https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/zhVVw3YMZ1g3_SMRMFswRbyfTsg=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2FWakil-Presiden-Maruf-Amin-saat-wawancara-khusus-dengan-Kompas-24-Juni-2021_1624625985.jpegBPMI - SETWAPRES

Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat wawancara khusus secara daring dengan Kompas, Kamis (24/6/2021).

Data World Population Review menunjukkan populasi umat Islam dunia saat ini mencapai sekitar 1,9 miliar jiwa dengan Indonesia menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar dengan populasi 229 juta jiwa. Angka tersebut setara dengan 87,2 persen dari populasi penduduk Indonesia yang berjumlah 276,3 juta jiwa atau 12,7 persen dari populasi Muslim dunia.

Hal ini menunjukkan Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan syariah. Sektor industri halal merupakan ekosistem dengan potensi ekonomi yang sedemikian besar. Di sisi lain, masih ada sejumlah upaya untuk mengoptimalkan potensi tersebut.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin berbagi harapan dan langkah-langkah yang disiapkan pemerintah saat ini dalam ikhtiar tersebut. Berikut petikan wawancara khusus Wapres Ma’ruf Amin dengan harian Kompas yang digelar secara daring, Kamis (24/6/2021).

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0zozhp2jjKc25MHPrlHUedkOIek=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F06%2FWapres-Maruf-Amin-wawancara-khusus-dengan-Kompas-24-Juni-2021_1624626331.jpegBPMI - SETWAPRES

Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat wawancara khusus secara daring dengan Kompas, Kamis (24/6/2021).

Ekonomi dan keuangan syariah boleh dibilang maju pesat. Sebagai pendorong, perintis, apakah Bapak Wapres sudah cukup puas dengan hasil yang sekarang ada? Kalau dirasa masih ada yang kurang, di mana kekurangannya dan apa yang harus dilakukan ke depan supaya Indonesia lebih kuat dan bisa memberdayakan umat, terutama mewujudkan keadilan sosial?

Ekonomi syariah di Indonesia berangkat dari inisiatif masyarakat, tokoh-tokoh masyarakat. Bukan hanya dari aspek agama, tetapi juga dari aspek keadilan dan pemberdayaan umat. Pemerintah melihat bahwa ini sesuatu yang baik juga dalam rangka penguatan ekonomi nasional.

Di awal, pemerintah memberikan dukungan untuk hal-hal yang diperlukan. Di Bank Indonesia ada kelembagaan direktorat perbankan syariah. Kemudian di OJK (Otoritas Jasa Keuangan). Di Kementerian Keuangan ada juga tentang pembiayaan syariah. Kemudian dibuat regulasi adanya Undang-Undang Perbankan Syariah. (Demikian) juga Sukuk, surat berharga syariah negara. Jadi, ada dukungan-dukungan (pemerintah). Tetapi, masih berjalan, atas inisiatif masyarakat.

Baca juga : Wapres Ma’ruf Amin: Kesejahteraan dan Pemerataan merupakan Cita-cita Ekonomi Syariah

Belakangan pemerintah memberikan intervensinya dan mendukung. Khususnya ketika mulai tahun 2020 dibentuk Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah melalui Peraturan Presiden Nomor 28 Tahun 2020. Di situ komitmen pemerintah menjadi begitu kuat untuk mendorong. Dan, fokusnya yang semula hanya di sektor keuangan kemudian meluas, merupakan suatu ekosistem yang perlu dibangun, yaitu industri halal.

Mengapa pemerintah kemudian berkeinginan membangun industri halal?

Karena kita ingin menjadi negara produsen halal terbesar di dunia. Ini karena potensi kita besar, baik dari segi penduduk maupun potensi sumber ekonomi yang kita miliki. Sebenarnya kita mampu. Walaupun sekarang kita baru (produsen produk halal dunia) nomor empat, kalau kita teliti, sebenarnya kita sudah lebih besar dari yang lain karena beberapa komoditas ekspor kita tidak tercatat sebagai produk halal.

Misalnya, sawit kita tidak dimasukkan sebagai produk halal, padahal di dalam negeri dia menggunakan label halal. Begitu juga produk-produk makanan-minuman, seperti (produksi) pabrik-pabrik Mayora itu semuanya halal. Tetapi, ketika saya tanya, tidak ada form yang menyebutkan di situ sebagai produk halal yang diekspor. Jadi, sebenarnya, walaupun kita masuk kategori nomor empat, sebenarnya kita sudah nomor satu di dunia. Sesungguhnya, kalau kita benahi dari segi kodifikasinya. Apalagi, kalau produk kita tinggal (diproduksi supaya) bisa lebih besar.

Baca juga : Pengembangan Kawasan Industri Halal Dipercepat

Lalu, apa strategi pemerintah untuk mewujudkan industri halal?

Pemerintah sekarang berkomitmen untuk membangun kawasan-kawasan industri halal maupun zona-zona halal. Kemudian mempermudah sertifikasi halal sehingga dia walaupun UMKM bisa lebih mudah. Kita juga mendorong UMKM bisa ekspor halal. Dan, pemerintah membuka peluang ke negara-negara tujuan ekspor kita, terutama negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, terutama anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam). Anggota OKI saja ada 57 negara. Itu kita buka sebagai tujuan ekspor kita supaya lebih luas. Jadi, sertifikasinya kita benahi supaya bisa masuk ke semua negara. Produk kita naikkan kualitasnya. Kemudian negara-negara (tujuan ekspornya) kita buka. Ini menjadi sesuatu yang luar biasa. Nanti ekspor kita akan tambah besar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/8UGsUQtmKH4uFi2ps5VRF_rGgOs=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FRapat-tentang-Kawasan-Industri-Halal-dan-Sertifikasi-Halal_1620732895.jpgBPMI SETWAPRES

Wakil Presiden Ma’ruf Amin memimpin rapat tentang kawasan industri halal dan sertifikasi halal di kediaman resmi Wapres RI, Jakarta, Selasa (11/5/2021).

Juga, kegiatannya menyangkut semua aspek. Makanan, minuman, kosmetik, fashion, obat-obatan, farmasi. Macam-macam. Itu semua kita galakkan. Jangan sampai kita kalah oleh Brasil, Australia. Mereka bisa. Kita (juga) harus bisa.

Yang kedua adalah meningkatkan industri keuangan kita. Salah satu yang sudah kita usahakan adalah membangun, merger tiga bank syariah Himbara, yaitu Mandiri Syariah, BNI Syariah, dan BRI Syariah, supaya tidak kecil-kecil. Jadi besar sehingga dia bisa membiayai bukan saja transaksi skala nasional, tetapi juga yang sifatnya global. Bahkan akan membuka cabang di Dubai, di negara lain, sehingga kita juga mampu membiayai proyek-proyek yang sifatnya internasional.

Baca juga : Potensi Besar Ekonomi Syariah

Tetapi, yang kecil tidak juga dilupakan. Tetap. Bank-bank kecil, bank yang tengah, termasuk Bank Syariah Indonesia, tabungan, tetap dia memberikan kepada yang kecil. Di samping ada yang ultramikro seperti Bank Wakaf Mikro, Baitul Maal Wa Tamwil atau BMT di berbagai pondok pesantren, nonpesantren, ini kita kembangkan. Dengan demikian, orang yang usaha-usaha syariah itu gampang mengakses permodalan. Sebab, yang kecil itu perlu modal, know how, pengetahuan, bahan baku, pemasaran. Ini, kan, harus tersiapkan dengan baik.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/r8ia6D9vodqcZEmxryxarN6pCR0=/1024x585/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2Fe85700b3-27aa-48ce-a191-00246eb4adbe_jpg.jpgKOMPAS/RIZA FATHONI

Warga membayar zakat di tenda pelayanan penyaluran zakat fitrah Masjid Agung Al-Azhar, Jakarta Selatan, Jumat (7/5/2021). Masjid Al-Azhar membuka layanan pembayaran zakat fitrah sistem lantatur selama pandemi Covid-19 dengan memberlakukan protokol kesehatan untuk memudahkan pengendara mobil dan motor ataupun pejalan kaki yang melintas di kawasan tersebut.

Ketiga, dana sosial. Potensi dana sosial kita besar, seperti zakat dan wakaf. Zakat itu potensinya per tahun Rp 370 triliun, tetapi yang baru (terealisasi) itu, menurut informasi, Rp 70 triliun. Rp 70 triliun pun yang dikelola oleh lembaga resmi di bawah pengawasan pemerintah seperti Baznas dan LAZ-LAZ, Lembaga Amil Zakat, baru Rp 10 triliun. Yang Rp 60 triliun itu masyarakat saja langsung sehingga arahnya kurang bisa dipantau. Pengelolaannya juga belum betul-betul baik. Jumlahnya pun masih sangat sedikit, baru 3 persen. Sangat kecil dari potensi.

Potensi dana sosial kita, seperti zakat dan wakaf, besar.

Begitu juga wakaf. Wakaf ini dana abadi umat, karena dia modalnya tidak boleh berkurang. Maka kemudian dia bisa terkumpul terus seperti bola salju. Ini potensinya per tahun sekitar Rp 180 triliun. Potensinya, dari hasil survei. Ini juga belum terkelola dengan baik. Nah, ini kita coba ada gerakan-gerakan nasional.

Yang terakhir itu usaha-usahanya. Semua layanan yang diberikan ini tentu bergantung kepada para pengusahanya. Makanya, usaha-usaha ini kita bangun mulai dari kecil sampai besar. Nah, ada inkubasi-inkubasi, ada pengembangan, ada pemberdayaan.

Baca juga : Babak Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia

Empat fokus inilah yang sekarang menjadi komitmen pemerintah. Oleh karena itu, kalau dibilang puas atau tidak, jauh sekali dari puas, karena potensinya besar, tetapi realisasinya sangat kecil. Peluang untuk dikembangkan jadi sangat besar. Kita ingin menjadi negara pengekspor halal terbesar. Kita ingin menjadi pusat keuangan (syariah) dunia. Potensinya ada.

Melihat sedemikian besar potensi ekonomi syariah di Indonesia, bagaimana mengoptimalkannya? Sebagian besar penduduk Indonesia adalah generasi muda. Bagaimana cara mengenalkan atau menginternalisasi ekonomi syariah supaya dalam jangka pendek dan jangka panjang nanti perkembangan ekonomi syariah bisa berkelanjutan?

Salah satu yang sedang kita kembangkan tentu adalah soal literasi. Literasi tentang ekonomi syariah sangat rendah. Malah belum 1 persen. Nol koma berapa. Memang ini sedang kita kembangkan sehingga potensi (ekonomi syariah) ini akan bisa (dioptimalkan). Dari apa yang (ada) sekarang saja, tren itu sudah mulai banyak, terutama justru di kalangan milenial.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/PHrl7FtwOgfOo3pG8CzdZ2GCwQI=/1024x366/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F05%2FScreen-Shot-2021-05-07-at-14.32.29_1620372808.pngKOMPAS

Komposisi penduduk Indonesia tahun 2020 sesuai rentang usia. Tangkapan layar dari hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020, BPS.

Kalangan milenial ini memiliki jumlah besar yang melakukan switching, bahasa agama disebut lagi hijrah. Mereka disebut sebagai komunitas hijrah. Karena mereka sudah bisa berusaha, sudah cukup untuk bisa hidup, dia mulai berpikir bagaimana dia berinteraksi, bertransaksi sesuai dengan syariah. (Oleh) karena itu, seperti BSI sendiri melaporkan banyak orang yang menaruh dananya di dalam tabungan, yang dulu sangat kecil, sekarang besar. Terutama dari kalangan komunitas hijrah atau kelompok hijrah milenial.

Kalangan milenial ini memiliki jumlah besar yang melakukan switching, bahasa agama disebut lagi hijrah. Mereka disebut sebagai komunitas hijrah. Karena mereka sudah bisa berusaha, sudah cukup untuk bisa hidup, dia mulai berpikir bagaimana dia berinteraksi, bertransaksi sesuai dengan syariah.

Uniknya kelompok hijrah ini, dia tidak mau menerima imbalan dari tabungan atau wadiah, sehingga kemudian lahirlah dana-dana murah yang selama ini dikeluhkan bahwa bank syariah itu banyak menerima dana-dana mahal sehingga kadang-kadang beban yang diterima dari bank syariah itu agak mahal. Namun, dengan kelompok ini, trennya ada. Tetapi, harus terus dilakukan intensifikasi. (Oleh) karena itu, kita melibatkan berbagai kelompok.

Ada komunitas-komunitas yang memang merupakan kumpulan orang yang punya kepedulian. Satu, misalnya, ahli ekonomi Islam. Ini kalangan intelektual. Akademisi. Lembaga ini, ikatan ini, sebetulnya lembaga masyarakat, ketuanya Bu Sri Mulyani. Kemudian ada namanya komunitas Masyarakat Ekonomi Syariah, MES, terdiri dari pengusaha-pengusaha besar, pengusaha kecil, pelaku usaha, dan sebagainya yang punya kepedulian. Ini diketuai Pak Erick Thohir. Ini terus melakukan gerakan-gerakan masif dalam menyebarkan. Di samping lembaga-lembaga keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia, ormas-ormas Islam, juga pesantren-pesantren.

Baca juga : Percepatan Konversi BPD Jadi Bank Syariah Perkuat Ekosistem Keuangan Syariah

Oleh karena itu, kalau dilihat trennya sekarang, itu naik. Makanya sekarang juga sudah mulai terjadi konversi-konversi. Dari sebelumnya seperti BPD-BPD itu mereka hanya ada unit-unit. Di BPD, bank pembangunan daerah, ada unit syariah. Sekarang beberapa BPD sudah mulai mengonversi menjadi full (bank) syariah. Jadi syariah semua. (Hal) yang pasti, Aceh sudah. Kemudian NTB sudah. Dalam proses hampir final itu Riau. Kemudian menyusul Bank Nagari, Sumatera Barat. Sudah dalam persiapan-persiapan itu juga Bank Jabar. Walaupun sebenarnya unit syariahnya besar, mungkin ada keinginan untuk mengonversi. Ini artinya kesadaran mulai besar, di samping pelaku usaha yang mulai menggunakan syariah.

Yang kedua, syariah ini tidak harus Muslim. Jadi, karena itu sistem yang dikembangkan, ternyata juga banyak pelaku usaha non-Muslim menjadi nasabah syariah. Bahkan, seperti kawasan industri halal, tidak semuanya yang menginisiasi itu orang Islam. Bahkan, non-Muslim juga mensponsori untuk membangun karena dari segi bisnis ini menguntungkan.

Baca juga : Ekonomi Syariah untuk Semua

Karena itu, kita ingin membangun semacam persepsi bahwa ekonomi syariah itu untuk semua kalangan. Ekonomi syariah itu sifatnya juga rasional. Artinya, baik. Makanan halal itu bukan semata-mata dari segi agama, tetapi juga good food yang diakui di beberapa negara. Ini kita persepsikan ke dalam masyarakat (dan) kelihatannya diterima oleh banyak pihak. Jadi, orang sudah menyadari ini suatu sistem yang baik, menguntungkan secara bisnis, berkeadilan, dan bahkan bisa memberdayakan masyarakat.