ANGGOTA Komisi VII DPR RI Rofik Hananto menyesalkan ketidak konsistenan pemerintah dalam menetapkan kebijakan terkait upaya menjamin ketersediaan minyak goreng dan menstabilkan harga minyak goreng curah sebesar Rp14.000 per liter.
"Yang pertama dari segi konten yaitu berbagai ralat tentang isi kebijakan, terutama apa saja yang dilarang ekspor. Yang awalnya CPO (minyak sawit mentah) dilarang ekspor, ternyata hanya bahan baku minyak goreng (RBD Palm Olein) saja yang dilarang. Lalu kemudian ada ralat berikutnya bahwa memang CPO yang dilarang ekspor," kata Rofik dalam keterangan tertulis yang diterima Parlementaria, Sabtu (30/4/2022). Hal ini, menurut Rofik, mengakibatkan pemangku kepentingan di industri minyak goreng gagal memahami keinginan pemerintah. Salah satu yang terdampak adalah adanya laporan pabrik kelapa sawit (PKS) yang mulai menolak hasil buah sawit petani. Kemudian, menurut Rofik, sikap antara Presiden Jokowi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartanto menunjukkan pesan yang berbeda. Terlihat tidak adanya kerja sama dan komunikasi yang tuntas di antara penyelenggara negara.
"Ada baiknya ketika Presiden dan Menteri terkait seperti Menko Perekonomian, Menperin, dan Mendag berada dalam satu forum ketika menyampaikan kebijakannya, sehingga langsung bisa dikomunikasikan detail pelaksanaan kebijakannya," ujar Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini. Rofik menegaskan pelarangan ekspor ini apapun bentuknya adalah bertolak belakang dengan kebijakan ekonomi di dunia yang sudah mengglobal saat ini. Tidak ada satu negara pun, tegasnya, yang tidak membutuhkan negara lain dalam memenuhi kebutuhannya. Apalagi produk CPO ini adalah komoditas yang sudah diperdagangkan secara internasional selama ini. Karena itu, Rofik menilai kebijakan ini tidak solutif. "Apa kata dunia kalau CPO ini dilarang diekspor. Karenanya pelarangan ekspor ini dapat dipandang cuma sekadar gimmick untuk meraih simpati publik dan upaya menutupi kekurangan pemerintah dalam kemampuannya mengeksekusi kebijakan. Oleh karena itu setop mempermainkan rakyat dan mulai membuat kebijakan yang realistis dan solutif," jelas legislator dapil Jawa Tengah VII tersebut. Menurut Rofik, kebijakan DMO untuk CPO ini sudah tepat karena kebutuhan minyak goreng untuk dalam negeri cukup dipenuhi 20 persen saja dari total produksi CPO. Tinggal kebijakan harganya disesuaikan untuk mengurangi kebocoran ekspor, yaitu pemerintah membeli dengan harga yang bagus sehingga pengusaha dan petani dapat menikmati harga kenaikan komoditasnya di pasar internasional. “Terus uangnya dari mana? Bisa dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang jumlah dananya meningkat seiring dengan harga komoditas CPO. Apa salahnya sebagian dana tersebut dinikmati juga oleh rakyat dalam bentuk minyak goreng dengan harga yang terjangkau," tutup Rofik. (OL10)