Mendagri menunjuk Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Sementara Menko Polhukam menyebut anggota TNI aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. Masukkan kata kunci pencarian... logo Kompas.id TEKS › Politik & Hukum›Pemerintah Tetap Tunjuk TNI... PEMERINTAHAN DAERAH Pemerintah Tetap Tunjuk TNI Aktif Menjadi Penjabat Kepala Daerah Mendagri menunjuk Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Sementara Menko Polhukam menyebut anggota TNI aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO, NIKOLAUS HARBOWO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO 24 Mei 2022 05:25 WIB · 7 menit baca Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. KOMPAS/HARYO DAMARDONO Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tetap menunjuk anggota TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah. Tak hanya melanggar undang-undang, ketetapan itu juga telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga rawan digugat. Penunjukan anggota TNI aktif juga dikhawatirkan akan mengganggu netralitas birokrasi. Dari 43 penjabat bupati dan wali kota yang dilantik sepanjang Mei ini, terdapat satu orang yang merupakan anggota TNI aktif. Melalui Keputusan Nomor 113.81-1164 Tahun 2022, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Andi menggantikan Bupati Seram Bagian Barat Yus Akerina yang habis masa jabatannya pada 22 Mei. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/5/2022), mengaku belum mendapat informasi terkait pelantikan Andi sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, yang merupakan kabinda. Namun, ia menegaskan, prajurit TNI aktif seharusnya tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. “Nanti akan saya cek. Aturannya enggak boleh,” ujar Mahfud. Ketentuan prajurit TNI aktif dilarang menduduki jabatan sipil diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ketentuan tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/ 2022, Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada 20 April lalu. Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang itu membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif. Selain itu, di dalam pertimbangan putusan, MK juga memerintahkan kepada pemerintah agar menerbitkan aturan teknis mengenai pengisian penjabat kepala daerah yang transparan. Hakim Konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengingatkan, pertimbangan hukum suatu putusan bersifat ratio decidendi atau tak dapat dipisahkan dengan amar putusan. Sifat amar putusan dan pertimbangan hukum sama-sama final dan mengikat bagi pembentuk undang-undang. (Kompas, 18/5/2022). Saat ditanya lebih lanjut mengenai perintah MK agar pemerintah membuat aturan turunan soal pengisian pejabat kepala daerah, Mahfud menuturkan bahwa pemerintah sebenarnya telah membuat prosedur pengisian penjabat lebih dari yang diputuskan oleh MK. “Kalau MK, kan, suruh membuat prosedur. Ini lebih lagi. Semua ini melalui TPA, tim penilai akhir, yang itu sebenarnya tim penilaian sudah tingkat atas. Ini semua dibawa ke Presiden, lalu dinilai bersama,” katanya. TEKS › Politik & Hukum›Pemerintah Tetap Tunjuk TNI... PEMERINTAHAN DAERAH Pemerintah Tetap Tunjuk TNI Aktif Menjadi Penjabat Kepala Daerah Mendagri menunjuk Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Sementara Menko Polhukam menyebut anggota TNI aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO, NIKOLAUS HARBOWO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO 24 Mei 2022 05:25 WIB · 7 menit baca Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. KOMPAS/HARYO DAMARDONO Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tetap menunjuk anggota TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah. Tak hanya melanggar undang-undang, ketetapan itu juga telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga rawan digugat. Penunjukan anggota TNI aktif juga dikhawatirkan akan mengganggu netralitas birokrasi. Dari 43 penjabat bupati dan wali kota yang dilantik sepanjang Mei ini, terdapat satu orang yang merupakan anggota TNI aktif. Melalui Keputusan Nomor 113.81-1164 Tahun 2022, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Andi menggantikan Bupati Seram Bagian Barat Yus Akerina yang habis masa jabatannya pada 22 Mei. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/5/2022), mengaku belum mendapat informasi terkait pelantikan Andi sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, yang merupakan kabinda. Namun, ia menegaskan, prajurit TNI aktif seharusnya tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. “Nanti akan saya cek. Aturannya enggak boleh,” ujar Mahfud. Mahfud MD KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO Mahfud MD Ketentuan prajurit TNI aktif dilarang menduduki jabatan sipil diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ketentuan tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/ 2022, Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada 20 April lalu. Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang itu membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif. Selain itu, di dalam pertimbangan putusan, MK juga memerintahkan kepada pemerintah agar menerbitkan aturan teknis mengenai pengisian penjabat kepala daerah yang transparan. Hakim Konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengingatkan, pertimbangan hukum suatu putusan bersifat ratio decidendi atau tak dapat dipisahkan dengan amar putusan. Sifat amar putusan dan pertimbangan hukum sama-sama final dan mengikat bagi pembentuk undang-undang. (Kompas, 18/5/2022). https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/a1rpfW5h98H5ndkBosUXC5w6Xcw=/1024x1340/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F11%2F10a126aa-abdf-46cd-afc4-e76400013933_png.png Saat ditanya lebih lanjut mengenai perintah MK agar pemerintah membuat aturan turunan soal pengisian pejabat kepala daerah, Mahfud menuturkan bahwa pemerintah sebenarnya telah membuat prosedur pengisian penjabat lebih dari yang diputuskan oleh MK. “Kalau MK, kan, suruh membuat prosedur. Ini lebih lagi. Semua ini melalui TPA, tim penilai akhir, yang itu sebenarnya tim penilaian sudah tingkat atas. Ini semua dibawa ke Presiden, lalu dinilai bersama,” katanya. Baca juga : Gubernur Beberapa Provinsi Menunda Pelantikan Penjabat Wali Kota/Bupati Selanjutnya, tutur Mahfud, MK hanya memutuskan untuk mempertimbangkan membuat mekanisme yang lebih terbuka. Pemerintah pun menjalankan hal tersebut. Usulan diajukan secara terbuka oleh gubernur, kemudian diputuskan oleh TPA. “Seharusnya TPA itu hanya untuk pejabat-pejabat tertentu, pejabat eselon 1. Ini kepala daerah pun di-TPA, sehingga ini sebenarnya sudah lebih dari sekadar prosedur yang dipertimbangkan, diminta dipertimbangkan, oleh MK. Bukan diperintahkan oleh MK,” ujar Mahfud. Mengacu perpres Berkaitan dengan kabinda yang mengisi posisi penjabat, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menjelaskan, hal tersebut sebenarnya merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2020 tentang Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam aturan itu disebutkan, kabinda merupakan jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama setara pejabat eselon IIA. Posisi kabinda setara kepala biro dan inspektur. ”Dengan demikian, kabinda bisa ditaruh sebagai penjabat di tingkat kabupaten/kota,” ucap Akmal. Menurut Akmal, pemerintah hanya melaksanakan undang-undang. Di dalam UU Pilkada tertulis, penjabat gubernur dapat diisi oleh pejabat pimpinan tinggi madya. Adapun penjabat bupati/wali kota dapat diisi pejabat pimpinan tinggi pratama. “Jadi, siapa pun bisa (menjadi penjabat gubernur/bupati/wali kota) sepanjang dia adalah pejabat tinggi madya atau pejabat tinggi pratama. Kuncinya itu,” tutur Akmal. Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, menilai pengangkatan kabinda yang merupakan prajurit TNI aktif, menjadi penjabat kepala daerah merupakan sebuah pelanggaran hukum. Apalagi, hal tersebut sudah ditegaskan di dalam UU TNI dan putusan MK. Masukkan kata kunci pencarian... logo Kompas.id TEKS › Politik & Hukum›Pemerintah Tetap Tunjuk TNI... PEMERINTAHAN DAERAH Pemerintah Tetap Tunjuk TNI Aktif Menjadi Penjabat Kepala Daerah Mendagri menunjuk Kepala BIN Daerah Sulawesi Tengah menjadi Penjabat Bupati Seram Bagian Barat. Sementara Menko Polhukam menyebut anggota TNI aktif tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. Oleh PRAYOGI DWI SULISTYO, NIKOLAUS HARBOWO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO 24 Mei 2022 05:25 WIB · 7 menit baca Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. KOMPAS/HARYO DAMARDONO Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, dilihat dari Google Map. JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah tetap menunjuk anggota TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah. Tak hanya melanggar undang-undang, ketetapan itu juga telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi sehingga rawan digugat. Penunjukan anggota TNI aktif juga dikhawatirkan akan mengganggu netralitas birokrasi. Dari 43 penjabat bupati dan wali kota yang dilantik sepanjang Mei ini, terdapat satu orang yang merupakan anggota TNI aktif. Melalui Keputusan Nomor 113.81-1164 Tahun 2022, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menunjuk Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Daerah Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Andi Chandra As’aduddin sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, Maluku. Andi menggantikan Bupati Seram Bagian Barat Yus Akerina yang habis masa jabatannya pada 22 Mei. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (23/5/2022), mengaku belum mendapat informasi terkait pelantikan Andi sebagai Penjabat Bupati Seram Bagian Barat, yang merupakan kabinda. Namun, ia menegaskan, prajurit TNI aktif seharusnya tidak boleh menjadi penjabat kepala daerah. “Nanti akan saya cek. Aturannya enggak boleh,” ujar Mahfud. Mahfud MD KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO Mahfud MD Ketentuan prajurit TNI aktif dilarang menduduki jabatan sipil diatur pada Pasal 47 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal tersebut menyatakan bahwa TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Ketentuan tersebut diperkuat dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/ 2022, Putusan MK Nomor 18/PUU-XX/2022, dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada 20 April lalu. Aturan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian juga berlaku bagi anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar kepolisian. Hal itu tertuang dalam Pasal 28 Ayat (3) UU No 2/2002 tentang Polri. Ketentuan dalam UU TNI dan UU Polri itu sejalan dengan UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Undang-undang itu membuka peluang pengisian jabatan pimpinan tinggi dari unsur prajurit TNI dan anggota Polri setelah mundur dari dinas aktif. Selain itu, di dalam pertimbangan putusan, MK juga memerintahkan kepada pemerintah agar menerbitkan aturan teknis mengenai pengisian penjabat kepala daerah yang transparan. Hakim Konstitusi yang juga Juru Bicara MK Enny Nurbaningsih mengingatkan, pertimbangan hukum suatu putusan bersifat ratio decidendi atau tak dapat dipisahkan dengan amar putusan. Sifat amar putusan dan pertimbangan hukum sama-sama final dan mengikat bagi pembentuk undang-undang. (Kompas, 18/5/2022). https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/a1rpfW5h98H5ndkBosUXC5w6Xcw=/1024x1340/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F05%2F11%2F10a126aa-abdf-46cd-afc4-e76400013933_png.png Saat ditanya lebih lanjut mengenai perintah MK agar pemerintah membuat aturan turunan soal pengisian pejabat kepala daerah, Mahfud menuturkan bahwa pemerintah sebenarnya telah membuat prosedur pengisian penjabat lebih dari yang diputuskan oleh MK. “Kalau MK, kan, suruh membuat prosedur. Ini lebih lagi. Semua ini melalui TPA, tim penilai akhir, yang itu sebenarnya tim penilaian sudah tingkat atas. Ini semua dibawa ke Presiden, lalu dinilai bersama,” katanya. Baca juga : Gubernur Beberapa Provinsi Menunda Pelantikan Penjabat Wali Kota/Bupati Selanjutnya, tutur Mahfud, MK hanya memutuskan untuk mempertimbangkan membuat mekanisme yang lebih terbuka. Pemerintah pun menjalankan hal tersebut. Usulan diajukan secara terbuka oleh gubernur, kemudian diputuskan oleh TPA. “Seharusnya TPA itu hanya untuk pejabat-pejabat tertentu, pejabat eselon 1. Ini kepala daerah pun di-TPA, sehingga ini sebenarnya sudah lebih dari sekadar prosedur yang dipertimbangkan, diminta dipertimbangkan, oleh MK. Bukan diperintahkan oleh MK,” ujar Mahfud. Mengacu perpres Berkaitan dengan kabinda yang mengisi posisi penjabat, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Akmal Malik menjelaskan, hal tersebut sebenarnya merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2020 tentang Badan Intelijen Negara (BIN). Dalam aturan itu disebutkan, kabinda merupakan jabatan pimpinan tinggi (JPT) pratama setara pejabat eselon IIA. Posisi kabinda setara kepala biro dan inspektur. Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri, Akmal Malik, Selasa (21/1/2020) di Jakarta. INGKI RINALDI Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kemendagri, Akmal Malik, Selasa (21/1/2020) di Jakarta. ”Dengan demikian, kabinda bisa ditaruh sebagai penjabat di tingkat kabupaten/kota,” ucap Akmal. Menurut Akmal, pemerintah hanya melaksanakan undang-undang. Di dalam UU Pilkada tertulis, penjabat gubernur dapat diisi oleh pejabat pimpinan tinggi madya. Adapun penjabat bupati/wali kota dapat diisi pejabat pimpinan tinggi pratama. “Jadi, siapa pun bisa (menjadi penjabat gubernur/bupati/wali kota) sepanjang dia adalah pejabat tinggi madya atau pejabat tinggi pratama. Kuncinya itu,” tutur Akmal. Baca juga : Abaikan MK, Kemendagri Yakini TNI/Polri Bisa Jadi Penjabat Kepala Daerah Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto, menilai pengangkatan kabinda yang merupakan prajurit TNI aktif, menjadi penjabat kepala daerah merupakan sebuah pelanggaran hukum. Apalagi, hal tersebut sudah ditegaskan di dalam UU TNI dan putusan MK. Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto ARSIP PRIBADI Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, Aan Eko Widiarto “Pengangkatan (prajurit TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah) itu melanggar UU TNI dan putusan MK. Di aturan dasar, kan, juga sudah jelas, TNI tidak boleh menduduki jabatan sipil. Kalau itu terjadi, kita sideback jauh sebelum reformasi,” kata Aan. Menurut Aan, kesalahan ini juga ada di Perpres No 79/2020 tentang BIN yang menjadi acuan Kemendagri dalam menunjuk Andi. Seorang kabinda tidak bisa serta-merta disetarakan dengan JPT pratama. Ini, lanjutnya, bukan persoalan penyetaraan jabatan tetapi kedudukannya sebagai TNI yang menduduki jabatan sipil. “Jadi, itu masalahnya, bukan soal penyetaraan. Kalau penyetaraan itu antara pejabat sipil, struktural disetarakan fungsional, itu tidak masalah karena kedudukannya sebagai jabatan sipil semua. Tetapi, kan, ini persoalannya bukan penyetaraan jabatan tetapi kedudukan atau status pegawainya, yang satu sebagai TNI, yang satu sebagai pejabat sipil,” tuturnya. Aan berpendapat, pengisian penjabat kepala daerah ini menjadi bermasalah akibat Kemendagri tidak mematuhi putusan MK untuk membuat ada ketentuan teknis pengisian penjabat. Alhasil, Mendagri merasa bebas untuk melantik siapa saja. Keputusan menunjuk Andi sebagai penjabat kepala daerah, menurut Aan, sangat mungkin digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Besar kemungkinan keputusan tersebut akan dibatalkan oleh hakim karena tidak sesuai dengan putusan MK yang meminta pemerintah untuk membuat aturan teknis, dan tidak sesuai dengan UU TNI yang menyebut seorang TNI aktif harus mundur apabila ingin menduduki jabatan sipil. “Jadi, kalau ini digugat ke PTUN, ini memperkuat dan menjadi peluang besar untuk menggagalkan proses pengangkatan penjabat ini semua,” katanya. Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mardyanto Wahyu Tryatmoko mengatakan, pengangkatan prajurit TNI aktif menjadi penjabat kepala daerah sangat berpengaruh dalam netralitas birokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu 2024. Oleh karena itu, seharusnya Kemendagri membuat aturan teknis yang jelas agar terhindar dari kekhawatiran politik birokrasi yang bisa menghambat. Ia mengingatkan, penjabat kepala daerah setelah dilantik akan mempersiapkan pemilu. Menurut Mardyanto, Kemendagri telah ceroboh dalam mengangkat penjabat kepala daerah dari prajurit TNI aktif. Mereka telah melanggar aturan yang bisa membawa kekisruhan dalam proses pemilu dan sangat rawan digugat. Tetap dilantik Sementara itu Kemendagri juga memastikan bahwa seluruh penjabat kepala daerah yang sudah ditunjuk akan dilantik. Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Benni Irwan mengatakan, hingga saat ini belum ada informasi resmi terkait dengan gubernur yang menolak melantik penjabat bupati/walikota. Ia memastikan, para penjabat bupati dan walikota yang sudah dipilih akan dilantik di masing-masing provinsi sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Sebelumnya, beberapa daerah memilih menunda pelantikan karena penjabat kepala daerah yang ditunjuk tak sesuai dengan usulan yang diajukan, di antaranya Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dan Pemprov Maluku Utara (Kompas, 23/5/2022). Benni menegaskan, sejak Minggu (22/5/2022), beberapa provinsi sudah melakukan pelantikan penjabat bupati/ walikota. Daerah tersebut telah menerima surat keputusan Menteri Dalam Negeri tentang pengangkatan penjabat bupati dan walikota. Berdasarkan hasil koordinasi dan komunikasi dengan pemerintah daerah, pada Senin (23/5/2022) dan Selasa (24/5/2022) masih akan diselenggarakan pelantikan sesuai waktu yang sudah ditentukan. “Untuk pengangkatan penjabat yang akan ditugaskan sebagai penjabat tetap akan dilaksanakan sesuai dengan kriteria dan persyaratan yang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan dan akan dibahas dalam sidang tim penilai akhir sebelum diputuskan oleh presiden,” kata Benni. Adapun tim penilai akhir tersebut terdiri dari Kemendagri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Kementerian Sekretariat Negara, Badan Kepegawaian Negara, serta Badan Intelijen Negara. Tim itu yang bekerja menentukan siapa dan bagaimana rekam jejak setiap calon penjabat sebelum akhirnya diputuskan (Kompas,23/5/2022). Mardyanto mengatakan, keputusan pemilihan penjabat kepala daerah ada di tangan pemerintah pusat, meskipun daerah yang mengusulkan. Namun, apabila tidak sesuai dengan harapan dari pemerintah daerah, maka akan bisa mengganggu efektivitas pemerintahan daerah. Ia meyakini, pemerintah daerah sudah mengusulkan dengan cukup matang dan melalui banyak pertimbangan, salah satunya penguasaan tentang daerah tersebut. Jika usulan pemerintah daerah ditolak dan dilantik penjabat yang tidak mengetahui situasi sosial politik di daerah tersebut, maka akan berdampak terhadap harmonisasi dinamika eksekutif. Mardyanto melihat pejabat di daerah diangkat kepala daerah berdasarkan preferensi politik. Apalagi, kekuatan politik di parlemen lokal sangat kuat bergandengan dengan kepala daerah yang lama. Ia khawatir, pelantikan penjabat kepala daerah tanpa persetujuan pemda akan menimbulkan konflik.