Indonesia sebenarnya sedang berada di atas angin karena Malaysia saat ini tengah mengalami kelangkaan pekerja migran pascapandemi dan sangat membutuhkan kiriman tenaga kerja dari Indonesia.

Oleh AGNES THEODORA

JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih menghentikan sementara penempatan pekerja migran ke Malaysia setelah pemerintah negeri jiran itu melanggar nota kesepahaman yang diteken pada awal April 2022. Pemerintah Indonesia diharapkan bersikap tegas dan tidak membuka celah kompromi terkait prinsip-prinsip perlindungan pekerja yang sebelumnya sudah disepakati.

Kebijakan menghentikan pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Malaysia itu berlaku sejak 13 Juli 2022. Moratorium dilakukan karena Pemerintah Malaysia melanggar salah satu kesepakatan utama dalam nota kesepahaman (memorandum of understanding/MOU) tentang penempatan dan perlindungan PMI sektor domestik ke Malaysia.

Malaysia diketahui masih menggunakan Sistem Maid Online (SMO) yang memungkinkan penempatan pekerja migran domestik secara langsung tanpa visa kerja. Sistem perekrutan pembantu rumah tangga (PRT) milik badan imigrasi Malaysia itu memiliki rekam jejak bermasalah karena kerap memperlakukan calon PRT dengan buruk selama perekrutan.

Masih aktifnya SMO itu juga bertentangan dengan salah satu klausul terpenting yang disepakati Pemerintah Indonesia-Malaysia dalam MOU awal April lalu, yaitu penempatan PMI hanya dapat dilakukan melalui Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK) atau One Channel System.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, Minggu (24/7/2022), mengatakan, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dalam melakukan lobi-lobi diplomasi dengan Pemerintah Malaysia. Setidaknya ada tiga hal yang tidak boleh dikompromikan terkait prinsip perlindungan PMI yang sudah diatur dalam MOU.

Pertama, penghentian operasional SMO dan komitmen untuk menggunakan SPSK sebagai satu-satunya pintu penempatan PMI ke Malaysia. Kedua, penetapan standar upah minimum bagi pekerja domestik, yakni sebesar 1.500 ringgit.

Ketiga, penguatan legitimasi MOU sebagai instrumen untuk melindungi pekerja migran melalui penggunaan rujukan perjanjian internasional lain yang serupa. ”Dalam perundingan dengan Malaysia, tiga hal itu adalah harga mati yang harus dijaga. Dibutuhkan ketegasan dan keberanian dari pemerintah kita untuk memperjuangkan perlindungan PMI,” katanya.

Menurut Wahyu, Indonesia sebenarnya sedang berada di atas angin karena Malaysia yang saat ini sedang mengalami kelangkaan pekerja migran pascapandemi sangat membutuhkan kiriman tenaga kerja dari Indonesia, khususnya di sektor perkebunan sawit, domestik, dan manufaktur.

”Mereka sempat gertak sambal mau merekrut dari negara lain, tetapi kenyataannya pasar kerja mereka memang paling banyak butuh dari Indonesia. Pemerintah harus menyadari posisi ini dalam bernegosiasi,” ucapnya.

Gelagat bahwa Malaysia akan ingkar janji, menurut Wahyu, sudah terlihat sejak awal. Oleh karena itu, kelompok masyarakat sipil dan pejuang hak buruh migran telah mengingatkan pemerintah untuk tidak terburu-buru menandatangani MOU sebelum ada komitmen yang jelas dari Malaysia. ”Kini, terbukti bahwa memang komitmennya lemah,” ujarnya.

Mencederai itikad

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Fadjar Dwi Wisnuwardhani menegaskan, nota kesepahaman antara kedua negara harus dihormati dan dilaksanakan sesuai komitmen. Pelanggaran MOU yang saat ini terjadi dinilai mencederai itikad baik yang sudah dibuat antara pemimpin kedua negara sebelumnya.

Terlebih, SMO yang menjadi pokok persoalan dikelola oleh pihak Pemerintah Malaysia sendiri lewat Kementerian Dalam Negeri Malaysia melalui Jabatan Imigresen Malaysia. Sistem yang memungkinkan pekerja migran mengubah visa kunjungan menjadi visa kerja itu dinilai membuat pekerja migran semakin rentan dan membuat pemerintah tidak memiliki data PMI.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/5y6ba1e7DPKd9gqkTTkpf1GBwkY=/1024x1552/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F14%2F870a8cec-3878-44dd-b509-91002d08863d_jpg.jpg

Kondisi tersebut membuat Pemerintah Indonesia sulit memberikan perlindungan kepada PMI saat menghadapi berbagai persoalan, seperti penahanan paspor oleh majikan, pemotongan gaji, dan tidak adanya kontrak kerja. ”(Hal ini) Karena aspek penegakan hukum yang lemah bagi pekerja asing yang tidak resmi di Malaysia,” kata Fadjar.

KSP pun mendorong agar masalah penempatan PMI di Malaysia itu bisa diselesaikan secepatnya untuk menguatkan aspek perlindungan dan meningkatkan peluang kerja bagi banyak calon PMI.

Fadjar meyakini, pihak Malaysia memiliki itikad untuk menghormati MOU. Hal itu ditunjukkan dengan sikap Perdana Menteri Malaysia yang baru-baru ini telah memerintahkan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Sumber Manusia untuk menyelesaikan persoalan penempatan PMI di Malaysia.

Komunikasi intens

Sampai hari ini, pemerintah kedua negara masih terus berkomunikasi untuk mencari jalan keluar atas persoalan penempatan PMI tersebut. Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menagih komitmen serius Pemerintah Malaysia yang sebelumnya sudah tertuang dalam MOU.

”Sejauh ini, komunikasi sangat intens. Kita berharap segera ada komitmen ulang dari mereka dan itu bisa diwujudkan dan dikawal dengan baik. Sejauh ini, kami lihat pihak Malaysia cukup responsif,” kata Anwar.

Mengenai titik terang seputar implementasi SMO, Anwar mengatakan, dari komunikasi yang berlangsung saat ini, terlihat gelagat bahwa Pemerintah Malaysia siap menghentikan sistem perekrutan daring tersebut dan mematuhi sepenuhnya komitmen dalam MOU untuk menggunakan SPSK.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/k2FHLJWwhcikmXBjS3k4qg9SMTk=/1024x993/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F01%2F23%2F145006b0-2a73-45fa-9938-37c4711d9133_jpg.jpg

Saat ditanyakan apakah Pemerintah Malaysia meminta ”barter” atau ”tukar guling” dengan klausul lain, Anwar mengatakan, sejauh ini Malaysia tetap sesuai dengan komitmen. ”Segera sesudah ada komitmen jelas dan tegas dari mereka, kita buka kembali moratorium. Semakin cepat lebih baik, tetapi kita tetap harus prudent dan berhati-hati,” ujarnya.

Antisipasi pasar gelap

Sembari negosiasi dan komunikasi antara pemerintah kedua negara berlangsung, kondisi di dalam negeri tetap harus dijaga. Kebijakan moratorium yang diambil dalam waktu cepat itu, jika tidak tersosialisasi dengan baik, dapat memunculkan persoalan baru di dalam negeri, seperti pasar gelap pengiriman PMI serta keresahan sosial dari calon PMI yang batal berangkat.

Menurut Wahyu Susilo, meski kebijakan larangan penempatan PMI sudah tepat untuk saat ini, pemerintah tetap harus mengantisipasi efek sampingnya. Sebagai contoh, ditutupnya pintu pemberangkatan secara prosedural ke Malaysia justru berpeluang memperparah jalur pengiriman PMI secara nonprosedural.

Maraknya praktik penyelundupan pekerja migran ke negeri jiran sampai sekarang belum terbendung. Hal itu, misalnya, tampak dari insiden kecelakaan kapal atau perahu pengangkut pekerja migran tanpa dokumen ke Malaysia dari perairan timur Sumatera dan Kepulauan Riau yang sudah berulang kali terjadi tahun ini.

Pada Desember 2021 hingga Januari 2022, lima kali perahu pekerja migran tenggelam. sedikitnya 37 orang tewas dan 48 orang hilang (Kompas, 18/6/2022).

Sebagai antisipasi, kebijakan moratorium PMI ke Malaysia juga perlu dibarengi dengan penguatan pengawasan di dalam negeri. ”Kalau kita lengah, justru akan mendorong pasar gelap tenaga kerja semakin menjadi-jadi. Kalau begitu, Malaysia tetap mengambil untung dan masyarakat kita yang rugi karena berangkat kerja dalam kondisi rentan,” kata Wahyu.

Ia menilai, tanpa antisipasi, pemberangkatan nonprosedural dapat dipastikan akan semakin banyak, terlebih jika negosiasi antara pemerintah kedua negara berlarut-larut. Pasalnya, para calon PMI yang sudah bersiap-siap ke Malaysia tetap membutuhkan kepastian kerja dan harus memenuhi kebutuhan hidup.

Maka, selagi diplomasi seputar komitmen MOU berlangsung, daya beli dan kebutuhan hidup para calon PMI dan keluarganya tetap harus dijamin negara. Wahyu mengatakan, skema program bantuan subsidi upah (BSU) yang sudah lama diwacanakan tahun ini dapat segera direalisasikan, salah satunya untuk bantalan sosial calon PMI yang batal berangkat.

”Seharusnya perlindungan sosial bagi calon PMI diperkuat, bisa diintegrasikan dengan skema BSU atau Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) yang akhir-akhir ini sedang didesak agar dibenahi,” ujarnya.

Sementara itu, Fadjar meminta Kementerian Ketenagakerjaan dan Kementerian Luar Negeri lebih gencar mengomunikasikan keputusan penghentian sementara penempatan PMI kepada sejumlah pihak di dalam negeri, terutama calon PMI yang akan berangkat ke Malaysia.

”Ini agar calon PMI tidak salah persepsi atas keputusan pemerintah. Bahwa apa yang dilakukan pemerintah ini semata-mata demi melindungi PMI,” katanya.