Kenaikan harga BBM membuat masyarakat tidak punya pilihan lain karena masih bertumpu dengan penggunaan kendaraan pribadi. Di satu sisi transportasi umum belum mampu menarik hati sepenuhnya publik untuk beralih.

Oleh RANGGA EKA SAKTI

Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan pribadi membuat publik selalu bereaksi terhadap kenaikan harga BBM. Andalnya sistem transportasi publik bisa menjadi alternatif solusi di tengah harga BBM yang makin mencekik.

Pembangunan infrastruktur dan transportasi menjadi salah satu program yang didengungkan Presiden Joko Widodo semenjak kampanye tujuh tahun silam.

Selama menjabat, pemerintahan Presiden Jokowi telah berhasil membangun lebih dari 1.500 kilometer jalan tol di seluruh Indonesia. Jika dibandingkan, angka tersebut satu setengah kali lebih banyak dari total jalan tol yang dibangun oleh presiden-presiden sebelumnya.

Di satu sisi, pembangunan ini tentu patut diapresiasi. Selain dapat dimanfaatkan untuk mempermudah masyarakat untuk bermobilisasi, kehadiran jalan bebas hambatan ini dapat mendorong pengiriman logistik yang lebih efisien. Hal ini pun bisa berujung manfaat lain, seperti harga-harga barang dan jasa yang bisa terus ditekan.

Terlebih lagi pembangunan jalan tol di masa Presiden Jokowi tidak hanya fokus di Pulau Jawa. Jika dibandingkan, jalan bebas hambatan yang dibangun pemerintahan kali ini proporsinya seimbang, yaitu 50:50, antara Pulau Jawa dan wilayah lainnya. Bahkan, pembangunan jalan tol oleh pemerintah saat ini sudah meliputi beberapa daerah yang sebelumnya nyaris tak tersentuh, seperti di Kalimantan dan Sulawesi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Ff2RZvhVyKSb5J7vVGhR58cTwRc=/1024x1187/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F07%2Fab68b63a-5511-4399-9be6-9867108b54b6_jpg.jpg

Namun seperti gayung bersambut, meluasnya keberadaan jalan bebas hambatan terus meningkat. Sepanjang 2015-2021, penjualan mobil di Indonesia nyaris menyentuh angka 1 juta unit tiap tahunnya. Puncaknya terjadi di 2018, para jenama kendaraan roda empat berhasil menjual lebih dari 1,15 juta unit produknya di Indonesia selama setahun.

Tren serupa juga tampak pada penjualan kendaraan roda dua. Pada rentang waktu yang sama, terdapat lebih dari 5,7 juta sepeda motor terjual di Indonesia tiap tahunnya. Bahkan, angka penjualan ini pernah hampir menyentuh angka 6,6 juta pada 2019.

Tingkat penjualan kendaraan pribadi ini pun cukup resisten di tengah pandemi. Meski sempat anjlok di 2020, tingkat penjualan kendaraan roda dua dan roda empat mulai kembali merangkak ke level normal sebelum pandemi. Hal ini bisa jadi didorong dengan kebijakan pemerintah yang memberikan berbagai insentif fiskal bagi para produsen dan konsumen otomotif selama 2021.

Baca juga: Polemik Kenaikan Harga BBM di Media Sosial

Transportasi umum

Namun, meluasnya pembangunan infrastruktur jalan dan tingginya konsumsi kendaraan ini belum diimbangi dengan capaian pembangunan sektor transportasi umum.

Sebagai contoh, dalam hal transportasi publik, geliat pembangunan pemerintah pusat tersalurkan melalui 15 proyek bandara dan 1 proyek kereta cepat. Di satu sisi, pembangunan bandara ini memang positif dan mengakomodasi beberapa daerah yang sebelumnya sulit dijangkau seperti di Sintang dan Toraja.

Namun, tidak sedikit dari proyek ini yang belum tampak pemanfaatannya. Salah satu di antaranya Bandara Kertajati yang dibangun di Majalengka, Jawa Barat. Walau memakan biaya hingga lebih dari Rp 1,2 triliun, jumlah penumpang yang dilayani masih relatif minim, di kisaran 200.000 penumpang pada 2019. Bahkan, angka tersebut turun di kisaran 100.000 pada tahun 2020 akibat hantaman pandemi Covid-19.

Persoalan lain juga muncul dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Ditargetkan selesai pada 2022, proyek ini mundur pada Juni 2023. Saat ini pembangunannya konstruksi proyek baru mencapai 77 persen.

Pembangunan proyek ini tidak berhenti pada soal waktu pengerjaan. Selain lambat, proyek ini ternyata juga menyedot lebih banyak anggaran dari yang awalnya diperkirakan. Setelah sebelumnya diperkirakan menelan dana pembangunan Rp 86,5 triliun, kini biaya untuk menyelesaikan proyek tersebut meningkat hingga di atas Rp 114 triliun atau mengalami pembengkakan sekitar 32 persen.

Memang, soal aksesibilitas, ketersediaan, dan integrasi moda transportasi umum bukanlah tanggung jawab pemerintah pusat semata. Dibutuhkan peran yang besar dari pemerintah daerah agar dapat menyuguhkan moda transportasi umum yang ideal bagi masyarakat.

Moda transportasi umum sebetulnya bisa diandalkan sebagai tulang punggung yang mengakomodasi kebutuhan mobilitas masyarakat. Salah satu contoh yang nyata menggambarkan hal ini ialah bagaimana kereta komuter (KRL) mulai bisa menopang kebutuhan mobilitas masyarakat di Jabodetabek.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/j1g99ivlQ0Cw5XFrlqAV0ZIwuSg=/1024x646/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F03%2F188d29b5-3e4e-41d0-9c03-727cb12be898_png.png

Pada rentang 2015-2019, pengguna KRL Jabodetabek melonjak dari 257 juta orang per tahun hingga menjadi 336 juta orang per tahun. Meskipun turun di kisaran 123 juta-153 juta orang per tahun di tahun 2020 dan 2021 akibat pandemi, jumlah pengguna KRL sudah jauh berkembang dibandingkan sepuluh tahun silam.

Salah satu aspek yang membuat layanan KRL dibutuhkan oleh masyarakat ialah reliabilitasnya. Manajemen transportasi KRL membuat penumpang mendapat jaminan bahwa kereta KRL akan berangkat sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan.

Selama 2021, ketepatan waktu KRL sudah cukup baik di atas angka 91 persen. Bahkan, pada Januari 2021, tingkat ketepatan waktu keberangkatan kereta KRL menembus angka 98 persen. Tak heran, antusiasme dan kebutuhan publik terhadap kereta komuter terus meningkat.

Solusi

Peningkatan jumlah penumpang menjadi bukti keberadaan kereta komuter di Jabodetabek sebagai moda transportasi yang dapat diandalkan masyarakat urban. Di tengah kesulitan warga akibat naiknya harga pangan dan biaya transportasi, moda transportasi umum, seperti kereta api, menjadi pilihan bagi masyarakat untuk melakukan mobilitas.

Moda transportasi yang sudah terbukti bekerja dengan baik ini dapat diprioritaskan untuk ditambah armadanya. Hal ini mengingat di tengah lonjakan penumpang, pertambahan armada KRL ini relatif stagnan di kisaran 100 kereta per tahunnya. Bahkan, penambahan armada KRL pada 2016, 2017, dan 2018 hanya sekitar 60 kereta tiap tahun.

Per Juli 2022, KAI Commuter mengoperasikan 1.081 perjalanan KRL dengan rata-rata 337.331 pengguna tiap harinya. Walau terus menunjukkan tren peningkatan, kapasitas angkut tersebut masih jauh dari jumlah penduduk Jabodetabek yang melakukan perjalanan komuter. Statistik Komuter Jabodetabek 2019 mencatat ada 3,2 juta orang warga komuter di Jabodetabek.

Di luar KRL, penduduk komuter ini belum banyak mengandalkan kendaraan umum dan bus umum. Jumlah warga komuter yang menggunakan kendaraan umum dan bus umum tercatat 254.167 orang.

Belum banyaknya warga yang tertarik menggunakan kendaraan umum antara lain disebabkan tidak ada jadwal yang pasti dan waktu tunggu antarbus yang lama. Bahkan, angkutan yang dikelola oleh pemerintah daerah pun hanya beroperasi di jam dan jalur tertentu saja.

Alhasil, masyarakat seperti ”dipaksa” oleh pemerintah untuk terus menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Warga komuter Jabodetabek yang menggunakan sepeda motor mencapai 2.062.546 orang.

Di luar itu ada 288.110 orang yang menggunakan mobil pribadi. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa kendaraan pribadi masih menjadi pilihan utama masyarakat.

Fenomena senada juga terjadi di lingkup nasional. Data BPS menunjukkan, pada 2021 terdapat 143.797.227 kendaraan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 84 persennya dominan kendaraan pribadi berupa sepeda motor.

Tingginya ketergantungan warga terhadap kendaraan pribadi ini memberikan jawaban mengapa masyarakat sangat responsif menyikapi kenaikan harga BBM.

Tidak heran, jika di tengah kenaikan harga BBM, masyarakat yang terimpit pun nyaris tak memiliki alternatif lain. Karena itu, respons masyarakat yang reaktif terhadap kenaikan harga BBM juga dapat dilihat sebagai sebuah gugatan akan layanan transportasi publik yang nyaman dan mudah diakses.

Cakupan layanan transportasi massal yang masih sangat timpang menjadi prioritas utama yang dapat dibenahi pemerintah. Terlebih ketersediaan transportasi publik di daerah-daerah yang belum banyak tersentuh angkutan umum. Maka, sebelum ada perbaikan serius dalam hal transportasi publik, jangan heran bila subsidi BBM akan terus menjadi candu yang sulit disembuhkan. (LITBANG KOMPAS)