Bagi para pekerja, membayar iuran Jaminan Hari Tua (JHT) adalah sebuah kewajiban. Untuk setiap pekerja, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan mengenakan iuran 5,7% dari total upah—berasal dari komponen upah pokok dan tunjangan tetap—yang dikutip 3,7% dari pekerja dan 2% dari pemberi kerja. Bisa dibayangkan, betapa besar amanah yang diemban oleh BPJS Ketenagakerjaan yang mengelola dana JHT milik lebih dari 13 juta pekerja di 290.000 perusahaan. Hingga akhir 2015, total dana JHT mencapai Rp181,97 triliun, atau merupakan mayoritas dari total aset BPJS Ketenagakerjaan sebesar Rp203 triliun. Namun, Berdasarkan laporan keuangan audit 2015, pendapatan investasi Dana Jaminan Sosial (DJS) milik peserta program Jaminan Hari Tua (JHT) anjlok 75,6%. Pendapatan investasi turun dari Rp19,99 triliun pada 2014, menjadi Rp4,87 triliun akhir tahun lalu. Pendapatan investasi itu setara 2,9% jika dibandingkan dengan aset netto akhir tahun yang dapat diinvestasikan sebesar Rp167,66 triliun. Penurunan pendapatan investasi yang begitu drastis tersebut tentu memicu pertanyaan besar, apa yang salah dengan cara me ngelola dana JHT BPJS ketenagakerjaan? Apakah manajemen bisa menjamin, kejadian serupa tidak terjadi lagi tahun ini, mengingat nasib dana belasan juta pekerja–belum termasuk keluarganya--ada di sana? Setidaknya, menurut Dumoly F. Pardede, Deputi Komisoner Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan, terda pat tiga kriteria yang menentukan kualitas imbal hasil pengelola dana jangka panjang seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Dana Pensiun. Kriteria itu meliputi kualitas pengurus, seleksi investasi serta prosedur penempatan investasi yang benar. Bila kinerja pendapatan investasi turun pasti ada kekeliruan dalam tiga kriteria tersebut. Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto, menyebutkan imbal hasil investasi BPJS Ketenagakerjaan mencapai 8,76%. Namun, setelah dikurangi klaim JHT, dana operasional dan beban investasi, imbal hasil tahunan setara 6,89%. Tahun ini, hasil investasi akan coba digenjot jadi 9,4% dan evaluasi pengeloaan dana dilakukan tiap tiga bulan dengan review setiap bulan. Berdasarkan data OJK dana pensiun yang memiliki karakteristik mendekati BPJS Ketenagakerjaan sepanjang 2015 memperoleh imbal hasil investasi sebesar 8,3%. Dari ratarata ini para pengelola dana pensiun manfaat pasti membukukan imbal hasil tertinggi yang mencapai 9,5%, dana pensiun iuran pasti membukan imbal hasil 6,1% sedangkan dana pensiun lembaga keuangan mencatatkan imbal hasil 5,8%. Sejauh ini, pernyataan manajemen BPJS Ketenagakerjaan belum menjamin rasa aman pekerja, termasuk perusahaan yang juga berkontribusi pada iuran jaminan hari tua tersebut. BPJS Ketenagakerjaan dituntut memilih manajer investasi yang lebih kredibel karena selama ini dianggap kurang transparan dalam pengelolaan dan penempatan investasi Jaminan Hari Tua. Indikasi ini tampak dari informasi kompetensi pengelola dana yang bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan tidak mudah diakses oleh publik sehingga pengawasan yang dapat dilakukan menjadi lebih lemah. Manajemen BPJS Ketenagakerjaan seharusnya menjelaskan dasar perhitungan dalam pengelolaan dananya sehingga imbal hasil yang diberikan kepada peserta dapat diuji silang. Niat manajemen untuk secara rutin melakukan evaluasi pengelolan dana juga tetap harus diikuti oleh upaya-upaya serius menjelaskan ke publik, khususnya para pekerja yang menjadi peserta aktif secara rutin, dengan memanfaatkan berbagai media. Selama ini, peserta memang mendapatkan laporan pengelolaan dana rutin setiap tahun, tetapi hanya sebatas berapa imbal hasil yang bisa diberikan. Terobosan yang lebih revolusioner adalah keniscayaan karena pemangku kepentingan BPJS Ketenagakerjaan adalah para pekerja yang merupakan tulang punggung dan penggerak roda perekonomian. Perlindungan akan masa depan mereka di hari tua, bukanlah amanah main-main. Penting sekali publik untuk terus terlibat dalam pengawasan BPJS Ketenagakerjaan mengingat dana yang dikelola demikian besar. Manajemen pun juga harus terbuka terhadap kecerewetan pemangku kepentingan, mengingat kuasa dari lembaga ini dalam memungut iuran dari pekerja tanpa kecuali. Kuasa yang begitu besar, harus diimbangi pengawasan yang lebih besar agar tertutup semua celah penyimpangan.   Niat manajemen BPJS Ketenagakerjaan untuk secara rutin melakukan evaluasi pengelolan dana juga tetap harus diikuti oleh upaya-upaya serius menjelaskan ke publik. Penting sekali publik untuk terus terlibat dalam pengawasan BPJS Ketenagakerjaan mengingat dana yang dikelola demikian besar.