Warga melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/8/2021). Pemaksaan yang berujung pada diskriminasi dan perundungan harus dihentikan karena tidak menghargai hak asasi manusia. KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS)

Warga melintasi mural bertema hentikan perundungan di Semper Barat, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (31/8/2021). Pemaksaan yang berujung pada diskriminasi dan perundungan harus dihentikan karena tidak menghargai hak asasi manusia.

JAKARTA, KOMPAS — Kasus perundungan yang menimpa F (11), siswa kelas V sekolah dasar di Kecamatan Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat, yang berujung depresi, hingga kemudian meninggal, mengundang perhatian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Peristiwa tersebut menjadi peringatan bagi para orangtua untuk memberikan perhatian kepada anak-anak agar tidak melakukan hal-hal buruk, apalagi sampai melakukan perbuatan yang melanggar hukum.

”Kami sangat prihatin dengan kejadian di Tasikmalaya. Ini menunjukkan bahwa di kalangan anak sendiri belum bisa membedakan mana yang baik dan tidak baik dilakukan. Kejadian ini menjadi peringatan untuk kita semua, khususnya orangtua untuk memastikan anak-anak diberikan perhatian dan kasih sayang yang cukup,” tutur Nahar, Deputi Perlindungan Khusus Anak (PKA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kamis (21/7/2021) di Jakarta.

Baca Juga: Diduga Depresi, Anak Korban Perundungan di Tasikmalaya Meninggal

Seperti diberitakan, F diduga mendapatkan perundungan karena disuruh melakukan tindakan asusila terhadap kucing. Anak yang tumbuh kembangnya lambat ini kemudian meninggal diduga karena depresi setelah aksi itu viral di media sosial.

Secara terpisah, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya Ato Rinanto menyampaikan, anak berinisial F meninggal pada Minggu (17/7/2022) malam. Sebelumnya, F diketahui mendapatkan perundungan dan dipaksa melakukan persetubuhan dengan kucing.

Tindakan asusila ini kemudian diunggah di media sosial. Ato memaparkan, video tersebut berdurasi sekitar 35 detik dan terjadi pada akhir Juni 2022. Tindakan ini berdampak pada perubahan perilaku korban yang menjadi pendiam serta tidak mau makan dan minum.

Kita khawatir anak-anak mencontoh tindakan yang tidak semestinya, ditiru dengan alasan bercanda. Namun, kejadian ini memakan korban. Tentu, ketika ada korban, ada persoalan hukum. Maka, proses hukum harus tetap dilaksanakan.

Ato menyampaikan, korban F mengalami keterlambatan dalam tumbuh kembangnya sehingga memicu perundungan. Sebelum dipaksa melakukan tindakan asusila ini, korban juga kerap mengalami kekerasan.

”Kejadian ini diduga melibatkan empat anak. Para terduga pelaku berusia lebih tua dari korban dan mereka yang memaksa korban melakukan tindakan asusila tersebut lalu merekamnya,” ujar Ato.

Korban yang merupakan anak kedua dari lima bersaudara berasal dari keluarga keluarga miskin. Orangtua F bekerja serabutan dan tinggal di rumah semipermanen berdinding bilik.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/_C7M267n3h_nGH_iK9emCnw7i8U=/1024x954/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F05%2F20210605-TCJ-Bentuk-Bullying-mumed_1622900077_png.png

Nahar menegaskan, perhatian orangtua kepada anak sangat penting. ”Kita khawatir anak-anak mencontoh tindakan yang tidak semestinya, ditiru dengan alasan bercanda. Namun, kejadian ini memakan korban. Tentu, ketika ada korban, ada persoalan hukum. Maka, proses hukum harus tetap dilaksanakan,” ujar Nahar.

Baca Juga: Membekali Anak Melawan Perundungan di Dunia Maya

Kendati demikian, karena korban dan pelaku adalah anak-anak, peraturan perundang-undangan yang terkait perlindungan anak dan sistem peradilan pidananya harus memerhatikan kondisi anak. ”Kami sudah koordinasi dengan dinas PPPA di Tasikmalaya, proses pendampingan anak dilakukan,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Rita Pranawati juga menyatakan prihatin atas kasus perundungan, apalagi sampai mengarah pada perundungan seksual. ”Ini memilukan, tetapi juga menjadi keprihatinan karena pelaku dan korban sama-sama anak,” kata Rita menegaskan.

Pelajar mendapatkan penjelasan tentang perundungan dalam sosialisasi perundungan kepada pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas se-Jakarta Timur di PMI Jakarta Timur, Sabtu (14/12/2019).FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY

Pelajar mendapatkan penjelasan tentang perundungan dalam sosialisasi perundungan kepada pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas se-Jakarta Timur di PMI Jakarta Timur, Sabtu (14/12/2019).

Ia menegaskan, edukasi terhadap anak sangat penting. Bagaimana orangtua mengajarkan sikap saling menghargai satu sama lain. Mendorong agar, jika ada masalah, anak-anak bisa bercerita.

”Ini mudah untuk ngomong, tetapi sulit dipraktikkan. Bagaimana mengajarkan anak asertif ketika mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dan bisa melaporkan kepada pihak yang terkait, seperti guru di sekolah dan orangtua saat di rumah. Maka, orangtua perlu memiliki sensitivitas kalau anaknya mengalami perubahan dahsyat, perilaku dan sebagainya, perlu lebih waspada sehingga anak bisa terbantu dan terselesaikan masalahnya,” papar Rita yang juga berharap perlunya dilakukaan rehabilitasi kepada pelaku dan orangtuanya.