JAMBI, KOMPAS — Praktik pesan antar atau delivery order yang marak dalam pengangkutan hasil batubara di Jambi menimbulkan rentetan masalah berkepanjangan. Praktik itu perlu dibenahi. Pemegang izin usaha pertambangan harus bertanggung jawab atas distribusi hasil tambangnya.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perhubungan Provinsi Jambi Ismed Wijaya mengatakan, ada sekitar 6.000 pengangkut batubara beroperasi di Jambi. Dari jumlah tersebut, hanya 1.500-an unit yang telah terdata pemerintah daerah. ”Selebihnya belum terdata,” ujarnya, Rabu (6/4/2022).
Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jambi Komisaris Besar Dhafi mengatakan, banyaknya angkutan tidak terdata itu disebabkan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) menerapkan sistem pesan antar dalam pendistribusian hasil tambang. Dengan menerapkan praktik tersebut, pemilik tambang melepas tanggung jawabnya dari pemenuhan bahan bakar minyak bagi jasa angkutan.
Padahal, kata Dhafi, sesuai Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2817 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Kaidah Teknik Pertambangan yang Baik, jasa pengangkutan hasil tambang harus terintegrasi dalam IUP. ”Pemegang IUP harus bertanggung jawab memenuhi kebutuhan BBM bagi usaha pengangkutan hasil tambangnya hingga ke pelabuhan,” ujarnya.
Selama ini, pemegang IUP tak menyuplai BBM)yang dimaksud. Akibatnya, sopir angkutan batubara memenuhi stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU) guna membeli solar bersubsidi.
Hal itu menciptakan rentetan persoalan. Antrean panjang memenuhi SPBU, warga yang semestinya berhak membeli solar subsidi jadi tidak kebagian, dan jalan negara jadi cepat rusak karena dipadati angkutan batubara dengan muatan berlebih. Yang lebih parah, kerap terjadi kecelakaan lalu lintas karena angkutan batubara ngebut.
Ia mendorong pemerintah daerah tegas memberlakukan penyediaan BBM di mulut tambang bagi seluruh angkutan sehingga para sopir tidak lagi mengantre di SPBU untuk membeli solar bersubsidi.
Dalam rapat tindak lanjut penyelesaian permasalahan angkutan batubara di Jambi, Senin lalu, Gubernur Jambi Al Haris juga mengeluhkan makin banyaknya angkutan batubara yang belum terdata itu. Ia bahkan mensinyalir ada praktik ekspor liar batubara. ”Ada kontrak-kontrak ke luar negeri yang kami tidak tahu. Ini perlu kami sikapi,” katanya.
Untuk itu, ia mendorong dinas perhubungan segera mengupayakan pendataan lengkap. Ia pun meminta Direktorat Lalu Lintas Polda Jambi melaksanakan razia.
Manajer Kajian dan Penguatan Informasi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi Dwi Nanto mengatakan, persoalan antrean panjang biosolar di SPBU akibat dipenuhi angkutan batubara dan kerusakan jalan negara terjadi akibat ketidaktegasan pemerintah mengatur sektor ekstraktif. Praktik tambang batubara oleh industri besar juga menutup akses dan hak kelola bagi masyarakat.
Ia pun meminta sudah saatnya pemerintah cepat bergeser pada sektor-sektor pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan itu secara langsung akan membuka akses dan meningkatkan ekonomi bagi masyarakat.