (pemohon I dan VI) serta Jerry Indrawan, Hardiansyah, A Ismail Irwan Marzuki, dan Bayu Widiyanto yang merupakan karyawan swasta (pemohon II-V), menguji Pasal 53 dan Pasal 71 Huruf a UU TNI. Pasal 53 mengatur bahwa batas usia pensiun bagi perwira TNI paling tinggi 58 tahun, sedangkan bintara dan tamtama adalah 53 tahun.

Ketentuan tersebut berbeda dengan regulasi yang berlaku untuk anggota Kepolisian Negara RI. Seluruh anggota Polri mengakhiri masa tugasnya pada usia 58 tahun, sedangkan bagi anggota yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat dipertahankan sampai dengan usia 60 tahun. Ini diatur di dalam Pasal 30 Ayat (2) UU 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.

Menurut pemohon, perlu ada penyetaraan usia pensiun antara anggota TNI dan Polri mengingat tugas TNI dan Polri memiliki kesamaan, khususnya dalam kebutuhan kondisi fisik dan kesehatan. Apalagi TNI dan Polri merupakan alat negara dan kekuatan utama yang merupakan satu kesatuan dalam Sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). Pengaturan yang berbeda terhadap hal yang sama (usia pensiun) menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, serta menghilangkan kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Ketentuan usia pensiun di dalam UU TNI dengan demikian bertentangan dengan konstitusi.

 

Terhadap permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan menyatakan batas usia pensiun TNI yang ingin disetarakan dengan Polri merupakan sebuah kebijakan hukum terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang. Ketentuan itu sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kebutuhan, perkembangan yang ada, serta sesuai dengan jenis, spesifikasi, dan kualifikasi jabatan tersebut. Langkah penyetaraan batas usia pensiun tersebut dapat dilakukan melalui legislative review atau revisi UU.

”Namun, meskipun penentuan batas usia pensiun TNI merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, Mahkamah perlu menegaskan kembali bahwa peran yang dilakukan kedua alat negara (TNI dan Polri) memang berbeda. Namun, keduanya memiliki kedudukan kelembagaan yang setara dan strategis serta merupakan kekuatan utama sistem pertahanan keamanan rakyat semesta sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945,” ujar Arief.

MK juga mengutip keterangan Presiden dan DPR yang sudah dibenarkan oleh Panglima TNI dalam sidang sebelumnya bahwa perubahan UU No 34/2004, termasuk mengenai ketentuan batas usia pensiun TNI, telah tercantum dalam Daftar Program Legislasi Nasional RUU Perubahan Kedua Tahun 2020-2024 nomor urut 131. Ini sesuai dengan keputusan DPR Nomor 8/DPR RI/II/2021-2022 tentang Program Legislasi Nasional RUU Prioritas Tahun 2022 dan Prolegnas RUU Perubahan Ketiga Tahun 2020-2024 tertanggal 7 Desember 2021.

”Sehingga demi memberi kepastian hukum, kiranya pembentuk undang-undang harus melaksanakan perubahan UU No 34/2004 dimaksud dengan memprioritaskan pembahasannya dalam waktu yang tidak terlalu lama,” ujar Arief.

Pendapat berbeda

Empat hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih. Keempat hakim tersebut menyatakan bahwa adanya perbedaan usia pensiun tersebut telah menimbulkan ketidakadilan.

”Baik TNI dan Polri menggunakan golongan kepangkatan bintara dan tamtama, tetapi terdapat perbedaan dalam pengaturan batas usia pensiun prajurit dalam golongan kepangkatan bintara dan tamtama di kedua alat negara tersebut, yang sama-sama merupakan kekuatan utama dalam Sishankamrata. Usia pensiun bintara tamtama di kepolisian ditentukan 58 tahun, sementara untuk TNI ditentukan 53 tahun,” kata Enny.

Keempat hakim konstitusi juga menyoroti fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa materi perubahan UU No 34/2004 sudah dimasukkan dalam Prolegnas 2020-2024. Presiden dalam keterangan di persidangan 23 Februari 2022 menyatakan dalam draf perubahan UU TNI ditegaskan bahwa Pasal 53 UU Nomor 24 Tahun 2004 akan diubah ”Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 tahun”.

”Persoalannya adalah apakah perubahan UU No 34/2004 tersebut dapat terselesaikan dalam periode Prolegnas 2020-2024. Hal ini mengingat terhadap rencana perubahan UU No 34/2004 jika dirunut telah masuk tidak hanya dalam Prolegnas saat sekarang, tetapi sudah diajukan sejak Prolegnas 2010-2014, yang dilanjutkan kembali rencana tersebut dalam Prolegnas 2015-2019, tetapi belum juga diprioritaskan untuk dibahas,” kata Enny.

Sementara itu, anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, saat dihubungi secara terpisah mengungkapkan, prajurit TNI dan anggota Polri memang tidak bisa disamakan dalam pengaturan usia pensiunnya. Sebab, anggota Polri saat ini sudah berstatus aparatur sipil negara (ASN) yang tugasnya, antara lain, sebagai administrator. Sementara prajurit TNI terutama pada level bintara dan tamtama adalah fighter.

”Untuk TNI, masih dibutuhkan bukan saja pemikirannya, intelektualnya, melainkan juga fisiknya sehingga klasifikasi umur harus tetap mendapatkan perhatian,” ujarnya.

Apabila nantinya revisi UU TNI dilakukan, TB Hasanuddin menilai perlu ada perubahan usia pensiun khususnya untuk perwira menjadi 60 tahun mengingat usia pensiun ASN juga 60 tahun. Sementara untuk bintara atau tamtama, pihaknya berpendapat usia pensiun yang ideal antara 53 tahun dan 55 tahun. ”Nanti kita lihat,” ujarnya.

Muhamad Haripin, peneliti di Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional , mengatakan, walaupun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan perubahan usia pensiun TNI, jalur revisi UU TNI masih terbuka sebagai upaya penyetaraan usia pensiun perwira TNI dengan Polri. ”Jalur MK itu jalur hukum. Dan MK sudah menyatakan, aturan yang ada saat ini tidak menyalahi UUD,” kata Haripin.

Namun, dia juga mengingatkan masih ada jalur politik. Dalam keputusan MK disebutkan bahwa saat ini tengah ada upaya di DPR untuk merevisi UU No 34/2004 tentang TNI. Haripin mengatakan, di jalur politik ini, anggota DPR dan pemerintah bisa menegosiasikan poin-poin perubahan UU TNI dengan berbagai alasan.

”Kita lihat nanti apakah pemerintah dan DPR tetap akan menyetarakan usia pensiun perwira TNI meski MK sudah menyatakan begitu,” katanya.

Haripin mengatakan, kalau sampai ada pembahasan penyetaraan usia perwira TNI dan Polri itu, patut dicurigai ada kepentingan politik lain di luar urusan kebutuhan organisasi TNI dan pemanfaatan SDM perwira secara lebih maksimal. ”Tidak tertutup kemudian, nanti penyetaraan itu akan di-judicial review masyarakat sipil,” kata Haripin.