Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Tutuka Ariadji, serta Kepala BPH Migas Erika Retnowati menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VII DPR RI, hari ini, Selasa (29/03/2022). RDP tersebut membahas mengenai kelangkaan BBM jenis solar yang terjadi di sejumlah daerah, menjelang Ramadhan tahun ini. Ketua Komisi VII Sugeng Suparwoto membuka Rapat Dengar Pendapat (RDP). Saat membuka rapat, pihaknya menghendaki penjelasan terkait sistem distribusi BBM. "Komisi VII perlu mendapat penjelasan secara komprehensif mengenai kuota dan sistem distribusi BBM agar diperoleh solusi yang optimal, yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat," kata Sugeng saat membuka RDP. Kepala BPH Migas Erika Retnowati, menyampaikan permintaan bahan bakar solar subsidi mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi solar disebabkan oleh menggeliatnya kegiatan ekonomi pasca pandemi Covid-19. "Sejak kuartal IV-2021, di mana level PPKM sudah diturunkan menjadi level I, terjadi peningkatan konsumsi Jenis BBM tertentu atau JBT [BBM bersubsidi] dan tren konsumsinya terjadi sampai dengan saat ini. Artinya terus meningkat dan pada Maret ini permintaan masih tinggi," papar Erika dalam RDP dengan Komisi VII DPR RI, Selasa (29/03/2022). Selain itu, peningkatan harga komoditas pertambangan seperti batu bara dan perkebunan turut meningkatkan permintaan logistik. Kondisi ini memicu meningkatnya konsumsi solar. Di sisi lain, disparitas harga antara solar subsidi dan non-subsidi semakin melebar. Sebagai catatan, harga Solar subsidi kini masih dibanderol Rp 5.150 per liter, sementara harga Solar non subsidi seperti Dexlite kini sudah mencapai Rp 12.950 per liter. Hal tersebut mendorong adanya pergeseran konsumen untuk mengkonsumsi solar subsidi daripada solar non-subdisi. "Melebarnya diparitas harga tersebut menyebabkan pergeseran konsumen yang tadinya konsumsi solar non-subsidi ke solar subsidi. Selain itu, adanya potensi penyalahgunaan JBT. Jadi di beberapa tempat memang kami menemukan adanya penimbunan dan pengoplosan atas JBT solar ini," imbuhnya . PT Pertamina (Persero) meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali formula harga dasar Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi jenis solar. Nicke Widyawati Direktur Utama Pertamina menjelaskan, besaran subsidi tetap solar sebesar Rp 500 per liter saat sudah tidak mencerminkan kondisi nyata di lapangan, terutama ketika selisih dengan harga pasar atau solar non subsidi kini sudah sangat jauh yaitu mencapai Rp 7.800 per liter. Oleh karena itu, subsidi tetap Rp 500 per liter sudah tidak mencerminkan kondisi di lapangan. Walaupun selebihnya Rp 7.300 per liter akan diberikan pemerintah dalam bentuk kompensasi ke Pertamina, akan tetapi, hal ini juga berdampak pada arus kas Pertamina karena pemberian kompensasi memerlukan waktu. "Mekanisme hari ini untuk Solar itu ada subsidi tetap 500 rupiah per liter. Padahal selisihnya dengan harga pasar Rp 7.800 per liter. Sisa Rp 7.300 per liter dalam bentuk kompensasi yang kemudian dari sisi penetapan angkanya nanti penggantiannya berbeda, ini butuh waktu, sehingga ini yang menggerus cash flow Pertamina. Mungkin mekanisme ini perlu di-review ulang agar tidak memberatkan," urai Nicke. Senada dengan Erika, Nicke mengamini bahwa disparitas harga kedua jenis solar menyebabkan penyalahgunaan. Oleh karena itu, Nicke mengusulkan digitalisasi melalui penggunaan aplikasi My Pertamina agar pengguna solar subsidi tepat sasaran. "Diperlukan ketentuan pemerintah/BPH Migas yang lebih detail terkait segmen konsumen yang berhak karena kuota Solar subsidi tahun 2022 turun 5 persen dibandingkan 2021," ungkap Nicke. Nicke mencatatkan, dari sisi permintaan, konsumsi solar subsidi telah melebihi 10 persen dari kuota yang telah ditetapkan pemerintah. Berdasarkan data Kementerian ESDM, realisasi penyaluran Solar subsidi hingga Februari 2022 mencapai 2,49 juta kilo liter (kl), atau 10 persen lebih tinggi dari kuota yang ditetapkan hingga Februari 2022. Hingga akhir tahun pemerintah juga memproyeksikan, penyerapan Solar subsidi melampaui 14 persen dari kuota yang telah ditetapkan sebesar 15,1 juta kl atau mencapai 16,002 juta kl hingga akhir tahun ini.