Merdeka.com - Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah untuk segera membayarkan utang kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) senilai Rp100 triliun. Hal ini untuk mencegah krisis likuiditas Pertamina yang berpotensi mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM Nasional.

"Komisi VII DPR RI mendesak pemerintah agar kompensasi kepada Pertamina yang bernilai Rp 100 triliun segera dibayarkan guna mencegah krisis likuiditas Pertamina yang dapat mengganggu pengadaan dan penyaluran BBM Nasional," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno saat membacakan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Ditjen Migas, BPH Migas, dan Pertamina, ditulis Rabu (30/3).

Selain itu, Komisi VII DPR juga mendukung perubahan komposisi pemberian BBM subsidi dan kompensasi dengan meningkatkan porsi BBM subsidi yang lebih besar.

Komisi VII juga mendesak supaya Dirjen Migas Kementerian ESDM menyiapkan roadmap dan infrastruktur cadangan minyak strategis atau Strategic Petroleum Reserves (SPR) guna mewujudkan cadangan BBM Nasional dalam menunjang ketahanan energi.

Sebelumnya, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati mengungkap besaran nilai subsidi solar yang ditanggung pemerintah untuk setiap liternya. Hal itu disampaikan NIcke dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta, Selasa (29/3)

Nicke mengaku, saat ini, nilai subsidi yang ditanggung pemerintah telah melebihi harga jual solar untuk setiap liternya. Yakni, mencapai Rp7.800 per liter. Subsidi ini jauh lebih besar dibanding harga solar yang kini masih dijual Rp5.150 per liter, sementara harga solar-non subsidi seperti dexlite kini menembus Rp12.950 per liter.

"Sekarang ini setiap orang membeli per liter solar bersubsidi negara mensubsidi Rp7.800 per liter. Jadi, nilai subsidi lebih mahal dari harga jualannya Rp5.150 per liter," ungkapnya.

Nicke mengatakan, tingginya beban subsidi yang ditanggung negara akibat berlanjutnya tren kenaikan harga minyak dunia pasca meningkatnya permintaan seiring pulihnya perekonomian global. Kemudian, hal ini diperparah oleh ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang tak kunjung usai.