Penyelesaian RUU PDP diharapkan bisa dituntaskan sebelum pergelaran G20 pada November mendatang. Indonesia menjadi satu-satunya negara anggota G20 yang belum memiliki UU PDP. JAKARTA, KOMPAS — Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat kembali melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi. Dalam rapat internal yang berlangsung di Kompleks Senayan, Jakarta, Senin (23/5/2022), mereka membandingkan kedudukan badan dan lembaga negara di Indonesia sebagai acuan dalam menentukan lembaga pengawas perlindungan data. Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Junico Bisuk Partahi Siahaan, mengatakan, rapat internal dilakukan sebelum ada pembahasan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Rapat internal itu membahas lembaga pengawas perlindungan data pribadi yang hingga kini masih belum ada titik temu antara DPR dengan Pemerintah. Saat rapat internal, lanjutnya, Komisi I DPR membedah kedudukan beberapa badan dan lembaga negara, di antaranya Komisi Informasi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Ombudsman, serta Badan Siber dan Sandi Negara. ”Mana yang lebih independen, mandiri, dan bertanggung jawab kepada Presiden,” ujar pria yang akrab disapa Nico Siahaan tersebut. Menurut Nico, semakin independen lembaga pengawas perlindungan data, semakin baik dampaknya. Sebab, lembaga pengawas itu tidak akan mendapat banyak intervensi dari berbagai pihak. Apalagi, lembaga pengawas harus bisa menjadi wasit yang adil ke lembaga swasta dan pemerintah yang memiliki data pribadi. Komisi I DPR berharap agar RUU PDP bisa segera disahkan. Titik temu antara DPR dan pemerintah terkait lembaga pengawas data pribadi harus segera diselesaikan. Penyelesaiannya pun diharapkan bisa dituntaskan sebelum pergelaran G20 pada November mendatang karena Indonesia menjadi satu-satunya negara anggota G20 yang belum memiliki UU PDP. ”Kalau ada pembicaraan yang sangat sensitif seperti lembaga pengawas agar Menkominfo tidak mewakilkan rapat sehingga pembahasannya tidak mundur lagi,” tutur Nico. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar mengatakan, DPR dan pemerintah harus bisa menjamin kelanjutan pembahasan RUU PDP. Mereka perlu mengakselerasi proses pembahasan dengan tetap memperhatikan keterbukaan dan partisipasi, serta memastikan kualitas materi legislasinya agar dapat diimplementasikan secara efektif. Selain itu, DPR dan Pemerintah perlu memastikan pembentukan otoritas lembaga pengawas PDP yang independen, mengingat hal itu merupakan fondasi memastikan efektif dan optimalnya implementasi UU PDP di Indonesia. Praktik terbaik implementasi UU PDP di berbagai negara, yang mayoritas memiliki otoritas PDP independen, juga dapat menjadi rujukan dalam pengembangan otoritas ini. ”Model, format, dan bentuk otoritas PDP yang independen, dapat belajar dan mengacu pada praktik terbaik lembaga‐lembaga negara independen yang sudah ada, baik dari segi kedudukan, pertanggungjawaban, rekrutmen dan pemberhentian komisioner, tugas dan fungsi, wewenang yang diberikan, sistem kepegawaian, maupun penganggarannya,” tutur Wahyudi. Di sisi lain, lanjutnya, komitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU PDP harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan pada setiap proses pembicaraan terkait dengan arus data lintas batas negara, dalam Forum G20 guna menjamin pelindungan data pribadi warga negara Indonesia.