EKONOMI Indonesia diperkirakan akan tumbuh 5,0% di 2022 dan naik menjadi 5,2% di 2023. Pertumbuhan terjadi lantaran membaiknya permintaan domestik dan kondisi perekonomian dalam negeri. 

Demikian menurut laporan Asian Development Bank (ADB) yang dirilis dalam Asian Development Outlook 2022: Indonesia secara virtual, Rabu (6/4). 

Direktur ADB untuk Indonesia Jiro Tominaga mengungkapkan, ekonomi Indonesia terus mengalami perbaikan setelah mengalami kemerosotan di triwulan III 2021. Bahkan, Indonesia mampu menutup tahun dengan keluaran yang lebih tinggi daripada masa prapandemi di 2019.

"Pertumbuhan terjadi di berbagai bidang dan akan menguat pada 2022 seiring normalisasi kegiatan ekonomi," ujar Jiro.

Dia menilai, pengeluaran rumah tangga dan investasi memiliki momentum yang kuat di 2022. Hal itu bisa terlihat kala varian omikron merebak di Tanah Air, dua komponen itu hanya terdampak minim terhadap pertumbuhan.

"Namun, apabila invasi Rusia di Ukraina terjadi berlarut-larut, hal ini dapat berdampak signifikan terhadap inflasi dan keseimbangan fiskal," tambah Jiro.

ADB, imbuhnya, dalam laporan teranyar bahwa pengeluaran konsumen dan kegiatan manufaktur di Indonesia terus tumbuh karena naiknya pendapatan, pekerjaan, dan optimisme. Investasi terbantu oleh naiknya permintaan, perbaikan iklim investasi dan iklim berusaha, serta pemulihan kredit.

Di lain sisi, inflasi yang mencapai rata-rata 1,6% di 2021 diperkirakan akan naik menjadi 3,6% pada 2022. Itu karena pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dan harga komoditas yang lebih tinggi, tetapi masih akan berada dalam rentang target Bank Indonesia. 

Inflasi diperkirakan akan turun ke 3,0% pada 2023 seiring meredanya kenaikan harga komoditas. Namun, harga yang lebih tinggi untuk ekspor komoditas Indonesia akan mengimbangi turunnya volume ekspor, sehingga menjaga transaksi berjalan tetap imbang dan menghasilkan tambahan pendapatan.

Untuk jangka menengah, laporan tersebut merekomendasikan agar Indonesia memanfaatkan digitalisasi demi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan, yang akan membantu Indonesia mencapai sasarannya, yaitu meningkatkan PDB per kapita ke taraf negara berpenghasilan tinggi pada 2045. 

Terkait hal tersebut, pelaku usaha akan memerlukan bantuan agar dapat meningkatkan transfer teknologi, mendorong penelitian dan pengembangan untuk inovasi, serta mengakses angkatan kerja yang melek teknologi.

"Beberapa kebijakan yang penting untuk mendukung hal ini antara lain adalah investasi pemerintah dalam infrastruktur digital, insentif fiskal, dan reformasi regulasi," kata Jiro. 

Di kesempatan yang sama, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomimakro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Abdurohman mengungkapkan, pihaknya tetap optimistis ekonomi Indonesia akan tumbuh sesuai dengan asumsi awal. 

"Kami di BKF tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 4,8% hingga 5,5% dengan titik tengah 5,2% di 2022," ujarnya. 

Abdurohman juga menyampaikan, konflik antara Rusia dan Ukraina berdampak minim bagi Indonesia. Namun demikian, dia tetap memastikan pemerintah terus memonitor perkembangan geopolitik dan dampaknya ke Tanah Air. 

Pasalnya, tak bisa dipungkiri akibat konflik tersebut sejumlah harga komoditas global mengalami kenaikan. Dalam konteks itu, kata Abdurohman, Indonesia menerima dampak positif sekaligus menerima potensi negatif. 

Sebab, dari kenaikan harga itu Indonesia mengalami peningkatan pendapatan. Di lain sisi, ada ancaman kenaikan harga di dalam negeri yang juga berpotensi mengerek tingkat inflasi. 

Karenanya, pemerintah berupaya menelurkan kebijakan yang dapat menyeimbangkan fenomena tersebut. "Menyoal defisit maksimal 3% di 2023, bukan berarti kita tidak mendukung pemulihan sehingga dikatakan kebijakannya akan kontraksi," imbuhnya.

"Defisit akan tetap tinggi, dengan batas maksimal 3%. Itu berarti pemerintah tetap mendukung pemulihan ekonomi dan melindungi masyarakat," pungkas Abdurohman. (OL-6)