KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Sejumlah anak dan ibunya duduk santai di depan sebuah rumah dan jalan Kampung Akamar, Kampung Warse dan Birak di Kecamatan Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (22/6/2022) siang.
Jarum jam menunjukkan sekitar 14.30 WIT, Rabu (22/6/2022). Namun sinar mentari terasa sangat menyengat, membakar kulit. Di sebuah pertigaan jalan yang terbuat dari kayu, di perkampungan Akamar, Distrik Jesty, Kabupaten Asmat, Papua, berdiri seorang ibu menggendong bayi laki-laki berusia sekitar dua bulan.
Selain bersama bayi yang bernama Yeheskiel, sang ibu, Voni Bicen (30) siang itu bersama empat anaknya yang lain yani, Novalina (2), Paskalina (6), Ivana (10), dan Elias (13). Novalina yang tidak mengenakan pakaian, terus memegang salah satu paha ibunya, sambil sesekali menyeka ingusnya. Sedangkan Yeheskiel hanya terdiam, dalam pelukan Voni dengan tatapan kosong.
Ketika ditanya, apakah bayinya masih menggunakan air susu ibu (ASI), Voni hanya terdiam, kemudian menggelengkan kepala. Tidak banyak kata-kata yang disampaikan ketika ditanya soal asupan susu dan makanan untuk anaknya yang masih balita.
Hari itu, Yoel (33), suami Voni baru saja meninggalkan kampung untuk pergi mencari sagu (pangkur sagu), bersama beberapa warga kampung setempat. Sagu merupakan makanan utama masyarakat Asmat. Ketika persediaan di rumah menipis bahkan habis, mereka akan meninggalkan rumah.
Baca juga : Kidung Murung Penganyam Asmat
Sekitar dua bulan lalu, Voni melahirkan si bungsu yang diberi nama Yeheskiel. Dengan bantuan suaminya, dia melahirkan Yeheskiel, di rumahnya di waktu tengah malam. Beberapa jam setelah persalinannya, Voni hampir saja meninggal, karena persalinannya tidak tuntas, sebab ari-ari anaknya masih tertinggal di rahim.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Sejumlah ibu-ibu di Kampung Damen, Distrik Siret, Asmat, Papua, mencari ikan di sungai di sekitar kampung, Selasa (21/6/2022).
Di tengah malam, Voni dibawa dengan perahu ke Puskesmas Jetsy yang berada di seberang kampung. Namun, karena kondisinya, dia segera dirujuk ke rumah sakit daerah di Agats, ibukota Kabupaten Asmat- yang perjalanannya sekitar dua jam dengan perahu motor. Beruntung, Voni dan bayinya bisa diselamatkan.
Voni adalah salah satu dari potret perempuan di kampung-kampung (pedesaan) di pelosok Asmat, yang ketika melahirkan harus bertarung antara hidup dan mati. Perempuan yang hamil harus siap dengan segala risiko menjelang persalinannya. Apalagi jika melahirkan di malam hari.
Baca juga : Tingkatkan Gizi Anak, Peternakan Ayam Dibangun di 10 Kampung Asmat
Memang sudah ada puskesmas di Kecamatan/Distrik Jetsy (Agustus 2021) tapi posisinya di seberang sungai. Meski posisinya tidak jauh, tapi tidak mudah mengaksesnya di malam hari, terutama bagi perempuan yang harus segera melahirkan.
Sebab, transportasi menuju ke puskesmas tidak seperti daerah umumnya, karena kondisi geografis wilayah Asmat yang tidak memiliki daratan (rawa-rawa dan berlumpur) dan di kelilingi sungai besar. Bukan saja saat air pasang dengan arus yang deras, saat air surut pun sulit dilewati perahu karena penuh lumpur.
“Kalau siang hari bisa dipanggil petugas kesehatan. Tapi kalau malam-malam, apalagi subuh-subuh dan air surut, bagaimana mau menyeberang? Jadi kebanyakan ibu-ibu di sini melahirkan dibantu suami atau keluarga dekat,” ujar Maksimus Asrul (27), Field Facilitator (pendamping pengembang) Wahana Visi Indonesia (WVI) di Kampung Akamar, Warse, dan Birak.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Seorang anak duduk di tengah jembatan kayu yang menghubungkan Kampung Akamar, Kampung Warse dan Birak di Kecamatan Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (22/6/2022). Jembatan tersebut sudah rusak, bahkan di bagian tengah tidak ada penyangga. Jika tidak hati-hati akan terjatuh saat melewati jembatan tersebut. Hampir semua wilayah Asmat tidak memiliki daratan, karena terdiri dari rawa-rawa.
Akamar adalah salah satu kampung di Asmat yang bisa dijangkau dengan perahu motor dengan mesin 85 PK sekitar dua jam, dari Agats, ibukota Kabupaten Asmat. Ongkos naik perahu motor kapasitas 5 penumpang sekitar Rp 4,5 juta.
Namun, biasanya masyarakat setempat jika ke Agats menggunakan perahu motor yang panjang yang kecepatannya lebih kecil. Untuk transportasi antarkampung atau ke puskesmas menggunakan perahu dayung.
Baca juga : KLB Demam Berdarah di Asmat, Seorang Anak Meninggal
Kampung Akamar seperti seluruh wilayah di Asmat, tidak memiliki daratan kering, karena berada di atas tanah rawa rawa, yang pada saat-saat tertentu rawanya bisa dipenuhi air, pada saat air pasang atau di bulan musim hujan. Rawa yang akan kering ada yang bisa diinjak, walau harus berhati-hati karena bisa masuk dalam lumpur.
Baca juga : Asmat dan Tradisi Peramu
Rumah-rumah yang terbuat dari kayu dibangun berada di atas rawa. Jalan pun di atas rawa, dalam bentuk jembatan kayu yang panjang dan tersambung dengan rumah penduduk. Praktis semua aktivitas warga tidak di daratan. Karena rawa-rawa, tidak semua tanaman bisa tumbuh, kecuali tanaman keras seperti kelapa, pohon sagu, dan pohon kayu. Jika ingin menaman sayuran (kangkung dan sawi) harus di pot atau wadah yang dibuat khusus di atas rawa.
Kondisi alam tak mendukung
Dengan kondisi alam yang demikian sulit, maka risiko tinggi saat melahirkan hampir setiap saat membayangi para ibu hamil di Asmat. Bahkan, di Kampung Damen yang lokasinya lebih terpencil (jaraknya sekitar tiga jam naik perahu motor dari Akamar), risiko bagi ibu dan anak juga besar. Belum lama ini, ada bayi meninggal sesaat dilahirkan, tidak sempat dibawa ke puskesmas.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Seorang remaja putri di Kampung Damen, Distrik Siret, Asmat, Papua mengambil bahan sagu langsung dari pohon sagu, yang baru ditebang warga, Selasa (21/7/2022). Sagu adalah makanan pokok masyarakat Asmat, terutama di Damen yang kampungnya jauh terpencil dari ibukota Kabupaten Asmat.
Selain akses ke fasilitas kesehatan (faskes) dan layanan yang terbatas, ada berbagai persoalan yang dihadapi para ibu dan anak-anak di Asmat. Kesehatan ibu hamil dan anak yang dilahirkan menjadi persoalan besar. Jangankan makanan bergizi, untuk bisa makan sehari-hari ini mereka bergantung pada ketersediaan sagu di rumah.
Mayoritas ibu hamil tidak mendapatkan asupan gizi yang cukup saat hamil dan setelah melahirkan. Setelah bayinya lahir, mayoritas bayi tidak mendapat ASI, karena sang ibu sendiri kondisi gizinya buruk. Belum lagi, jarak waktu melahirkan antara anak satu dengan yang lain sangat dekat. Beberapa bayi belum sampai berusia satu tahun, ibunya sudah hamil lagi. Beberapa bayi tidak bisa bertahan hidup, karena kurangnya asupan gizi.
Sekitar empat tahun lalu, awal Januari 2018, nama Asmat sempat menjadi perhatian masyarakat Indonesia, karena ratusan anak kena campak dan gizi buruk. Ada sekitar 60 anak dikabarkan meninggal akibat kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan campak dalam waktu empat bulan.
Anak-anak di Kampung Akamat, Warse, Birak, dan Damen, juga kena KLB. Sekitar 150-200 anak terkena, mayoritas bayi hingga usia 1 tahun, dan bawah lima tahun (balita). Di Damen bahkan hampir 200 anak terkena. Warga sendiri tidak tahu apa penyebabnya, karena tiba-tiba muncul kasus anak-anak terkena diare dan campak.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Sejumlah anak-anak di Kampung Birak, Distrik Jetsy, Kabupaten Asmat, Papua, bermain di lapangan olahraga, Rabu (22/7/2022) siang. Lapangan yang terbuat dari papan yang berdiri di atas permukaan rawa-rawa, merupakan bantuan pembaca harian Kompas melalui Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas.
“Awalnya beberapa anak kena diare, terus panas, demam, lalu keluar bintik-bintik merah. Di tiga kampung ada tujuh anak meninggal, karena terlambat ditangani. Ada yang sudah sakit lebih dua minggu. Dulu ‘kan belum ada puskesmas, baru ada puskesmas pembantu, itu ada di distrik,” ujar Debora Bemeren (39) salah satu kader posyandu di Kampung Akamar.
Kepala Kampung Akamar, Soter Jaret (60) mengungkapkan saat KLB campak dan gizi buruk terjadi, anak-anak yang sakit parah dibawa langsung ke Agats. Pasca KLB gizi buruk dan campak, kesehatan anak-anak mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah, dan mendapat dukungan sejumlah organisasi/lembaga di luar pemerintah.
Salah satu organisasi yang hadir di empat desa tersebut dari WVI, yang selama empat bulan (Januari-April 2018) mengirim tim untuk mencegah berlanjutnya KLB gizi buruk dan campak. Selain program penjernian air (air sungai diproses dengan menggunakan pur sehingga layak dikonsumi), penyuluhan pemberian makanan bayi dan anak (PMBA), serta penyuluhan kesehatan, terutama bagaimana mengenal penyakit.
“Kami juga mengajak dan membantu masyarakat untuk membuat toilet sederhana,” ujar Hotmianida Panjaitan, Pelaksana Tugas General Manager WVI Wilayah Papua.
Setelah itu, WVI Berkomitmen melanjutkan pendampingan pada warga di empat desa tersebut. Bekerja sama dengan Keuskupan Agats, WVI juga melakukan melakukan berbagai kegiatan seperti melatih kader posyandu dalam PMBA yang benar, melatih kader posyandu/dewan gereja untuk manajemen terpadu balita sakit (MTBS), serta pengolahan air dan penyedia penampungan air.
“Dengan pendampingan intens pada masyarakat, kami melihat ada perubahan meskipun tidak signifikan menurut pandangan luar, yakni berkurangnya frekuensi jumlah anak yang sakit,” papar Hotmianida.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Anak-anak SD di Kampung Damen, Kecematan Siret, Asmat, Papua, bergembira menyambut awak media dan bersama Wahana Visi Indonesia yang datang berkunjung ke kampung tersebut, Selasa (22/6/2022).
Angka kematian berkurang
Filipus Posari (48), tokoh masyarakat dan Dewan Gereja Katolik Paroki St Fransiskus Asisi Warse, membenarkan setelah pendampingan WVI terjadi perubahan. Kesadaran masyarakat mulai muncul untuk menjaga kesehatan. Meskipun hingga kini anak-anak masih beringus dan menderita kaskado (sejenis penyakit kulit).
Dengan pendampingan intens pada masyarakat, kami melihat ada perubahan meskipun tidak signifikan menurut pandangan luar, yakni berkurangnya frekuensi jumlah anak yang sakit.
“Sekarang anak sakit sudah jarang, kematian juga jarang. Dulu biasanya kami pengumuman kematian di gereja satu tahun meninggal sekitar 15-20 orang. Dari jumlah itu, anak-anak lima belas orang. Sekarang itu yang meninggal per tahun, delapan orang, dan anak-anak jarang meninggal, ada satu dua anak meninggal,” ujarnya.
Hasil yang dicapai kemudian dilaporkan kepada Pemkab Asmat dan keuskupan Agats, yang kemudian menggandeng WVI bekerja sama dalam program “Asmat Hope” yang dimulai sejak Mei 2019 hingga saat ini.
Baca juga : Ratusan Warga Asmat Menderita Kusta
Bupati Asmat Elisa Kambu mengapresiasi program pendampingan langsung yang dilakukan WVI di beberapa kampung di Asmat pasca KLB gizi buruk dan campak, dengan memberi perhatian khusus pada masalah anak-anak di Asmat, terutama masalah kebersihan, kesehatan, dan pendidikan.
“Pemerintah saja sendiri, tidak bisa selesaikan semua. Maka, kolaborasi dan kerjasama dengan berbagai pihak, seperti WVI dan pihak gereja sangat penting. Pemerintah saja sendiri, tidak bisa selesaikan semua masalah. Tujuan kita sama, mengangkat harkat dan martabat manusia,” kata Elisa saat bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Jumat (1/7/2022), di Jakarta.
KOMPAS/SONYA HELLEN SINOMBOR
Perahu dayung merupakan alat transportasi tradisional bagi warga Kampung Damen, Kecematan Siret, Asmat, Papua, Perahu dayung biasanya dipakai untuk mencari ikan, menuju kampung tetangga, atau ke rumah bivak (rumah sementara) saat mencari sagu dan ikan.
Kondisi anak-anak tersebut mendapat perhatian Menteri PPPA yang berencana akan berkunjung ke Asmat, dalam rangkaian peringatan Hari Anak Nasional. Anak-anak Asmat, perlu mendapat perhatian khusus. Mereka berhak meraih masa depan seperti anak-anak di seluruh Tanah Air.
Karena itu, upaya menyelamatkan anak-anak Asmat dan ibu-ibu hamil seharusnya berkelanjutan. Kuncinya, jangan hanya program sesaat. Maka, jangan berhenti melakukan pendampingan dan pemberdayaan, serta membangun kesadaran warga Asmat tentang pentingnya meningkatkan kesehatan ibu dan anak.