Surat presiden terkait revisi Undang-Undang ITE telah dikirim ke DPR sejak akhir 2021, tetapi belum juga ada pembahasan RUU ITE. Pembentukan panitia khusus untuk membahas revisi UU itu bisa menjadi solusi.

 

JAKARTA, KOMPAS — Daripada menunggu pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi selesai di Komisi I DPR, pimpinan DPR diharapkan dapat memikirkan alternatif pembahasan di luar komisi, seperti di Badan Legislasi atau panitia khusus. Pembahasan RUU di luar komisi dapat menjadi jalan keluar bagi percepatan pembahasan legislasi di DPR. Utamanya untuk legislasi yang menjadi kebutuhan publik, seperti revisi UU ITE.

Dalam rapat paripurna, Selasa (29/3/2022), Surat presiden (surpres) mengenai revisi UU ITE belum juga dibacakan. Adapun surpres itu telah dikirimkan pemerintah kepada DPR pada akhir 2021. Pimpinan DPR juga belum menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR untuk menentukan alat kelengkapan Dewan (AKD) mana yang akan ditugasi untuk membahas RUU tersebut. Di satu sisi, publik menunggu pembahasan RUU ITE.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Bamus DPR kemungkinan baru akan dilakukan April 2022. Salah satu alasan lain pembahasan revisi II ITE belum dilakukan ialah karena Komisi I yang memiliki lingkup tugas komunikasi dan informatika masih memiliki pekerjaan rumah yang belum tuntas, salah satunya RUU PDP (Kompas, 21/3/2022).

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Fajri Nursyamsi, Selasa, mengatakan, pembahasan atau pembagian legislasi setiap komisi berbasis bidang kerja. Persoalan muncul ketika RUU PDP dan RUU ITE yang sama-sama menjadi kebutuhan publik berada dalam bidang kerja yang sama, yakni di bawah Komisi I DPR. Apalagi, ada kesepakatan satu komisi hanya dapat menuntaskan satu RUU yang sedang dibahas sebelum mengusulkan pembahasan RUU lain.

”Pilihannya dua, membentuk panitia kerja yang berbeda di dalam satu komisi. Satu panja membahas RUU PDP dan satu panja lainnya membahas RUU ITE. Ini memang akan menambah beban kerja DPR. Atau, kedua, jika mau membentuk pansus juga bisa sekalipun harus dipertimbangkan bahwa pansus itu multikomisi,” katanya.

Opsi untuk membahas RUU ITE dan RUU PDP di Komisi I DPR dengan membentuk dua panja berbeda sulit diwujudkan sebab dua RUU itu sama-sama usulan pemerintah. Sebelumnya, ada ketentuan setiap komisi hanya dapat membahas satu RUU usulan pemerintah dan satu usulan DPR. Namun, karena dua-duanya usulan pemerintah dan salah satunya belum selesai, maka pembahasan harus bergantian.

Menurut Fajri, situasi ini seharusnya dapat diperkirakan oleh DPR dalam perencanaan legislasi. Kalau pun pembentukan dua panja tidak dapat dilakukan, maka pansus dengan berbagai pertimbangan dapat dijadikan opsi selanjutnya. Dengan pembahasan lintas komisi di pansus, ada persoalan teknis yang juga harus diantisipasi karena yang membahas tidak hanya anggota komisi yang membawahi isu itu secara langsung, tetapi melibatkan anggota komisi lainnya.

”Pansus bisa saja dilakukan selama isunya (isu RUU ITE) bisa didekati dengan pendekatan lintas sektor. Sebab, salah satu syarat pembentukan pansus yang paling substantif ialah pembahasannya lintas komisi. Harus ditelaah juga apakah RUU ITE ini lintas sektoral atau terkait pada satu bidang pembahasan saja,” kata Fajri.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Trimedya Panjaitan, mengatakan, pembahasan RUU ITE dapat pula menjadi domain dari Komisi III karena RUU itu juga menyangkut hukum yang menjadi bidang pembahasan Komisi III. Namun, saat ini Komisi III juga sedang menyelesaikan RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. Selain itu, masih ada revisi UU Narkotika dan RUU Pemasyarakatan.

”Kecuali jika RUU ITE itu dibahas di dalam pansus, itu akan lebih bagus. Karena dengan dibahas di pansus, fraksi akan mengirim nama-nama anggota yang akan turut membahas RUU tersebut. Karena orang-orang yang berlatar belakang hukum ada juga yang berada di luar Komisi III. Oleh karena itu, seharusnya pembahasan oleh pansus tidak perlu dikhawatirkan,” ujarnya.

Jika diserahkan pembahasannya pada setiap komisi, Trimedya mengakui, saat ini Komisi III juga sedang fokus menuntaskan RUU yang terkait langsung dengan mitra kerjanya di bidang hukum dan keamanan.