Mahfud MD menyatakan tak ada catatan serius soal isu HAM di Indonesia yang disampaikan Dewan HAM PBB. Ia akui, terkait Papua memang ada laporan yang disampaikan, tetapi itu tak sampai dibawa ke sidang Dewan HAM PBB.
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan tidak ada catatan serius terkait isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang disampaikan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa di sesi ke-50 Sidang Dewan HAM PBB (UN Human Rights Council/UN HRC), Senin (13/6/2022), di Geneva, Swiss. Menurut Mahfud, Indonesia justru dipuji karena komitmennya menyelesaikan dugaan pelanggaran HAM berat Paniai, Papua. Namun, masyarakat sipil menilai masih banyak pekerjaan rumah terkait HAM yang harus diselesaikan pemerintah.
Dalam keterangan pers kepada media, Kamis (16/6/2022), Mahfud menyampaikan, dalam rangkaian acara Sidang Dewan HAM PBB sesi ke-50, dia bertemu langsung dengan Komisioner Tinggi HAM Michelle Bachelet di ruang kerjanya. Menurut dia, Komisioner Tinggi HAM itu menyebut 21 negara yang perkembangan HAM-nya dirujuk. Indonesia tidak termasuk negara yang dirujuk. Sudah sejak tiga tahun terakhir ini, tepatnya sejak tahun 2020, Dewan HAM PBB sudah tidak lagi menyebut Indonesia dalam catatan negara yang mempunyai masalah pelanggaran HAM.
”Ini berarti kita sudah mengalami kemajuan dan mengomunikasikan dengan proporsional mengenai perlindungan dan penegakan HAM,” ujar Mahfud.
Bahkan, Mahfud menyebutkan bahwa Michellle Bachelet yang merupakan mantan Presiden Chile itu justru menyampaikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung yang dinilai lebih serius komitmennya terhadap proses hukum dugaan pelanggaran HAM berat. Ini ditandai dengan diprosesnya kasus Paniai ke Pengadilan HAM.
Mahfud juga menampik tudingan bahwa Indonesia menjadi sorotan PBB dalam hal pelanggaran HAM di Papua. Menurut da, memang ada laporan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) kepada Special Procedure Mandate Holders (SPMH). Namun, laporan itu tidak pernah dibahas hingga ke tingkat sidang Dewan HAM PBB. Laporan itu justru ditampung dan disampaikan kepada pemerintah. Setelah dijawab oleh perwakilan tetap Indonesia di PBB, laporan itu tidak sampai dibawa ke Dewan HAM PBB.
”Soal adanya agenda kunjungan Komisi Tinggi HAM PBB ke Indonesia untuk melakukan penyelidikan itu juga tidak benar. Justru, kami yang mengundang mereka ke Indonesia, tetapi jadwalnya belum ditetapkan,” kata Mahfud.
Menurut Mahfud, rilis yang pernah disampaikan oleh special rapporteur Komisi Tinggi Dewan HAM PBB itu sepihak. Special rapporteur adalah salah satu unit intelektual di bawah Dewan HAM PBB. Mereka menerima laporan dari semua negara, termasuk dari Amerika Serikat dan Belanda. Laporan itu kemudian diklarifikasi dan dikembalikan kepada yang bersangkutan. Ketika pemerintah yang bersangkutan bisa menjawab secara proporsional, laporan akan ditutup.
Adapun terkait rilis, yang disampaikan tanpa mempertimbangkan jawaban yang disampaikan oleh Perwakilan Indonesia untuk PBB. Oleh karena itu, tak lama, rilis resmi itu dicabut. ”Di luar seolah pelanggaran HAM menjadi sorotan PBB, padahal tidak ada PBB menyorot hal itu. Yang menyorot itu adalah kelompok tertentu yang kemudian menyebarkan berita tidak akurat,” kata Mahfud.
Masih banyak tantangan
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, pihaknya menghargai apa yang disampaikan Mahfud bahwa Indonesia berkomitmen untuk menegakkan hak asasi manusia untuk semua. Namun, seperti juga diakui oleh Mahfud, Pemerintah Indonesia masih memiliki banyak tantangan HAM yang harus ditangani.
Catatan Amnesty, tantangan itu terutama terkait perlindungan HAM masyarakat adat. Amnesty menemukan bahwa otoritas pemerintah pusat dan daerah sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat, bahkan mengkriminalisasi para pemimpin adat. Dalam laporan tahunan Amnesty, ada pola kekerasan dan intimidasi yang terus berlanjut sepanjang tahun 2021 terhadap masyarakat adat yang berusaha melindungi tanah dan tradisi mereka dari kegiatan komersial.
”Amnesty mendokumentasikan setidaknya 28 serangan terhadap pembela HAM masyarakat adat pada tahun 2021, dan setidaknya 60 pada tahun 2020. Serangan itu datang dalam beberapa bentuk, termasuk kriminalisasi, ancaman, dan intimidasi, serta kekerasan fisik,” ujar Usman.
Pada awal tahun, Amnesty juga merilis laporan tentang rencana pemerintah untuk memulai penambangan di Blok Wabu, Kabupaten Intan Jaya, yang berisiko melanggar hak masyarakat adat setempat tanpa persetujuan. Pemerintah pusat juga mendorong pembentukan daerah otonom baru (DOB) di Papua yang mengikuti pola yang dinilai mengabaikan suara-suara asli orang Papua.
Lebih lanjut, Usman menjelaskan, dalam forum itu, Mahfud juga tidak berbicara tentang kebebasan berekspresi yang trennya semakin menurun dalam beberapa tahun terakhir. Pandemi Covid-19, lanjutnya, justru dijadikan alasan pihak berwenang unuk menindas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul.
Pada tahun 2021, Amnesty setidaknya mencatat ada 83 pelanggaran kebebasan berekspresi yang menggunakan UU ITE dengan total 98 korban. Ini juga berlanjut di tahun 2022, yakni ada kriminalisasi terhadap pembela HAM, Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar, atas diskusi mereka tentang keterlibatan militer dan pemerintah dalam industri pertambangan di Papua.
”DPR juga gagal membuat kemajuan dalam mengamendemen UU ITE yang terus menerus digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi pendapat secara damai,” kata Usman.
Sebelumnya, Kontras juga mengkritisi terkait dengan penyidikan kasus pelanggaran HAM berat Paniai. Mereka mempertanyakan mengapa hanya ditetapkan satu orang tersangka dalam perkara tersebut. Padahal, dalam hasil penyelidikan Komnas HAM, ada banyak pihak yang diduga terlibat dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat itu. Kontras kecewa proses hukum dugaan pelanggaran HAM berat itu tidak bisa mengungkap aktor intelektual di balik peristiwa tersebut.